REFLEKSI DIPLOMASI MARITIM UNTUK NATUNA
Kabupaten Natuna merupakan salah satu kawasan perbatasan di ujung utara Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sebelah Utara berbatasan langsung dengan Negara Vietnam, sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Bintan, sebelah Timur berbatasan dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kepulaan Anambas (pemekaran dari Kabupaten Natuna)).
Secara geografis, Natuna berada pada jalur pelayaran yang strategis dan ramai di layari kapal-kapal asing dari berbagai negara. Kabupaten Natuna terdapat 154 pulau dan hanya 27 (17,53 %) buah pulau diantaranya yang berpenghuni, selebihnya 127 (82,47 %) buah pulau yang belum/tidak berpenghuni (tidak ada penduduk). Secara administrative, wilayah Kabupaten Natuna terdiri dari 15 wilayah kecamatan, 7 kelurahan dan 70 desa, dengan jumlah penduduk tahun 2020 sebanyak 81.952 jiwa, (BPS,2021).
Berdasarkan dokumen RPJMD Natuna tahun 2021, luas wilayah mencapai 264.198,37 KM2. Sebagian besar wilayah tersebut dipisahkan oleh laut dan selat, karena sebagaian besar wilayah Kabupaten Natuna terdiri dari wilayah perairan (262.167.07 KM2) dan luas daratannya hanya 1.978,19 KM2. Berdasarkan fenomena di atas dapat dibayangkan betapa sulitnya dan besarnya ongkos untuk membangun Kabupaten Natuna secara merata.
Selama ini kondisi Kepulauan Natuna dan perairan di sekelilingnya selalu dianggap tidak bermasalah, aman-aman saja dan penuh kedamaian, baik dimata dunia maupun dimata Pemerintah Republik Indonesia sendiri. Terbukti setiap keluhan bahkan jeritan nelayan yang terganggu ulah kapal-kapal ikan dari negara tetangga yang menangkap ikan dan menggangu aktivitas nelayan di laut Natuna Utara (dulu disesebut : laut China Selatan), jarang direspon secara serius, bahkan ditanggapi secara dingin, (https://www.antaranews.com/infografik/20520).
Setelah terjadi gesekan antara kapal perang angkatan laut (KRI) dengan kapal penjaga/pengawas pantai milik China (coast guard) yang mengawal kapal-kapal nelayan mereka di laut Natuna Utara tahun 2016, barulah Indonesia mengeluarkan sikap tegas. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sikap resmi bahwa Kepulauan Natuna dan perairan sekitarnya merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak termasuk ke dalam wilayah yang selama ini diklaim oleh China.
Belakangan ini status tersebut mendapat tantangan lagi, karena beberapa kali China menunjukkan diri melalui kegiatan para nelayan dan kapal patrolinya di sekitar perairan Natuna Utara. Kegiatan nelayan China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia muncul kembali. Sebagai negara yang bertetangga secara maritim di laut Natuna Utara, China menunjukkan adanya kebijakan yang tidak konsisten, dengan menganggap wilayah perairan sekitarnya sebagai bagian dari miliknya berdasarkan peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line ) yang diajukan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2009.
Wilayah sekitar Kepulauan Natuna memiliki kekayaan alam yang besar dengan pulau karang yang terbentang sepanjang pantai timur Semenanjung Malaysia sampai dengan Kalimantan Utara, wilayah ini memiliki nilai strategis bagi Indonesia. Kekayaan alam yang dimaksud adalah cadangan gas alam yang terletak di landas kontinen pantai Natuna. Salah satu perkiraan menyebutkan bahwa cadangan gas yang masih sifatnya potensial ada lebih dari 200 triliun kaki kubik.
Meskipun persoalannya, kandungan karbondioksida (C02) dalam cadangan gas ini mencapai 70 % dan yang bisa ditambang hanya 46 triliun kaki kubik atau setara dengan 8,3 milyar barel minyak. Kalau dikalkulasikan dalam dollar, nilainya setara dengan 628,7 milyar dollar jika harga per barel adalah 75 dollar Amerika. Angka itu merupakan 40 % dari cadangan total minyak Indonesia.
Dengan kekayaan alam yang besar, termasuk kekayaan ikan dan mineral serta lokasi yang strategis di laut Natuna Utara, maka posisi Natuna sangat potensial dalam konteks kekuatan nasional Indonesia. Lokasinya yang jauh dari ibu kota Negara Indonesia telah membuat pengembangan wilayah perbatasan maritim tersebut mengalami keterbelakangan, sehingga menjadi peluang bagi negara lain termasuk nelayan China untuk memanfaatkan kekayaan laut di perairan Natuna.
Letak lokasi kepulauan Natuna ini merupakan kawasan strategis dan menjadi perhatian negara luar, seperti Amerika Serikat, China, Jepan, Filipina, Brunai Darussalam dan lain-lain. Amerika Serikat menghendaki perairan ini tidak dikuasai China namun menjadi perairan internasional yang terbuka. Selain itu Amerika Serikat menghendaki kawasan Laut China Selatan ini stabil, tidak dalam kondisi konflik kekerasan. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki akses ke laut Natuna Utara sekaligus menjaga mitra strategisnya seperti Filipina dan Jepang.
Semakin hari pelanggaran kedaulatan terhadap Indonesia semakin tinggi dan dilakukan secara terbuka (semakin berani), namun Indonesia tidak memiliki kebijakan yang kuat untuk menahan masuknya nelayan asing yang beroperasi di kawasan ZEE Indonesia (di laut Natuna Utara). Baru sejak pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo (Menteri Perikanan, Susi Pujiastuti) ada kebijakan keras menenggelamkan kapal-kapal asing yang tertangkap di perairan Indonesia termasuk di Natuna .
Selama pemerintahan Joko Widodo, strategi Indonesia sebagai negara yang memiliki doktrin poros maritim dunia mengukuhkan perlunya pengamanan perairan Indonesia dan penyelesaian perbatasan maritim. Diplomasi maritim Indonesia merupakan salah satu upaya untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan negara. Melalui upaya diplomasi maritim ini diharapkan negara tetangga yang berbatasan dengan Indonesia memiliki perjanjian dan saling menghormati kedaulatan masing-masing.
Kebijakan Indonesia yang mengukuhkan diri sebagai poros maritim dunia ini tidak serta merta menyelesaikan potensi pertikaian di kawasan ZEE Indonesia di Natuna dengan negara tetangga, dengan khususnya China. Posisi China yang semakin kuat secara politik dan militer menyebabkan percobaan untuk melakukan pelanggaran wilayah kedaulatan Indonesia, yang kemudian tercetus dalam berbagai laporan adanya nelayan China yang beroperasi di kawasan ZEE Indonesia di laut Natuna Utara.
Bahkan China semakin agresif dengan mengklaim laut Natuna Utara sebagai wilayah tangka bagi nelayan tradisional mereka. China mengikuti doktrin nine-dash line, yang mencakup sebagian wilayah maritim sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam. Anggota ASEAN ini sudah lama bersengketa dengan China di kawasan Kepulauan Spratly. Namun China menunjukkan tidak ada tanda-tanda penyelesaian secara legal karena adanya perbedaan basis penyelesaian. China menggunakan doktrin nine-dash line sebagai dasar klaimnya, sementara negara lain menggunakan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) untuk mengatur perbatasan maritim.
Menurut hemat penulis, diplomasi Indonesia untuk menyelesaikan masalah perbatasan maritim di Kepulauan Natuna ini tidak mengalami perkembangan. Bahkan anehnya Pemerintah Republik Indonesia mengklaim tidak melihat adanya masalah di wilayah tersebut. Namun di sisi lain, China semakin tampak menggunakan doktrin nine-dash line tersebut sebagai bagian dari landasan kebijakan barunya termasuk untuk kawasan perairan di sekitar kepulauan Natuna.
Sejumlah aktivitas nelayan China dilaporkan beroperasi di kawasan ZEE bahkan di dalam wilayah perairan Natuna. Tidak hanya nelayan bahkan telah dilaporkan kapal patroli laut China juga sudah memasuki wilayah hak berdaulat Indonesia di Natuna. Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyebutkan setidaknya 63 (enam puluh tiga) kapal ikan berbendera China dan dua kapal coast guard memasuki wilayah perairan ZEE Indonesia pada 19 Desember – 30 Desember 2019. (Batamnews, 2020)
Meski semakin besar persoalan perbatasan di laut Natuna Utara antara Natuna dengan China, respons Pemerintah Republik Indonesia masih menyandarkan kepada klaim legal UNCLOS. Pemerintah Indonesia secara tegas menolak klaim China atas perairan Natuna Utara yang mengacu pada doktrin nine-dash line atau garis imajiner itu. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan klaim itu tidak berlandaskan hukum internasional yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS.
Diplomasi Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus perbatasan di Natuna sekaligus peneguhan kedaulatan belum menguatkan petunjuk bahwa isu ini sudah selesai. Diplomasi maritim yang dilakukan Indonesia melalui penegakan poros maritim dunia dan berbagai forum internasional masih menunggu hasil yang diinginkan Indonesia.
Kajian mengenai kebijakan Indonesia terhadap isu perbatasan maritim di Kepulauan Natuna sudah banyak dilakukan. Obsatar Sinaga & Verdinand Robertua (2018) menjelaskan kebijakan Indonesia terhadap laut Natuna Utara menggunakan konsep humble-power. Indonesia memanfaatkan kemenangan Filipina di Permanent Court of Arbitration pada Juli 2016 yang menggunakan regulasi dari UNCLOS sebagai sandaran menyelesaikan isu perbatasan maritim. Dengan memanfaatkan putusan di Mahkamah Arbitrasi Internasional itu Indonesia memiliki peluang dalam mengadopsi kebijakan terhadap perairan maritim yang berbatasan dengan laut Natuna Utara.
Leo Suryadinata (2016) menyebutkan bahwa sikap Indonesia terkait dengan klaim China terhadap kawasan di Laut China Selatan termasuk perairan di Kepulauan Natuna sudah tegas. Indonesia tidak mengakui kebijakan China memberlakukan nine-dash-line di laut Natuna Utara. Barangkali inilah sebabnya Indonesia menyatakan tidak ada pertikaian perbatasan kedua negara di Kepulauan Natuna.
Iis Gindarsah (2017) dalam salah satu kajiannya menyatakan bahwa kawasan laut Natuna Utara dipandang penting oleh Indonesia sehingga pertikaian di dalamnya akan berimbas langsung ke Indonesia. Kebijakan Indonesia terhadap pertikaian di laut Natuna Utara yang belum menyentuh wilayah Kepulauan Natuna pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disinggung dalam kajian Derry Aplianta (2015). Meskipun di depan mata, Indonesia mengambil posisi netral dalam pertikaian di laut Natuna Utara.
*Asmara Juana Suhardi, ST., S.IP., M.Si adalah Mahasiswa Pascasarjana, Program Doktoral Sosiologi (S-3), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
NKRI harga mati
Merdeka
Jaga NKRI harga mati