; charset=UTF-8" /> Asian Games Dan Kompetensi Sosial Kultural ASN - | ';

| | 179 kali dibaca

Asian Games Dan Kompetensi Sosial Kultural ASN

Pesta olah raga akbar se-Asia sedang berlangsung saat ini di Indonesia sampai dengan tanggal 2 September 2018. Asian Games tersebut baru untuk kedua kalinya sejak tahun 1962 diselenggarakan di Jakarta. Keberhasilan satu kontingen dalam event seperti itu sangat ditentukan oleh coach, pemain dan juri/wasit. Peran coach dituntut mampu berkomunikasi dengan memperhatikan latar belakang, karakter, kelebihan/kekurangan dari setiap pemain dan mentransformasinya menjadi sebuah kekuatan untuk menggapai medali emas. Coach tidak begitu saja dapat memperlakukan sama rata kepada masing-masing pemain. Bahkan seringkali pertandingan menjadi buruk karena coach pada saat itu tidak dapat mengatur strategi dan berkomunikasi dengan baik dalam memberikan arahan kepada para pemain. Dalam konteks ini coach haruslah memiliki tidak hanya kemampuan teknis dan manajerial pertandingan, namun juga harus memperhatikan sosial kultural setiap pemainnya.
Hubungan coach dan pemain dalam Asian Games ini, penulis mengidentikkannya dengan kondisi Aparatur Sipil Negara (ASN), meskipun dalam perspektif lain dapat berbeda. Bahwa ASN dalam era globalisasi dan revolusi industri 4.0 saat ini memiliki peranan sangat penting dan stategis karena berjalan tidaknya dan baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik dan penyediaan barang publik tergantung kepada kompetensi yang dimiliki dan dikuasai ASN. Disisi lain perubahan paradigma ASN dalam penyelenggaraan pemerintahan dari “rule government” menjadi “good governance” atau “from government to governance” menuntut ASN memiliki kompetensi yang memadai. Lebih lanjut menurut Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014, kompetensi yang harus dimiliki seorang ASN sama dengan coach dan pemain dalam Asian Games yaitu meliputi : (1) Kompetensi teknis diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional dan pengalaman kerja secara teknis; (2) Kompetensi manajerial diukur dari tingkat pendidikan dan pelatihan struktural atau manajemen dan pengalaman kepemimpinan; (3) Kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
Dari ketiga kompetensi tersebut, kompetensi sosial kultural yang paling jarang dibicarakan. Padahal ketiga kompetensi tersebut mempunyai bobot yang sama. Justru kompetensi sosial kultural merupakan pondasi untuk menopang kompetensi manajerial dan teknis. Apabila tidak memiliki kompetensi sosial kultural, maka semua kompetensi strategi ASN tidak akan ada artinya. Menurut Imam B. Prasodjo, kompetensi sosial adalah kemampuan dalam mengambil beragam perspektif/ cara-cara alternatif dalam menyikapi sebuah situasi, dengan bekal pengalaman yang diperoleh sebelumnya, yang kemudian diterapkan ke dalam situasi baru saat melakukan interaksi sosial untuk membangun pola interaksi yang baik. Jadi pola interaksi sosial ditentukan oleh persepsi, perilaku, dan pengalaman masa lalu. Konsep kompetensi sosial juga melingkupi konsep-konsep social skills, social communication, dan interpersonal communication. Sementara itu kompetensi kultural adalah kemampuan dalam menjalankan fungsinya secara efektif dalam konteks kehidupan budaya yang berbeda. Selain itu juga kemampuan menciptakan keserasian/kesatuan perilaku, sikap dan kebijakan yang terbangun dalam pada sistem, lembaga, atau kalangan profesional yang bekerja secara efektif dalam situasi budaya berbeda. Jadi kompetensi sosial kultural menurut Imam B. Prasodjo adalah kemampuan dinamis dalam mengambil beragam perspektif/ cara-cara alternatif saat berinteraksi dalam situasi budaya berbeda-beda sehingga dalam bekerja dapat berjalan efektif.
Kompetensi sosial kultural menjadi krusial di tengah kondisi dan tantangan dalam masyarakat pada umumnya dan khususnya lingkungan ASN yaitu perilaku yang cenderung individualistik, ambisi kekuasaan, mengagungkan kekayaan dan makin pudarnya kepedulian dan rasa sosial antar ASN. Kepemimpinan dan kemampuan teknis ASN sebaik apapun tanpa dibarengi dengan kompetensi sosial kultural dapat berakibat terjadinya penolakan dan konflik serta gejolak dari ASN yang lain apalagi ASN yang berasal dari lokasi kerja, sehingga kondisi tersebut dapat berujung tidak optimalnya organisasi pemerintahan menjalankan fungsinya. Kepemimpinan demikian hanya didasarkan kepada pengetahuan pragmatis dan cenderung menyamaratakan sosial dan kultur antar individu dan daerah.
Lalu seperti apa ASN mencoba mengaktualisasikan kompetensi sosial kultural dalam lingkup kerjanya? Memang disadari kompetensi sosial kultural berbeda dengan kompetensi teknis dan kompetensi manajerial yang mudah dipelajari karena sudah ada bahan maupun pendidikan dan pelatihannya. Langkah yang dapat dilakukan adalah membuat catatan sosial kutural masing-masing wilayah berdasarkan pengalaman kerja. Untuk itu yang pertama, ASN harus memahami dan menyadari bahwa pegawai lain memiliki budaya yang berbeda. Oleh karena itu sudut pandang ASN harus selalu mencegah diskriminasi dan menerapkan prinsip inklusifitas. Undang-Undang ASN juga mengatur bahwa salah satu fungsi dan tugas ASN adalah menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Kedua, memiliki empati sosial yaitu memahami adanya perbedaan pikiran dan perasaan karena sosial yang berbeda. Ketiga,mampu mengenali dan menyadari kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang diterima antara laki-laki dengan perempuan dalam lingkungan kerja sehingga akan berbeda menyikapi ketika berkomunikasi dengan laki-laki dan perempuan. Terakhir, memiliki kepekaan difabilitas yaitu menyadari dan mengenali kebutuhan pegawai dengan keterbatasan fisik dan mental (difabel). Berbekal empat hal tersebut maka menurut hemat penulis dan pelajaran yang dapat diadaptasi dari Asian Games adalah berdasarkan pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya sebagai kompetensi sosial kultural dapat dimulai secara internal ASN dengan membudayakan coaching dalam menjawab tantangan tugas pemerintahan di samping interaksi dengan masyarakat luas.

Coaching Sarana Membangun Kompetensi Sosial Kultural ASN
Coaching dalam hubungannya dengan ASN diartikan hubungan komunikasi antara pegawai satu dengan yang lain sebagai rekan kerja atau mitra kerja, meskipun seringkali coaching dipersepsikan hanya antara atasan dan bawahan, yang ditujukan untuk memaksimalkan potensi dan profesional pegawai. Dalam interaksi seorang pegawai (coach) memiliki kemauan dan kemampuan untuk membangun kesadaran potensi dan kekuatan pegawai lain (coachee), selanjutnya coachee mampu berpikir, menemukan ide-ide, dan mempunyai kemauan untuk melaksanakannya. ASN yang bertindak sebagai coach (biasanya atasan) dapat memulai dengan tahapan membangun keakraban, menentukan tujuan yang akan dicapai dari coaching. Selanjutnya mendengarkan, menggali dan identifikasi isu serta kebutuhan, mendalami situasinya, menyatukan fakta dan menciptakan kesadaran coachee, melihat visi ke depan, membangun ide dan alternatif pilihan dan memilih alternatif terbaik dan merumuskan action plan.
Coaching dapat dijadikan indikator kinerja utama (IKU) organisasi pemerintahan dengan standar penilaian berasal dari pegawai yang di-coach. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan coaching antara lain bahwa (1) karakteristik pegawai dipengaruhi oleh karakter pegawai (2) persepsi antar pegawai berbeda (3) nilai dan budaya berbeda, (3) sudut pandang orang terhadap waktu (4) tingkah laku non verbal. Coaching digunakan untuk memantau capaian performance dan development ASN.
Sebagian Kementerian/Lembaga antara lain Kementerian Keuangan cq Ditjen Perbendaharaan memandang coaching merupakan hal sangat penting sehingga menjadi salah satu program pengelolaan ASN. Selain sebagai sarana meningkatkan kompetensi teknis dan manajerial, juga dalam melaksanakan coaching perlu memperhatikan sosial kultural. Kompetensi sosial kultural diwujudkan melalui lingkungan internal seperti memotivasi sumber daya manusia (SDM), bagaimana menunjukan kepekaan terhadap hak asasi manusia nilai-nilai sosial budaya dan sikap tanggap terhadap aspirasi dan dinamika masyarakat. Beberapa pengalaman penulis ketika bertugas di Sulawesi Tenggara tentu akan berbeda budaya dan suku dengan Sumatera (Kepulauan Riau), meskipun mayoritas agama sama yaitu Islam. Kearifan lokal Buton Sulawesi Tenggara dikenal dengan 5 Po Pobhinci-bhinciki kuli yang artinya saling, sehingga dalam berkomunikasi antar ASN menjunjung kesopanan dan menjaga sikap tenggang rasa, tidak dapat semena-mena. Sementara di Kepulauan Riau dikenal dengan pantun dan petuah Gurindam Dua Belas yang menekankan keagamaan sehingga harus memahami seperti bekerja bagi orang Melayu di tempat penulis saat ini bekerja merupakan ibadah, sehingga ukuran kerja tidak dapat semata dinilai dengan uang. Mungkin juga akan berbeda lagi ketika bertugas di Medan atau Padang. Pada akhirnya kompetensi sosial kultural ASN menjadi kompetensi penting dalam meningkatkan kinerja organisasi pemerintahan dan sebagai sarana dapat menggunakan model coaching dalam keseharian melaksanakan tugasnya serta meningkatkan wawasan kebangsaan Indonesia. Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai 4 (empat) pilar kebangsaan.

Keterangan:
Penulis adalah Kepala Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II
Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Keuangan RI
Jl. Raja Haji Fisabillilah Blok B KM 8 Atas No.1-5
Tanjungpinang

Ditulis Oleh Pada Ming 02 Sep 2018. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek