; charset=UTF-8" /> Pahlawan Masa Kini, Substansi Atau Sensasi - | ';

| | 202 kali dibaca

Pahlawan Masa Kini, Substansi Atau Sensasi

Oleh ; Dewi Ayu Larasati, SS, M. H.

 

Tiada negara tanpa pahlawan. Pahlawan selaluhadirmenghiasi lembar sejarah manusia. Thomas Carlyle, sejarawan Skotlandia abad kesembilan belas, menjadikan pahlawan pelaku utama dalam sejarah, ‘Sejarah universal, sejarah tentang apa yang telah dihasilkan manusia di dunia ini, pada dasarnya adalah sejarah orang-orang besar yang telah berkarya di sini’.

Di Indonesia, orang biasa mengartikan pahlawan sebagai orang yang gugur di medan
perang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Jasad mereka dikuburkan di
Taman Makam Pahlawan. Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pahlawan
artinya orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.
Sosok yang gagah berani ini juga paralel dengan kata ‘hero’ dalam bahasa Inggris
yang diambil dari bahasa Yunani, yaitu satu sosok legendaris dalam mitologi yang dikaruniai kekuatan yang luar biasa, keberanian dan kemampuan, serta diakui sebagai keturunan dewa.
Selalu ada unsur pengorbanan dan keberanian dalam kepahlawanan.
Realitas keberanian untuk mewujudkan perubahan dengan segala konsekwensi.
Keberanian melawan penjajah yang sangat kuat dan kejam. Keberanian untuk mempertahankan harga diri bangsa, membela tegaknya eksistensi dan cita-cita negara
merdeka. Tanpa pengorbanan para pahlawan, kita tidak tahu betapa nasib kita sebagai suatu
bangsa yang terjajah. Dengan jiwa dan darah mereka itulah kita sekarang ini dapat hidup
terhormat sebagai bangsa yang merdeka.
Tidaklah berlebihan jika, sebagai wujud penghargaan kepada pahlawan, pemerintah
menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959
tanggal 16 Desember 1959. Penghargaan kepada pahlawan merupakan wujud pengakuan atas
peran-peran heroik dalam membentuk kesadaran politik dan historis masyarakat Indonesia.
Sakralitas tersebut juga ditandai dengan pemberian gelar kepahlawanan plus bintang jasa.
Sayangnya, penilaian atas seseorang agar layak disebut pahlawan sering kali tidak jelas,
sehingga menimbulkan polemik di masyarakat kita. Undang-undang ataupun syarat-syarat
untuk menjadi Pahlawan Nasional berada dalam wilayah abu-abu karena menempatkan
tokoh-tokoh kita cuma sebagai objek birokratis. Pencalonan Pahlawan Nasional, misalnya,
mesti diajukan provinsi. Gelar Pahlawan Nasional juga sering dipolitisasi oleh penguasa
untuk menanamkan penafsiran khusus pada masa lalu yang bermanfaat bagi keperluan-
keperluan politik tertentu.
Pahlawan itu sejatinya bukan gelar. Gelar bagi pahlawan bukanlah substansi yang
sesungguhnya. Hari ini seseorang bisa disebut pahlawan, tapi di lain hari bisa disebut
pengkhianat. Bung Tomo sebagai salah satu pahlawan bangsa, dalam bukunya ‘Menembus
Kabut Gelap’ (2008) mengatakan agar Hari Pahlawan itu dipergunakan menumpahkan
perhatian dan hormat kita kepada para pahlawan yang telah gugur. Bersatu melanjutkan perjuangannya mengisi kemerdekaan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita nasional.
Substansi Hari Pahlawan juga ditegaskan oleh Bung Hatta (1954: 173-174) yang
menghendaki pahlawan dihormati dengan teropong substansial untuk memberi label formal dan kultural, ‘Apabila kita memperingati djasa pahlawan-pahlawan kita, hendaklah kita
peringati dengan penghargaan akan tjita-tjita mereka terhadap Tanah Air. Bukankah Tanah
Air jang merdeka, berdaulat, adil dan makmur jang djadi dorongan bagi mereka untuk
berkorban?’
Idealisme pahlawan dalam pikiran Bung Hatta bergerak pada rel perjuangan untuk
mengukuhkan substansi Tanah Air. Dari konsep tanah air inilah semangat patriotisme itu
lahir. Kualitas patriotisme yang dimiliki setiap warga menjadi kekuatan hakiki sebuah negara.
Dewasa ini, sejalan dengan modernitas dan kemajuan peradaban bangsa, jejak para
pahlawan makin kehilangan gemanya. Peringatan hari bersejarah ini terlihat sebagai sebuah seremoni belaka. Bahkan pengibaran bendera tidak lagi menjadi ritual simbolis. Kadar nasionalisme kita barangkali sudah luntur. Atau ada ketidakpedulian. Atau merasa tak berguna memikirkan apa pentingnya mengibarkan Merah Putih.
Peringatan Hari Pahlawan ini seharusnya dijadikan momen perenungan kembali apa
sebetulnya sosok ideal kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara. Kita menanti
regenerasi pahlawan yang sanggup berjuang untuk Indonesia masa kini.
Proses alih-generasi makna pahlawan nampaknya tak begitu diperhatikan. Pahlawan
selalu identik dengan kondisi fisik kematian melalui sebuah peperangan, sehingga elan dasar kata pahlawan seperti sebuah museum kehidupan di masa lalu.
