; charset=UTF-8" /> Non-Claimant State - | ';

| | 383 kali dibaca

Non-Claimant State

Oleh
Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA
Walaupun Indonesia tidak mengklaim untuk seluruh dan sebagian wilayah di Laut Cina Selatan (LCS), namun Indonesia secara terus menerus berupaya untuk memberikan kontribusi dalam hal meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan. Dalam sengketa di LCS, Pemerintah Cina kembali membuat suasana memanas dan berpotensi terjadinya konflik terbuka dengan berupaya mendirikan bangunan di Bombay Reef, Kepulauan Paracel yang merupakan salah satu wilayah
yang masih dipersengketakan oleh negara-negara ASEAN dan Cina. Pembangunan bangunan yang diduga sebagai basis pertahanan di lokasi Bombay Reef tersebut merupakan wilayah yang sangat strategis dan hal tersebut akan memicu konflik terbuka dengan negara-negara yang mengklaim sebagai wilayahnya.
Dari sudut pandang geo-politik dan geo-strategis, letak dan posisi Laut Cina Selatan
memiliki nilai yang cukup berpengaruh secara pertahanan dan keamanan regional khususnya
kawasan Asia Pasifik. Selain diyakini memiliki sumber daya alam yang sangat potensial dan
menjanjikan, juga Laut Cina Selatan merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat strategis dan dilayari oleh beberapa negara untuk mendukung ekonominya dan kedaulatan wilayahnya. Letaknya yang strategis dengan sumber daya alam yang potensial, menjadikan Laut Cina Selatan banyak diperebutkan oleh beberapa negara yang mengklaim bahwa Gugusan disekitar Kepulauan Laut Cina Selatan dan Kepulauan Paracel tersebut merupakan milik mereka.
Seperti diketahui Gugusan di Kepulauan Laut Cina Selatan dan sekitarnya diperebutkan
oleh beberapa negara seperti Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina dan tentunya Cina. Di
Gugusan Laut Cina Selatan dan Gugusan Kepulauan Spartly tersebut merupakan wilayah yang hingga saat ini masih diklaim oleh negara-negara tersebut. Oleh sebab itu, Indonesia yang tidak mengklaim wilayah tersebut tentu memiliki kepentingan dalam hal menjaga stabilitas dan keamanan regional khususnya di kawasan Asia Tenggara, sebab beberapa negara di dalam ASEAN mengklaim dan berpotensi konflik terbuka dengan Cina yang telah mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Cina di Manila, Filipina November 2017, Beijing sebenarnya sudah sepakat untuk memulai proses perundingan kode etik ( code of
conduct/ ) terkait perebutan wilayah di Laut Cina Selatan bersama ASEAN. Kesepakatan tersebut merupakan batu loncatan terbesar dalam 15 tahun terakhir. Pada November 2002, ASEAN dan Cina telah menandatangani dokumen “Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea”. Seharusnya, dokumen tersebut berperan sebagai referensi ketika muncul ketegangan di Laut Cina Selatan. Namun, dokumen kode etik tersebut hanya berfungsi sebagai pemberi batasan
moral bagi para pihak yang bertikai dalam sengketa tersebut. Pada KTT ASEAN ke-33 di
Singapura pula, negara-negara ASEAN dan Cina kembali membuka pembahasan solusi sengketa
Laut Cina Selatan. Dalam kesepakatan tersebut, negara negara yang mengklaim sebagai
wilayahnya menyepakati perundingan dengan cara negosiasi berdasarkan kode etik yang sudah ditandatangani sebelumnya.
Dalam KTT AS-ASEAN yang diadakan di California, Amerika Serikat beberapa waktu
yang lalu dan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, menegaskan kembali bahwa walaupun
Indonesia sebagai negara yang tidak mengklaim (non-Claimant State) untuk sebagian atau seluruh kawasan di Laut Cina Selatan, namun Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar dalam hal menjaga stabilitas kawasan Asia-Pasifik khususnya Asia Tenggara. Oleh sebab itu
dalam KTT AS-ASEAN tersebut, Indonesia mendorong untuk terus melakukan dialog dengan Cina dalam hal penyelesaian sengketa wilayah di kawasan Laut Cina Selatan (LCS). Indonesia, sebagai negara yang besar dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, oleh Amerika Serikat diyakini dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam hal penyelesaian konflik teritorial
di wilayah tersebut (LCS). Di mata Amerika Serikat, Indonesia dan dalam Forum ASEAN sendiri, Indonesia masih merupakan negara yang dapat memberikan solusi dalam hal penyelesaian konflik di Laut Cina Selatan. Oleh sebab itu, dalam KTT AS-ASEAN, Indonesia masih memberi perhatian khusus
terhadap konflik di Laut Cina Selatan agar ketegangan yang selama ini terjadi dapat diselesaikan melalui meja perundingan.
Indonesia dalam memandang sengketa di Laut Cina Selatan lebih menekankan agar
Hukum Internasional harus dihormati dan rivalitas kekuatan besar harus dicegah khususnya antara Amerika Serikat dan Cina. Jalan perundingan dengan mentaati dan menghormati komitmen-komitmen dalam Deklarasi berperilaku di kawasan Laut Cina Selatan (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) harus tetap dijaga. Deklarasi berperilaku di kawasan Laut Cina Selatan telah disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN dan Cina pada 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja. Deklarasi tersebut harus tetap terjaga dan ditaati oleh
semua pihak yang bertikai secara penuh dan efektif. Masalah-masalah yang timbul hendaknya dapat diselesaikan dengan mekanisme yang telah disepakati sesuai dengan Code of Conduct tersebut. Intinya bahwa setiap negara yang memiliki sengketa di wilayah Laut Cina Selatan untuk tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum Internasional dan mengedepankan meja perundingan serta menghindari konflik militer.
Peran Amerika Serikat. Keterlibatan Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia-Pasifik khususnya dijalur Laut Cina Selatan diyakini sebagai kepentingan ekonomi serta melindungi Taiwan yang sedang memiliki konflik teritorial dengan Cina. Taiwan yang mengklaim wilayah di Laut Cina
Selatan menginginkan Amerika Serikat untuk berperan dalam hal melindungi kepentingannya di kawasan Laut Cina Selatan. Amerika Serikat menganggap Jalur pelayaran di Laut Cina Selatan merupakan jalur yang utama dan strategis dalam menjaga stabilitas politik, ekonomi serta sistem pertahanan dan keamanan regional kawasan di Asia Pasifik.
Secara geo-politik dan keamanan, kehadiran militer Amerika Serikat yang secara tak
langsung menginginkan kestabilan kawasan di Laut Cina Selatan dengan menempatkan
Pangkalan militernya khususnya di Jepang dan Guam. Hal tersebut adalah sebagai penyeimbang kekuatan yang berhadapan secara tidak langsung dengan Cina. Praktis tidak ada kekuatan yang dapat menyaingi Cina selain Amerika Serikat khususnya di kawasan Laut Cina Selatan.
Secara geo-strategis pula, kehadiran Amerika Serikat di kawasan Laut Cina Selatan yang menenpatkan pangkalan militernya di Jepang dan Guam sebagai upaya perimbangan kekuatan militer dengan Cina.
Amerika Serikat dapat membantu jika sewaktu-waktu Cina akan menyerang negara-
negara sekutunya seperti Filipina dan Taiwan. Oleh karenanya, kehadiran militer Amerika
Serikat di kawasan Laut Cina Selatan amat diperlukan dalam upaya menyeimbangi kekuatan militer Cina yang akhir-akhir ini menunjukkan kekuatannya yang tidak saja meningkatkan anggaran militernya namun juga sudah menempatkan Satelit Pertahanan di kawasan Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, walaupun Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam hal perimbangan kekuatan terhadap konflik di Laut Cina Selatan, seyogyanya pula kesepakatan yang
telah disetujui oleh negara-negara yang mengklaim kawasan di Laut Cina Selatan untuk tetap terus mentaati apa yang telah tertuang dalam Deklarasi berperilaku di kawasan Laut Cina Selatan
(Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea) tersebut.
Catatan : Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya di BPSDM Provinsi Riau.

Alumni Ekonomi-Politik Internasional IKMAS, UKM Bangi Malaysia
Ditulis Oleh Pada Sel 11 Des 2018. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek