; charset=UTF-8" /> REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER - | ';

| | 2,824 kali dibaca

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

(Pokok-pokok Pikiran Menyambut Tahun Baru Islam 1436 H)

H. Tirtayasa

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP*

Pada kesempatan peringatan tahun baru Islam 1436 H ini penulis ingin memaparkan secara singkat beberapa hal tentang pendidikan karakter. Dalam konteks peringatan tahun baru Islam, pendidikan karakter ini menjadi sangat penting untuk kita diskusikan oleh karena pada dasarnya terjadi peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw bersama para sahabat beliau untuk menyelamatkan agama Allah yang merupakan rahmat bagi segenap alam, tujuan utamanya adalah memperbaiki karakter manusia yang tercela menjadi karakter yang mulia. Inilah yang kemudian menjadi dasar mengapa para pakar pendidikan Islam seperti ‘Athiyah Al-Abrasyi (1974) merumuskan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia berkarakter mulia. Hal ini telah membuka mata dan pikiran kita bahwa  sesungguhnya pendidikan karakter ini bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia Islam. Pendidikan karakter bahkan sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap umat Islam (sebagai subjek didik) sejak lima belas abad silam.

Untuk kita ketahui bersama bahwa dalam dunia pendidikan modern, ada beberapa penamaan nomenklatur untuk merujuk kepada kajian pembentukan karakter peserta didik, tergantung pada aspek penekanannya. Di antaranya yang umum dikenal ialah Pendidikan Moral, Pendidikan Nilai, Pendidikan Religius, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Karakter itu sendiri. Masing-masing penamaan kadang-kadang digunakan secara saling bertukaran (inter-exchanging), misalnya pendidikan karakter juga merupakan pendidikan nilai atau pendidikan religius itu sendiri.

Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar (smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun. Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter.

Sebagai kajian akademik, pendidikan karakter tentu saja perlu memuat syarat-syarat keilmiahan akademik seperti dalam konten (isi), pendekatan dan metode kajian. Di sejumlah negara maju, seperti Amerika Serikat, terdapat pusat-pusat kajian pendidikan karakter (Character Education Partnership, International Center for Character Education). Pendidikan karakter berkembang dengan pendekatan kajian multidisipliner: psikologi, filsafat moral/etika, hukum, sastra/humaniora.

Sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang: mentalitas, sikap dan perilaku. Pendidikan karakter semacam ini lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Pembelajaran tentang tata-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma yang bersifat kontekstual dan kultural.

Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut diselenggarakannya pendidikan karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggung jawabnya untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para siswa membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai tertentu, seperti rasa hormat, tanggungjawab, jujur, peduli, dan adil, serta membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri (Haryanto, 2012).

Kata karakter (Inggris: character ) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu charassein yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999). Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1995). Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter”diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakanseseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbol khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008). Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti itu berarti karakter identik dengan akhlak.

Secara terminologis karakter adalah “ A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character  so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior” (Lickona, 1991). Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior) (Marzuki, 2009).

Williams & Schnaps (1999) sebagaimana dikutip Haryanto (2012) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai “any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible”. Maknanya, pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.

Suyanto (2012) menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanat UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Melalui buku-bukunya, Thomas Lickona (dalam Haryanto, 2012) menyadarkan dunia Barat akan pentingnya pendidikan karakter. Secara terinci, Lickona mengemukakan tujuh alasan mengapa pendidikan karakter itu harus dilakukan.

  1. Merupakan cara terbaik untuk menjamin anak-anak (siswa) memiliki kepribadian yang baik dalam kehidupannya;
  2. Merupakan cara untuk meningkatkan prestasi akademik;
  3. Sebagian siswa tidak dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya di tempat lain;
  4. Mempersiapkan siswa untuk menghormati pihak atau orang lain dan dapat hidup dalam masyarakat yang beragam;
  5. Berangkat dari akar masalah yang berkaitan dengan problem moral-sosial, seperti ketidaksopanan, ketidakjujuran, kekerasan, pelanggaran kegiatan seksual, dan etos kerja (belajar) yang rendah;
  6. Merupakan persiapan terbaik untuk menyongsong perilaku di tempat kerja; dan
  7. Mengajarkan nilai-nilai budaya merupakan bagian dari kerja peradaban.

Suyanto (2012) menyebutkan terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggung jawab;  ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis;  keempat, hormat dan santun;  kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama;  keenam, percaya diri dan pekerja keras;  ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati; dan kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Kesembilan pilar karakter ini diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan  yang menjadi mesin yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Menurut Suyanto (2012), dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru dipertaruhkan karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Marvin Berkowitz dari University of Missouri-St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosional (EQ) anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan intelektual (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosionalnya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Lalu bagaimana mendidik aspek karakter? Pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik).

Haryanto (2012) mencatat bahwa secara umum materi tentang pendidikan karakter sebagaimana dijelaskan oleh Berkowitz, Battistich, dan Bier (2008) bahwa materi pendidikan karakter sangat luas. Dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa paling tidak ada 25 variabel yang dapat dipakai sebagai materi pendidikan karakter. Namun, dari 25 variabel tersebut yang paling umum dilaporkan dan secara signifikan hanya ada 10, yaitu:

  1. Perilaku seksual;
  2. Pengetahuan tentang karakter (character knowledge);
  3. Pemahaman tentang moral sosial;
  4. Keterampilan pemecahan masalah;
  5. Kompetensi emosional;
  6. Hubungan dengan orang lain (relationships);
  7. Perasaan keterikan dengan sekolah (attachment to school);
  8. Prestasi akademis;
  9. Kompetensi berkomunikasi;
  10. Sikap kepada guru (attitudes toward teachers).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Islam memandang pendidikan karakter? Telah  dikemukakan sebelumnya bahwa pendidikan karakter sesungguhnya sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap umat Islam sejak lima belas abad silam. Hanya saja istilah yang biasa kita kenal dalam tradisi pendidikan Islam bukan pendidikan karakter tapi pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak adalah istilah yang digunakan dalam tradisi pendidikan Islam untuk menyebut pendidikan karakter, karena karakter itu sendiri sesungguhnya identik dengan akhlak.

Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab akhlaq (yang berarti tabiat, perangai,dan kebiasaan), sebagaimana dijelaskan Marzuki (2009), banyak ditemukan dalam hadis Nabi Muhammad saw. Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad). Sedangkan dalam Al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlak yaitu khuluq. Allah menegaskan, “ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S. Al-Qalam: 4). Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan. Kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama atau sopan santun. Secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin menjadikan kehendak (niat)sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada diri seseorang. Jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan sikap dan perilaku.

Dalam Islam, mengkaji dan mendalami konsep akhlak atau karakter adalah hal terpenting, dan merupakan sarana yang dapat mengantarkan seseorang dapat bersikap dan berperilaku mulia seperti yang dipesankan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan pemahaman yang jelas dan benar tentang konsep akhlak, seseorang akan memiliki pijakan dan pedoman untuk mengarahkannya pada tingkah laku sehari-hari, sehingga dapat dipahami apakah yang dilakukannya benar atau tidak, termasuk karakter mulia (akhlaq mahmudah) atau karakter tercela (akhlaq madzmumah). Dalam Al-Quran ditemukan banyak sekali pokok-pokok keutamaan akhlak yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang Muslim, seperti perintah berbuat kebaikan (ihsan) dan kebajikan (al-birr), menepati janji (al-wafa), sabar, jujur, takut pada Allah SWT, bersedekah di jalan Allah, berbuat adil, dan pemaaf (Q.S. Al-Qashash: 77; Q.S. Al-Baqarah: 177; Q.S. Al-Mu’minun: 1–11; Q.S. An-Nur: 37; Q.S. Al-Furqan: 35–37; Q.S. Al-Fath: 39; dan Q.S. Ali Imran:  134). Ayat-ayat ini merupakan ketentuan yang mewajibkan pada setiap Muslim untuk melaksanakan nilai karakter mulia dalam berbagai aktivitasnya.

Keharusan menjunjung tinggi karakter mulia (akhlaq karimah) lebih dipertegas lagi oleh Nabi Muhammad saw dengan pernyataan yang menghubungkan akhlak dengan kualitas kemauan, bobot amal, dan jaminan masuk surga. Sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Amr, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya…” (H.R. Tirmidzi). Dalam hadis yang lain Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling cinta kepadaku di antara kamu sekalian dan paling dekat tempat duduknya denganku di hari kiamat adalah yang terbaik akhlaknya di antara kamu sekalian… ” (H.R. Tirmidzi).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa karakter dalam perspektif Islam bukan hanya hasil pemikiran dan tidak berarti lepas dari realitas hidup, melainkan merupakan persoalan yang terkait dengan akal, ruh, hati, jiwa, realitas, dan tujuan yang digariskan oleh akhlak Qur’aniah. Dengan demikian, karakter mulia merupakan sistem perilaku yang diwajibkan dalam agama Islam melalui Al-Quran dan hadis.

Dalam kenyataan hidup memang ditemukan ada orang yang berkarakter mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk (khairun wa syarrun). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya, “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Q.S. Asy-Syams: 8). Manusia telah diberi potensi untuk bertauhid (Q.S. Al-A’raf: 172 dan Q.S. Ar-Rum]: 30), maka tabiat asalnya berarti baik, hanya saja manusia dapat jatuh pada keburukan karena memang diberi kebebasan memilih (Q.S. At-Taubah: 7–8 dan Q.S. Al-Kahfi: 29). Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan,melainkan manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan, dia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya.

Sumber utama penentuan karakter dalam Islam, sebagaimana keseluruhan ajaran Islam lainnya, adalah Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Ukuran baik dan buruk dalam karakter Islam berpedoman pada kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia, baik dan buruk akan berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik.

Kedua sumber pokok tersebut (Al-Quran dan sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai dalil naqli yang tidak diragukan otoritasnya. Melalui kedua sumber inilah dapat dipahami dan diyakini bahwa sifat-sifat sabar, qanaah, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan penilaian yang berbeda-beda. Namun, Islam tidak mengabaikan adanya standar lain selain Al-Quran dan sunnah/hadis untuk menentukan baik dan buruk dalam hal karakter manusia. Standar lain dimaksud adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum.

Secara umum karakter dalam perspektif Islam dibagi menjadi dua, yaitu karakter mulia (al-akhlaq al-mahmudah) dan karakter tercela (al-akhlaq al-madzmumah ). Jika dilihat dari ruang lingkupnya, karakter Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu karakter terhadap  Khaliq (Allah SWT.) dan karakter terhadap makhluq (makhluk/selain Allah SWT). Karakter terhadap makhluk bisa dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti karakter terhadap sesama manusia, karakter terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta karakter terhadap benda mati (lingkungan alam).

Tobroni (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain tilawah, ta’lim’, tarbiyah, ta’dib, tazkiyah dan tadrib. Tilawah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dib terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).

Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah yang  tujuannya adalah agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lim, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulul albab dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi zikirnya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya adalah ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih). Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.

Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

Metode ta’dib digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan takwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil mengatakan, “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya.”

Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulul arham dan tazkiyah. Ulul arham adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kezaliman).

Metode tadrib (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadrib adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter takwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri. Dalam jargon pendidikan dikatakan: at-thariqatu ahammu min al-maddah, wa al-ustadzu ahammu min ath-thariqah.

Erma Pawitasari (2013), berdasarkan pengkajiannya terhadap konsep akhlak Islam yang berlandaskan Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saw serta konsep karakter dalam tradisi empiris-rasional Barat, mengemukakan bahwa program pendidikan karakter yang baik seyogyanya memenuhi enam prinsip pendidikan akhlak sebagai berikut.

Pertama, menjadikan Allah sebagai tujuan. Perbedaan mendasar antara masyarakat sekular dengan Islam terletak pada cara memandang Tuhan. Masyarakat sekular hanya mengimani “ide ketuhanan” karena ide ini berpengaruh baik bagi perilaku manusia. Mereka tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar wujud atau sekedar khayalan. Sebuah penelitian menunjukkan, 80% responden menyatakan bahwa mencuri tetap salah sekalipun diperintahkan Tuhan. Kaum sekular mengurung agama dalam interpretasi kemanusiaan. Agama versi sekular tidak dapat menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi Ibrahim tatkala menerima wahyu untuk menyembelih putranya.

Islam mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud sehingga ketaatan kepada-Nya menjadi mutlak. Islam bukanlah agama sekular yang memasung agama dalam dinding kehidupan privat. Agama tidak diakui sekedar diambil manfaatnya. Agama merupakan penuntun kehidupan dunia menuju keridhaan Allah. Firman Allah, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Keridhaan Allah merupakan kunci sukses kehidupan. Ilmu, kecerdasan, maupun rezeki hanya mungkin dicapai apabila Allah menganugerahkannya kepada manusia. Untuk menggapai keridhaan Allah inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlaq mulia.

Kedua, memperhatikan perkembangan akal rasional. Perilaku manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang hidup). Pendidikan karakter tidak akan membawa kesuksesan apabila murid tidak memahami makna-makna perilaku dalam kehidupannya. Untuk itu, Islam sangat menekankan pendidikan akal. Allah SWT menyebutkan keutamaan orang-orang yang berpikir dan mempunyai ilmu dalam berbagai ayat, salah satunya adalah Q.S. Ath-Thariq ayat 5, “Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?”

Akal adalah alat utama untuk mencapai keimanan. Akal harus diasah dengan baik sehingga manusia memahami alasan perilaku baiknya. Pada tahap awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi. Orang tua tidak boleh membiarkan mereka memukul teman atau bermain api walaupun mereka belum memahami alasan pelarangan itu. Namun, sejalan dengan usia, akal manusia mulai mempertanyakan alasan rasional. Keingintahuan ini tidak boleh diabaikan. Salah satu cara untuk mengasah akal adalah dengan perumpamaan dan dialog). Rasulullah saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadis berikut, “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan” (HR. Muslim). Dialog antara pendidik dan anak didik harus selalu dipelihara. Pendidik harus cerdas sehingga mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan dari anak didik. Pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk memikirkan persoalan yang dihadapi dan mengarahkannya pada solusi Islam.

Ketiga, memperhatikan perkembangan emosi. Perilaku manusia banyak terpengaruh oleh kecenderungan emosionalnya. Pendidikan karakter yang baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan karakter yang efektif harus disertai dengan pendidikan emosi.

Ketika seorang pemuda datang meminta izin berzina, Rasulullah saw tidak menghardik pemuda ini atas kegagalannya memahami larangan zina secara kognitif. Nabi saw menyentuh faktor emosinya dengan mengatakan, “Sukakah dirimu jika seseorang menzinai ibumu?” Sang pemuda menjawab, tidak. Maka Nabi mengatakan, “Sama, orang lain juga tidak suka ibunya kamu zinai. Sukakah dirimu jika seseorang menzinai putrimu?” Sang pemuda terkejut dan secara tegas menolaknya. Nabi Saw melanjutkan, “Sama, orang lain juga tidak suka jika putrinya kamu zinai.” Nabi Saw memahami gejolak sang pemuda dan memilih menyentuh faktor emosinya. Sang pemuda diarahkan untuk merasakan bahwa apa yang hendak dilakukannya akan menyakiti orang lain.

Pembangunan kecerdasan emosional juga Rasulullah saw lakukan melalui upaya meningkatkan kedekatan hamba kepada Allah Swt. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi, “Jika seorang hamba bertaqarrub kepadaKu sejengkal, Aku mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku medekatinya sedepa. Jika ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari” (H.R. Al-Bukhari).

Kecerdasan emosional anak didik harus mendapatkan perhatian. Emosi anak yang ditekan dapat menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh. Kehebatan akal yang tidak didukung dengan kecerdasan emosional menyebabkan manusia melakukan tindakan spontan yang bertentangan dengan rasional dan nilai-nilai akhlak.

Keempat, praktik melalui keteladanan. Lingkungan masyarakat yang mempraktikkan akhlakul karimah merupakan bentuk keteladanan dan pembiasaan terbaik. Penelitian menyebutkan bahwa perilaku anak lebih ditentukan oleh lingkungannya daripada kondisi internal si anak. Keteladanan dan pembiasaan merupakan faktor utama dalam mengasah kecerdasan emosi).

Dalam mendidik karakter umat Islam, Rasulullah saw menjadikan dirinya suri teladan terlebih dahulu sebelum menuntut umatnya mempraktikkannya. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh para pendidik. Bahkan, para teladan harus menunjukkan kebaikan yang lebih besar dari apa yang dituntut atas anak-anak sehingga anak-anak menjadi lebih termotivasi dalam menjalankan kebaikan.

Keteladanan Rasululullah saw ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya dalam surat Al-Ahzab ayat 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah saw selalu berpegang teguh kepada perilaku terpuji sesuai ajaran Islam, sehingga Aisyah r.a. menyatakan, “Akhlaq Rasulullah saw adalah (sesuai) Al-Qur’an” (H.R. Muslim).

Selain memberikan keteladanan, Rasulullah saw menyuruh para orang tua untuk membiasakan anak-anak menjalankan perintah agama sejak kecil, walaupun mereka baru terkena beban agama setelah balig. Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya” (H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim).

Rasulullah Saw memberikan keteladanan sekaligus membiasakan perbuatan baik melalui penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan zina, misalnya, didukung dengan langkah-langkah untuk menjauhkan manusia dari berzina, seperti larangan untuk berdua-duaan, kewajiban untuk menutup aurat, serta pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina.

Kelima, memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Karakter tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Seseorang yang beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina daripada mereka yang membujang. Seseorang yang kenyang akan terhindar dari mencuri makanan. Tindakan kriminalitas sering terjadi akibat tekanan kebutuhan.

Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Apabila seseorang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sendiri, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja (cacat, tua, gila, dsb) maka Islam mewajibkan keluarganya untuk menanggung hidupnya. Apabila keluarganya tidak mampu atau tidak memiliki keluarga, maka Islam mewajibkan negara untuk mengurusi segala keperluannya. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah penanggungnya” (H.R. Muslim)

Jaminan atas kebutuhan dasar hidup memberikan rasa aman bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Masyarakat tidak lagi perlu khawatir biaya sekolah anak cucunya sehingga menumpuk harta melebihi kebutuhannya, bahkan dengan cara-cara tidak halal. Masyarakat lebih rela mengantri apabila ada jaminan bahwa mereka yang mengantri tidak akan kehabisan sembako, tiket, atau kursi. Penumpang pesawat terbang bersedia mengantri dengan tertib karena jatah kursinya sudah terjamin. Penumpang kereta ekonomi tidak mau mengantri karena mereka harus berebut kursi.

Keenam, menempatkan nilai sesuai prioritas. Pendidikan karakter seringkali tidak efektif karena ada perbedaan prioritas dalam memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma ke sekolah akibat digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi rambut panjang bahkan pernah berujung menjadi tawuran antara orang tua murid dengan guru. Islam memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 (lima) kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas tidak terlepas dari kelima tingkatan prioritas ini. Islam tidak melarang laki-laki berambut panjang, namun mewajibkan merapikan dan menjaga kebersihannya. Dalilnya adalah kisah Abu Qatadah r.a. yang memiliki rambut panjang dan menanyakan kebolehannya kepada Nabi. Beliau saw menyuruhnya untuk merapikan dan menyisirnya setiap hari. Pendidik wajib mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengambilnya sebagai aturan kedisiplinan. Dalam wilayah yang sunnah, mubah, dan makruh, apabila ada hal yang ingin dijadikan aturan kedisiplinan, maka pendidik harus mengkomunikasikan dan mengikutsertakan anak-anak dalam membuat keputusan sehingga mereka memaklumi manfaat aturan tersebut bagi kelangsungan komunitas dan menjalankannya secara bersungguh-sungguh.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga setiap sekolah bisa   menerapkannya dengan optimal, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas dan  terampil juga berkarakter mulia sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Dengan semangat tahun baru Islam 1436 H ini, semoga pemimpin negara kita yang baru saja dilantik memberikan dukungan yang penuh bagi penerapan pendidikan karakter.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP, adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Penceramah Damai Indonesiaku TVOne, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Sen 27 Okt 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek