; charset=UTF-8" /> PARADIGMA PENDIDIKAN UNTUK ANAK BANGSA - | ';

| | 3,360 kali dibaca

PARADIGMA PENDIDIKAN UNTUK ANAK BANGSA

(Sebuah Catatan “Kecil” untuk Jokowi-JK)

H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP Saat Menjadi Penceramah pada Acara Damai Indonesiaku TVOne,

Oleh : H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP.
Foto ketika H Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP Saat Menjadi Penceramah pada Acara Damai Indonesiaku TVOne pada 23 Agustus 2014 di Jakarta.

 

 

Manusia utuh adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh.,” kata Paulo Freire. Gagasan liberatif Freire tersebut mengandung kesamaan visi dengan Ali Syariati, pemikir Muslim kontemporer, yang menawarkan ide-ide liberalisasi Islam. Dalam bukunya Man and Islam (1982), Syariati mengungkapkan secara menarik tentang atribut yang melekat pada diri manusia yang membedakannya dengan binatang. Atribut dimaksud adalah kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas. Tiga atribut fundamental ini menjadi pembeda manusia dengan binatang, dalam dimensinya sebagai insan bukan sebagai basyar. Jika sebagai basyar, demikian Syariati, manusia berpotensi untuk terikat pada determinisme struktur fisiologis dan realitas empiris yang mengitarinya, maka sebagai insan, maka manusia, dengan ketiga atributnya itu, dapat melakukan  pengembaraan dalam membangun kebudayaan dan peradaban.

Pendidikan, sebagai institusi bagi penempaan manusia baik sebagai insan maupun basyar menuju pembangunan kebudayaan dan peradaban, selalu dituntut untuk diperbaharui secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan zaman agar ia tetap relevan dengan kebutuhan manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan globalisasi informasi, sekolah (sebagai salah satu institusi pendidikan) bukanlah satu-satunya tempat belajar. Apabila tidak melakukan langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi perubahan, maka pendidikan menjadi tidak relevan dan bukan tidak mungkin pada saatnya pendidikan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri.

            Zaman terus berubah seiring dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam proses perubahan itu, pendidikan memegang peranan penting, baik dalam konteks konservasi nilai-nilai maupun sebagai wahana untuk mempersiapkan anak didik menghadapi dunianya di masa depan. John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengelaborasi peran pendidikan dalam konteks perubahan tersebut, yaitu pertama, memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa; kedua, mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial; dan ketiga, untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan.

            Zamroni (2000) menjelaskan dua paradigma berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan, yaitu pertama, paradigma fungsional; dan kedua, paradigma sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan lebih disebabkan masyarakat tidak cukup memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan dan sikap modern, sehingga muncul tesis human investment, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.

            Sementara paradigma sosialisasi memandang peranan pendidikan adalah, pertama, mengembangkan potensi individu; kedua, meningkatkan produktivitas; ketiga, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam upaya memajukan kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialiasi ini, lahirlah gerakan dunia yang disebut education for all, yaitu pendidikan harus bisa diakses oleh seluruh warga masyarakat. Didorong oleh prinsip ini maka antara lain maraklah program-program wajib belajar (Zamroni, 2000). Indonesia,  setelah sukses dengan program wajib belajar 6 tahun, kini dilanjutkan dengan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, dan mungkin tidak lama lagi, seperti dikatakan Tilaar (2000), akan dilaksanakan program wajib belajar 12 tahun.

            Namun demikian, menurut Zamroni (2000) ada beberpa akibat negatif yang muncul dalam praktek pendidikan di Indonesia sebagai pengaruh dari kedua paradigma tersebut. Pertama, kedua paradigma tersebut telah melahirkan konsep pendidikan yang bersifat analitis-mekanistis dengan mendasarkan diri pada doktrin reduksionisme dan mekanisme. Reduksionisme pendidikan memandang peserta didik secara tidak utuh dan terpecah-belah. Akibat pandangan semacam ini, maka sistem pendidikan lebih mementingkan formalisasi daripada substansi. Nilai, rangking, indeks prestasi, NEM, dan ijazah, menjadi lebih penting daripada  pembentukan kepribadian siswa secara utuh.

Sementara itu, oleh doktrin mekanisme, pendidikan dipandang sebagai input-proses-output, yang menjadikan sekolah sebagai tempat terjadinya proses produksi layaknya pabrik. Anak didik dipandang sebagai raw-input, sementara guru, kurikulum, dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang dihasilkan. Paradigma pendidikan model ini jelas mempunyai banyak kelemahan, demikian menurut Zamroni. Di kelemahan tersebut adalah sistem yang bersifat mekanistik dan anak didik diperlakukan bagai barang produksi.

            Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggerak dan lokomotif pembangunan. Sebagai penggerak pembangunan, maka pendidikan harus mampu menghasilkan inovasi, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Dalam prakteknya, agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus diorganisir dalam suatu struktur manajemen yang sentralistis agar mudah dikontrol, kurikulum ditentukan dari pusat, dan evaluasi akhir untuk mengukur capaian yang sudah diperoleh bersifat tunggal, yaitu EBTANAS. (sekarang Ujian Nasional). Akibatnya, pendidikan kehilangan kreativitas dan keberagaman menjadi mati dalam praktek pendidikan.

            Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut bersumber pada kelemahan   paradigma pendidikan yang  dipakai. Oleh  sebab itu, usaha melakukan reparadigmatisasi pendidikan nasional menjadi urgen untuk dilakukan. Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendri (2004) menawarkan paling tidak ada empat paradigma pendidikan yang dapat dijadikan sebagai alternatif bagi formulasi paradigma pendidikan nasional ke depan, yaitu paradigma sistemik-organik, paradigma holistik-integralistik, paradigma humanistik dan paradigma multikulturalisme.

Paradigma Sistemik-Organik

            Paradigma ini dibangun atas dasar teori ekspansionisme dan teleologis. Ekspansionisme menyatakan bahwa segala objek, peristiwa, dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan yang satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.

            Sementara menurut teori teleologis pendidikan harus menghasilkan manfaat bagi perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya, dan dunia kerja khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan juga ditentukan oleh yang mereka lakukan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya.

            Pendidikan dengan paradigma sistemik-organik menekankan bahwa proses pendidikan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching). Kedua, pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel. Ketiga, pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri. Keempat, pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

            Dengan demikian, paradigma sistemik-organik mencoba untuk memecahkan problem di masyarakat tentang munculnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhakan oleh dunia kerja, sehingga setiap upaya pembaharuan pendidikan harus menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Artinya, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia sendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diperlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya. Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.

            Di samping itu, paradigma sistemik-organik menuntut pendidikan bersifat fleksibel-adaptif dan kreatif-demokratis. Fleksibel-adaptif berarti bahwa pendidikan lebih ditekankan sebagai suatu proses learning daripada teaching. Materi yang dipelajari bersifat integrated, materi yang satu dengan yang lain dikaitkan secara terpadu. Pada pendidikan dengan paradigma ini, karakteristik individu mendapat tempat yang layak. Kreatif-demokratis berarti bahwa pendidikan senantiasa menekankan pada suatu sikap untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil. Secara paedagogis, kreativitas dan demokrasi merupakan dua sisi dari satu mata uang. Tanpa demokrasi tidak akan ada proses kreatif, sebaliknya tanpa proses kreatif demokrasi tidak akan mempunyai makna.

Paradigma Holistik-Integralistik

            Paradigma holistik-integralistik memandang pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan potensi manusia secara utuh. Manusia dipandang sebagai kesatuan yang bulat, yakni kesatuan jasmani-ruhani, kesatuan makhluk pribadi-makhluk sosial-makhluk Tuhan, kesatuan melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya.

            Paradigma holistik-integralistik menekankan proses pendidikan sebagai berikut. Pertama, tujuan pendidikan mengintrodusir terbentuknya manusia dan masyarakat seutuhnya. Kedua, materi pendidikan mengandung kesatuan pendidikan jasmani-ruhani, mengasah kecerdasan intelektual-spiritual (emosional)-keterampilan, kesatuan materi pendidikan teoritis-praktis, kesatuan pendidikan pribadi-sosial-ketuhanan, kesatuan materi pendidikan keagamaan-filsafat-etika-estetika. Ketiga, proses pendidikan mengutamakan kesatuan kepentingan politik anak didik-masyarakat. Keempat, evaluasi pendidikan mementingkan tercapainya perkembangan anak didik dalam bidang penguasaan ilmu-sikap-tingkah laku-keterampilan.

 

Paradigma Humanistik

            Paradigma humanistik mengorientasikan proses pendidikan sebagai berikut. Pertama, tujuan pendidikan adalah “membudayakan manusia” atau “memanusiakan manusia” dan “membudayakan masyarakat”. Kedua, materi pendidikan memuat ilmu-ilmu kemanusiaan yang berupa filsafat tentang manusia, ilmu-ilmu agama yang menerangkan hubungan manusia dengan Tuhan, ilmu etika yang mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan ilmu estetika yang mengajarkan nilai-nilai keindahan. Ketiga, metode pendidikan menghargai hargai harkat, martabat, dan derajat manusia yang menghargai hak asasi manusia yang sesuai dengan firahnya. Keempat, proses pendidikan menciptakan suasana pendidikan yang manusiawi, menciptakan hubungan manusiawi antara anak didik, pendidik, dan masyarakat. Kelima, evaluasi pendidikan mengevaluasi perkembangan anak didik sebagai anak manusia yang berkembang, dengan memakai kriteria kemanusiaan.

Paradigma Multikulturalisme

            Gambaran bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya sangat plural. Kemajemukan bangsa Indoensia dapat dilihat dari dua sisi: horizontal dan vertikal. Secara horizontal, kemajemukan bangsa Indoensia dapat dilihat dari segi perbedaan agama, etnis, bahasa, geografis, pakaian, makanan, dan budayanya. Secara vertikal, kemajemukan bangsa Indonesia dapat diamati dari perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Karena faktor kemajemukan inilah sering terjadi konflik antar kelompok masyarakat. Konflik-konflik ini melahirkan instabilitas keamanan, sosio-ekonomi, dan ketidakharmonisan sosial. Dalam menghadapi pluralisme budaya tersebut, pendidikan berparadigma multikultralisme mengarahkan anak didik untuk bersikap dan berpandangan toleran dan inklusif.

            Pendidikan yang demikian memandang manusia sebagai makhluk makro sekaligus makhluk mikro yang tidak akan terlepas dari akar budaya bangsa dan kelompok etnisnya. Akar makro yang kuat akan menyebabkan manusia tidak pernah tercabut dari kemanusiaannya, sedang akar mikro yang kuat akan menyebabkan manusia mempunyai tempat berpijak yang kuat dan dengan demikian tidak mudah diombang-ambingkan oleh perubahan yang amat cepat yang menandai kehidupan modern.

            Pendidikan yang berwawasan multikulturalisme bertujuan membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat manusia berbudaya, bermaterikan nilai-nilai luhur kemanusia, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis, bermetode yang demokratis yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keragaman budaya bangsa dan kelompok etnis.

            Citra pendidikan di atas, bertujuan menghasilkan manusia yang utuh. Untuk mendidik manusia utuh, apabila diukur menurut ukuran Bloom, maka perhatian pendidikan diarahkan pada pencapaian ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan menurut UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar  pengalaman belajar peserta didik, yaitu pertama, belajar mengetahui (learning to know); kedua, belajar berbuat (learning to do);  ketiga, belajar hidup bersama (learning to live together); dan keempat, belajar menjadi seseorang (learning to be). Muara dari proses ini adalah terciptanya manusia dewasa dan mandiri, seperti diungkapkan Tolkhah dan Barizi (2004), yaitu manusia memiliki aksentuasi  pada suatu kemampuan, baik kemampuan intelektual (intellectual ability) maupun kedewasaan emosional (emotional maturity) yang umumnya dikaitkan dengan tiga hal yaitu pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude), dan keterampilan (know-how, skill).

 

Usaha yang Dilakukan

Pemerintah Indonesia telah melakukan usaha serius dalam usaha perbaikan bangsa ini secara umum dan dalam usaha reformasi pendidikan nasional khususnya. Sebagai bukti adalah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004, dan diterbitkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional revisi atas UU No. 2 tahun 1989 sebagai payung hukum bagi praktek pendidikan nasional. Bab II Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 itu menyebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pemberian otonomi pendidikan kepada daerah bahkan sampai pada tingkat sekolah di era otonomi daerah seperti diamanatkan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat dalam upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan masyarakat sekaligus memberdayakan komponen masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di sekolah. Dalam kerangka inilah, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai terjemahan langsung School-Based Management (SBM) tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang ditawarkan. MBS dinilai sebagai paradigma manajemen yang urgen untuk diterapkan dalam pengelolaan sekolah, sebagai institusi pendidikan, sesuai dengan tuntutan reformasi dalam era globalisasi. MBS merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodir keinginan masyarakat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah (Mulyasa, 2002).

Implementasi MBS diamanatkan secara tertulis melalui UU No. 20 Tahun 2003, seperti tertuang dalam Bab XIV Pasal 51 Ayat 1 yang menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Pemberian otonomi yang luas kepada daerah melalui konsep desentralisasi pendidikan ini, secara filosofis dan praktis sesungguhnya telah memberikan peluang yang signifikan kepada masyarakat Indonesia yang beragam guna mengembangkan model dan karakteristik pendidikan yang relevan dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Kepentingan daerah, budaya setempat, kebutuhan riil masyarakat secara umum dan siswa secara khusus adalah bagian yang mendapat tempat yang layak dalam proses pendidikan seperti yang diinginkan oleh pendidikan yang berparadigma sistemik-organik seperti dikemukakan di awal.

Pemerintah Indonesia juga telah berupaya menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dalam rangka mencapai keunggulan masyarakat dalam penguasaan ilmu dan teknologi. KBK adalah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar perfomansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab (Mulyasa, 2004). Konsep KBK ini telah mengakomodir ukuran keberhasilan pendidikan baik berdasarkan standar Bloom dengan konsep ranah kognitif, afektif, dan psikomotornya, maupun  UNESCO dengan learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be-nya.

Dengan konsep kurikulum yang holistik melalui KBK dan implementasi manajemen pendidikan yang desentralistis melalui MBS, sesungguhnya pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya konseptual yang sungguh-sungguh bagi reformasi pendidikan bangsanya. Apalagi sekarang telah muncul lagi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan yang terakhir adalah Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan merupakan langkah lanjutan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Hal ini patut mendapat apreasiasi positif dan operasional yang kondusif dari setiap pihak dalam rangka menyukseskan proses pendidikan di negara tercinta ini. Pada tataran konsep, pendidikan nasional pada dasarnya sudah cukup mantap. Secara konseptual, sistem pendidikan di negara yang sudah ketinggalan jauh dengan negara jirannya dalam hal pengembangan sumber daya manusianya ini, sudah memuat paradigma-paradigma yang ditawarkan oleh para pakar sebagaimana dijelaskan di atas. Tinggal yang patut dipertanyakan, sudahkan kita berbuat untuk perbaikan pendidikan pada tataran operasional?

Kita berharap banyak kepada Bapak Ir. H. Joko Widodo dan Bapak Drs. H. M. Jusuf Kalla yang telah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada tangal 20 Oktober 2014, mampu membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang lebih maju dengan menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan ke depan.

Dengan pembangunan sektor pendidikan yang relevan semoga anak bangsa ini menjadi “manusia utuh” seperti yang diangankan Freire. Ia tidak hanya menjadi objek karena hanya mampu beradaptasi, tetapi ia mampu menjadi subjek bagi dunia ini, dengan berbekalkan potensi fundamental yang oleh Ali Syariati disebut sebagai kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A. CP NLP, adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Penceramah Damai Indonesiaku TVOne, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Sen 20 Okt 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

1 Comment for “PARADIGMA PENDIDIKAN UNTUK ANAK BANGSA”

  1. Euis Raolina

    Excelent

Komentar Anda

Radar Kepri Indek