Saat ini kita hanya memiliki sedikit sekali pahlawan-pahlawan kolektif yang kehidupannya memberi teladan tentang lapisan lebih dalam dari kemungkinan dan aspirasi
manusia dan menyentuh kehidupan kita sendiri dengan cara yang anggun.
Kemunculan pahlawan saat ini hanya berorientasi pada sensasi dan sebaliknya
mengabaikan substansi. Pahlawan yang membangun kuasanya berbasis pragmatisme
transaksional. Mereka mengklaim hal-hal tertentu atas dasar patriotisme, nasionalisme, guna merebut publisitas luas untuk keuntungan politis. Mereka sosok yang haus publisitas, bahkan dikenal sebagai jenius dalam bidang publisitas. Patriotisme dijadikan kedok untuk menutupi tindakan politis yang kontroversial seolah-olah menjadi tindakan untuk menyelamatkan eksistensi negara.
Sikap patriotik mereka tidak memberikan suri teladan kepada kita karena posisi-posisi
kepemimpinan yang mereka duduki malahan dimanipulasi untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kelompok, suku, atau agama masing-masing. Mereka bekerja karena pamrih alias
ingin mendapatkan imbalan semata.
Dengan sensasinya, mereka menyandang labelling selebriti dengan fenomena sosial
yang sensasional. Apalagi mereka mampu mengeksploitasi media dengan pernyataan-
pernyataan politiknya yang menarik untuk dipublikasikan sehingga mampu melahirkan
image (pencitraan).
Dalam sejarahnya, label pahlawan lebih dahulu disematkan sebelum selebriti sebagai
sosok yang dipuja masyarakat. Carlyle (dalam Santoso, 2014:434) menyatakan enam tipe
klasik yang cocok dalam periode historis, yakni pahlawan sebagai teologi, nabi, penulis,
pendeta, man of letters, dan raja. Seluruh tipe pahlawan memiliki kualitas yang menempatkan mereka terpisah dengan orang awam. Mereka telah melakukan sesuatu, bertindak dalam dunia, baik tertulis, pemikiran, pemahaman, maupun kepemimpinan.
Selebriti, disisi lain, tidak perlu melakukan salah satunya karena fungsinya tidak
untuk bertindak, namun terancang. Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan sejarah selebriti berkaitan erat dengan perkembangan teknologi media, meski tidak secara spesifik bergantung dengannya.
Brian Mcnair dalam bukunya Introduction to Political Communication membedakan
antara selebriti dan pahlawan, dimana pahlawan dikenal karena sepak terjangnya membela kepentingan orang banyak melalui kemampuan dirinya (self capability) karena itulah ia adalah big man, tetapi seorang selebriti justru dikenal berkat liputan media, karena itu disebut dengan big name.
Pahlawan saat ini harus bekerja dalam masyarakat yang semakin pragmatis,
transaksional, dan berpikir instan untuk kepentingan individual berjangka pendek. Sejauh diyakini benar, kerjakanlah dengan mantap meski kemantapan itu akan dinilai sebagai sensasi untuk mencari popularitas (Mahfud MD, 2007:127). Dalam hal ini, mungkin sudah zamannya jika sensasi digunakan sebagai teknik untuk mendapatkan substansi. Seperti yang kita lihat dalam tokoh berikut.
Di Mexico, ada Superbarrio Gomez, ‘superhero’ sungguhan dari ibukota Meksiko.
Ketika muncul di publik pertama kali pada Juni 1987, Superbarrio Gomez memakai kostum
ketat berwarna merah dengan logo di dada, jubah yang mengguntai di punggung, kancut kuning di luar, dan juga menggunakan topeng bergaya luchador atau pegulat gaya bebas khas
Meksiko. Siapa musuh yang dilawannya: para koruptor, bajingan-bajingan korporasi, atau
kalangan jetset yang tak tahu malu untuk kelewat kaya di daerah miskin.
Sepintas Superbarrio Gomez memang menggelikan. Cukup sulit untuk tak
menganggapnya sekadar mencari sensasi belaka. Akan tetapi, melalui aspek performance art tentang protes-protes politiknya tersebut, kehadiran Superbarrio Gomez memang
‘dibutuhkan’ oleh masyarakat spektakel. Ia adalah protagonisme yang menjadi jembatan
antar kelas di ruang-ruang urban, yang jauh di kemudian hari juga melahirkan pahlawan
bertopeng lain seperti Subcomandante Marcos.
Kepahlawanan bisa hadir pada siapa saja. Orang tidak perlu merasa sebagai sosok
superhero untuk menjadi pahlawan. Kita tidak perlu juga menggunakan topeng untuk
menunjukkan sikap kepahlawanan kita. Pahlawan hanya konstruksi politik di negeri yang ingin menghalalkan sebuah sejarah. Pada akhirnya ia memang tokoh ‘kekal’ yang dipoles
(Goenawan Mohamad, 2013). Namun tenggelam dalam sensasi, tak bisa mengendalikan diri,
tak bisa melakukan apa pun selain mengikuti intensitasnya, adalah suatu kekacauan (chaos).
Catatan, penulis adalaf staf pengajar di USU tinggal di Medan, Sumut.
Ditulis Oleh Pada Sel 05 Nov 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek