; charset=UTF-8" /> PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN BERBAGAI MACAM PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN BELANDA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM - | ';

| | 267 kali dibaca

PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN BERBAGAI MACAM PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN BELANDA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM

(TAPAK TILAS 76 TAHUN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA)

OLEH : H. IWAN KURNIAWAN,S.H.,M.H.

PROKLAMASI SEBAGAI NORMA DASAR “GRUND NORM” ATAS KELAHIRAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA
Merdeka…..merdeka…..merdeka….. !!!, pekik perjuangan bangsa Indonesia terus berkumandang di saat bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya pada hari Jum’at, jam 10.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945, atau 76 (Tujuhpuluhenam) tahun yang lalu. Ketika itu, para pendahulu kita hidup dalam suasana tidak nyaman, tidak tentram, tidak damai dan tentunya masih sangat jauh dari kata hidup sejahtera dan bahagia, karena baru terbebas dari pengaruh kekuasaan militerisme Jepang tetapi masih belum terlepas dari ancaman kekuasaan Belanda dengan tentara “NICA”-nya (Neteherland Indie Civil Administration), yang membonceng pasukan sekutu di Indonesia.
Apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi saat ini maka sangat berbanding jauh dengan suasana ketika pertama kali diproklamirkan-nya Proklamasi Kemerdekaan 1945. Walapun sampai sekarang bangsa ini sedang dirundung lara berkepanjangan disebabkan pandemik COVID-19, namun patut kita syukuri bahwa pekik kemerdekaan, pengibaran sang saka merah putih, dan lantunan lagu Indonesia Raya masih dapat kita berlangsungkan dalam suasana tertib, tentram dan damai, meski tidak dapat di rayakan seperti halnya sebelum pandemik COVID-19 melanda negeri dua tahun yang lalu.
Meskipun kedengarannya agak naif, tapi mungkin ada benarnya, apabila bangsa ini harus mengucapkan terimakasih kepada Albert Einstein dan  J. Robert Oppenheimer, pencipta BOM ATOM. Walau tidak berhubungan langsung dengan bangsa Indonesia, jatuh dan meledaknya 2 (dua) bom atom di Hiroshima tanggal 6 Agustus dan Nagasaki tanggal 9 Agustus 1945 di Jepang, sangat berpengaruh besar terhadap perubahan nasib bangsa Indonesia. Yang mana pasca jatuhnya kedua bom tersebut, membuat kaisar Hirohito sebagai pimpinan tertinggi bala tentara Jepang pada perang dunia ke II, menyerah tanpa syarat kepada Amerika dan sekutu-nya tanggal 15 Agustus 1945.

Pasca jatuhnya atom yang diikuti menyerahnya tanpa syarat pimpinan militer Jepang terhadap sekutu, menjadi momen sejarah sangat penting bagi Indonesia. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, para pemimpin bangsa yang ketika itu diwakili Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, dengan didukung segenap bangsa Indonesia, memproklamirkan kemerdekaannya bertempat di sebuah gedung rumah hibah Faradj Martak kediaman Ir. Soekarno jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat, sekarang lokasi tersebut dijadikan “Tugu Proklamasi” oleh pemerintah R.I.
Kalimat pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia yang sangat singkat, padat dan sederhana, yaitu hanya memuat 2 alenia dengan 27 kalimat pendek, di tambah keterangan tempat dan tanggal serta 1 kalimat atas nama bangsa Indonesia yang ditandatangani oleh Soekarno/Hatta, sebagai penutup, dan untuk lebih jelasnya dapat dibaca dalam kutipan berikut ini :

R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Catatan : Teks Proklamasi tersebut Penulis tulis menurut ejaan aslinya.
Naskah Proklamasi yang teramat sakral bagi bangsa Indonesia, menjadi tonggak penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Kecerdasan dan keberanian para pimpinan bangsa dengan segenab dukungan bangsa Indonesia ketika itu, ditinjau dari sudut pandang hukum, menjadi suatu bukti sejarah bahwa bangsa ini merdeka bukan karena diberi dan/atau dihadiahi tetapi bangsa ini merdeka dari hasil perjuangannya. Tentunya teks proklamasi tersebut, adalah untaian kalimat hukum, yang dibuat dengan suatu kecerdasan, keberanian, dan keyakinan kuat, disusun berdasarkan kesepakatan nasional. Kesepakatan para pimpinan dengan didukung segenab bangsa inilah, menjadi kekuatan hukum atas Indonesia “MERDEKA “ yaitu terbebas dari penjajahan bangsa kolonial dan membentuk sebuah negara yang diberi nama Indonesia, bukan lagi “Hindia-Belanda”.
Teks Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan suatu Pernyataan Sikap bangsa Indonesia yang dapat kita artikan juga sebagai suatu “Pengakuan Murni Bangsa Indonesia” untuk Merdeka dan membentuk sebuah Negara merdeka yaitu sebuah negara yang tidak berada di bawah pengaruh dan kekuasaan negara lain. Ditinjau dari sudut pandang hukum, menurut hemat Penulis, Teks Proklamasi inilah yang kemudian menjadi dasar para pimpinan bangsa menyusun UUD 1945, yang terdiri dari Preambule “Pembukaan”, batang tubuh, penutup, dan penjelasan, lengkapnya UUD 1945 sebelum amandemen terdiri dari pembukaan, batang tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 65 ayat (16 ayat berasal dari 16 Pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat dan 49 ayat berasal dari 21 Pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih), 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasan, yang merupakan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia / NKRI.
Guna terhindar dari lupa akan sejarah, bahwa di sisi lain, Proklamasi 1945, merupakan suatu penegasan sikap atas sumpah para pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 lebih dikenal sebagai “SUMPAH PEMUDA”, yang mana untuk pertama kalinya para anak bangsa telah sepakat memberi nama Negara, Bangsa, dan Bahasa yaitu Indonesia. Oleh karenanya, para founding fathers dalam menyusun naskah teks Proklamasi, tidak ada sedikitpun keraguan memuat kata dan kalimat “kami bangsa Indonesia”.
Selanjutnya dalam UUD 1945, kalimat menerangkan bahwa bangsa dan negara ini diberi nama Indonesia, dipertegas dalam Alenia ke-dua Pembukaan UUD 1945, menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Kemudian kata-kata Negara Indonesia, dipertegas lagi pada Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, menyatakan “Negara Indonesia ialah negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
Perlu diingat bahwa sebelum Teks Proklamasi 17 Agustus 1945 diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan didampingi Drs. Mohammad Hatta dihadapan segenap bangsa Indonesia, ketika itu bangsa dan negara ini sebenarnya belum lahir dan masih dikenal dengan nama “Hindia-Belanda”, dan oleh kekuasaan pendudukan Militerisme Jepang, disebut Ranryō Higashi Indo 蘭領東印度 atau wilayah kekaisaran india timur.

Terlepas dari beberapa pendapat para ahli hukum Tata Negara Indonesia dalam kajian mereka tentang Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945, hemat Penulis ditinjau dari konsep teori hukum murni Hans Kelsen, dapatlah kiranya dikatakan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945, dikategorikan ke dalam konsep “Staat Fundamental Norm” yaitu sebagai norma dasar negara yang menjadi landasan disusunnya konstitusi “UUD 1945” sebagai dasar hukum tertulis dan tertinggi di Indonesia “konstitusi Negara Indonesia”, dengan Pancasila sebagai landasan filosofi “recht idea” atau norma dasar dalam pembuatan hukum positif Indonesia. Yang mana dalam konsep teori lainnya, Pancasila sebagai “recht idea” dikatakan juga sebagai “Grundnorm”, bagi bangsa Indonesia.
Ada baiknya di sini sebagai bahan komperatif Penulis kemukakan pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Ali Safaat dalam buku Teori Hans Kelsen tentang Hukum, mengemukakan bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 lebih tepat disebut sebagai staatsfundamentalnorm.

PERJANJIAN-PERJANJIAN PASCA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945 ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN BELANDA
Pasca bangsa dan Negara Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya yang disertai dengan berakhirnya pendudukan militerisme Jepang, Belanda kembali ingin menguasai Indonesia dan dengan berbagaimacam cara melakukan gerakan dan tindakan melalui jalur ancaman dan perang, jalur diplomatik atau diplomasi politik dan melalui jalur hukum dengan cara membuat perjanjian-perjanjian.
Adapun ancaman dan perang yang dilakukan oleh Belanda menghadapi bangsa Indonesia, yaitu dengan melakukan agresi – agresi militer antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :
Agresi Militer Belanda I dikenal dengan nama Operatie Product adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi ini dipimpin oleh Gubernur Jendral Johannnes van Mook. Operasi militer ini merupakan bentuk pengingkaran Belanda terhadap hasil Perundingan Linggar Jati pada tanggal 25 Maret 1947.
Agresi Militer Belanda II atau Operatie Kraai (operasi gagak) dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yokyakarta ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Akibat operasi tersebut ibu kota negara dipindahkan ke Sumatera (Bukit Tinggi) dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Ketika itu, demi mempertahankan kemederkaannya, selain menghadapi agresi militer Belanda, para pemimpin bangsa dengan menggunakan teknik diplomasi yang handal melakukan pula berbagaimacam perundingan dengan Belanda yang akhirnya menghasilkan beberapa bentuk perjanjian sebagai berikut :
Perjanjian Jakarta antara Pemerintah R.I. dengan Belanda (tanggal 10 Februari sampai 12 Maret 1946).
Dalam perundingan ini pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir dan Belanda diwakili oleh Van Mook dengan penengah dari Inggris diwakili oleh A. Clarck Kerr dan Lord Killearn. Hasil dari perundingan ini secara defacto Belanda mengakui kekuasaan Indonesia atas Jawa dan Sumatera.

Perundingan Hooge Veluwe (tanggal 14 sampai dengan 24 April 1946) di Belanda.
Dalam perundingan ini pemerintah Belanda menolak hasil perundingan di Jakarta sebelumnya, yang dalam perundingan tersebut membahas antara lain tentang :
Substansi konsep perjanjian atau protokol sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh perundingan Hoge Veluwe.
Membahas yang akan diajukan dalam konsep protokol Belanda seperti Persemakmuran (Gemeenebest) dan negara merdeka (Vrij-staat).
Membahas struktur negara berdasarkan federasi.
Membahas mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau Jawa.
Perjanjian Linggarjati (tanggal 10 s/d 15 November 1946) dekat Cirebon.
Perjanjian ini dipimpin oleh Lord Killearn, diplomat handal Inggris. Dari perjanjian ini menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :
Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Perjanjian Renville (tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Juni 1948) di atas kapal perang Amerika.
Perjanjian Renville diadakan di atas kapal perang milik Amerika Serikat yang dipakai sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dan KTN (Komisi Tiga Negara) sebagai perantaranya. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan seorang Indonesia yang bernama Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya. Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo ini merupakan sebuah taktik-siasat pihak Belanda dengan tujuan bahwa pertikaian antara Indonesia dengan Belanda merupakan masalah dalam negeri Indonesia dan bukan masalah internasional, sehingga tidak perlu adanya campur tangan negara lain.
Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut:
Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal.
RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.
Perjanjian Roem – Herman van Roijen (tanggal 14 April 1949 dan ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes- Jakarta)
Perjanjian Roem – Roijen, Indonesia diwakili oleh M. Roem sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia dan pemerintah Belanda diwakili oleh Herman van Roijen. Salah satu kesepakatan yang dicapai dari perjanjian ini adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Sebelum diadakan KMB (Konfrensi Meja Bundar) terlebih dahulu dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar dalam menghadapi KMB. Komisi PBB (Dewan Keamanan PBB) yang menangani Indonesia membentuk UNCI (United Nation Commision for Indonesia) sebagai pengganti KTN. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian ini menghasilkan keputusan sebagai berikut :
Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 1949.
Pasukan Belanda akan ditarik mundur dari Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.
Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu.
Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag Belanda.
Yokyakarta baru sepenuhnya ditinggalkan tentara Belanda pada tanggal 29 Juni 1949.

Konfrensi Meja Bundar di Den Hag (tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949)

KMB ini diikuti oleh perwakilan Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang mewakili berbagai negara ciptaan Belanda di Kepulauan Indonesia.
Perwakilan Indonesia yaitu Drs. Moh. Hatta (Ketua Delegasi), Mr. Moh.Roem, Prof.Dr. Soepomo, dr.J.Leimena, dan Mr. Sastroamidjoyo. Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Muwardi.
Perwakilan Belanda yaitu Mr. van Maarseven
Perwakilan BFO yaitu Sultan Hamid II; dan
Perwakilan UNCI yaitu Tom Critchley.
Isi dari KMB adalah sebagai berikut:
Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet (kapal perang kecil) akan diserahkan kepada RIS.
Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para anggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
Ke-6 perjanjian – perjanjian yang dibuat antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda “walau pemerintah Belanda saat itu belum mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945”, ditinjau dari sudut pandang hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung, pemerintah Belanda sebenarnya sudah mengakui Indonesia sebagai sebuah Negara, meski belum diakui secara resmi oleh pemerintah kerajaan Belanda. Secara resmi pengakuan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat “berbentuk RIS”, setelah ditandatanganinya “Pengakuan Kedaulatan Kerajaan Belanda” yang ditandatangani oleh Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag.
Namun perlu diingat bahwa sebelum ditandatanganinya pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, oleh Ratu Juliana di atas, sebagai sebuah negara yang berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia, secara de facto sudah diakui oleh dunia internasional termasuk PBB, yang dapat kita lihat dari adanya utusan diplomatik Inggris dan Amerika termasuk PBB pada perjanjian Linggarjati, Renville, Roem Roijen, sampai diselenggarakannya KMB di Den Haag.
Pengukuhan secara de facto dan de jure atas kemerdekaan Indonesia oleh Belanda dan PBB, terjadi setelah ditandatanganinya “Pengakuan Kedaulatan Kerajaan Belanda” oleh Ratu Juliana di Den Haag. Di mana PBB secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 28 Desember 1950 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 82, dan saat itu pula Indonesia masuk secara resmi menjadi anggota PBB sampailah saat ini.
Menapak tilas kemerdekaan Indonesia yang dimulai dari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia sampai Indonesia diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat oleh PBB, tergambar dengan jelas dan terang benderang, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang tangguh, dan dikaitkan dengan kondisi COVID-19 saat ini, hendaknya seluruh pimpinan dan anak bangsa belajar dari ketangguhan para pimpinan dan para pendahulu bangsa, agar Indonesia segera bangkit dan tumbuh, sebagaimana tagline / selogan Kemerdekaan Republik Indonesia ke 76, “Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”.

Kijanglama-Tg.Pinang, 17 Agustus 2021.

Ditulis Oleh Pada Rab 18 Agu 2021. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

1 Comment for “PROKLAMASI KEMERDEKAAN DAN BERBAGAI MACAM PERJANJIAN ANTARA INDONESIA DENGAN BELANDA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM”

  1. Merdeka..lanjutkan perjuangan pahlawan bangsa Indonesia..Merdeka💪💪💪

Komentar Anda

Radar Kepri Indek