; charset=UTF-8" /> Mengenal Konsep Merdeka Belajar Nadiem A Makarim - | ';

| | 273 kali dibaca

Mengenal Konsep Merdeka Belajar Nadiem A Makarim

Oleh : AJ Suhardi

Mendengarkata‘Merdeka”orang selalu berkonotasi terhadap kebebasan daris ebuah belenggu atau penjajahan. Bila “Merdeka Belajar” juga diartikan sebagai kebebasan dari sebuah belenggu, berarti selama ini proses pembelajaran di negeri kita masih terjajah, terbelenggu atau belum medeka.

Tidak diketahui secara jelas apa yang menjajah atau membelenggunya. Mungkin saja
terbelenggu oleh kurikulum, terjajah oleh quantum teaching, terbelenggu oleh jam belajar
efektif, terbelenggu oleh kafabilitas para pendidik atau juga terjajah oleh tuntutan kemajuan zaman.
Benarkah demikian adanya? Untuk memahaminya mari kita perhatikan empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar” yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Anwar Makarim baru-baru ini.
Kebijakan tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), menyangkut
Ujian Nasional (UN), mengenai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan tentang peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Sistem Zonasi.
Program pokok kebijakan pendidikan yang akan menjadi arah pembelajaran dimasa
depan tersebut notabene berfokus pada arahan Presiden dan Wakil Presiden RI dalam upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di era milenial.
Pertama, arah kebijakan dalam penyelenggaraan USBN. Tahun 2020 ini akan diterapkan USBN melalui ujian yang hanya diselenggarakan di tingkat sekolah masing-masing. Ujian tersebut dilakukan untuk menilai kompetensi peserta didik.
Meskipun dilakukan dengan cara tes tertulis maupun bentuk penilaian lainnya, namun
diharapkan menghasilkan hasil eveluasi yang lebih konprehensif dan holistik. Sehingga dapat
mengakomodasi berbagai kecerdasan, keterampilan, etika, moral dan perilaku peserta didik secara nyata/riil.
Kedua, Tahun 2021 kelak, UN akan dirubah menjadi assesment kompetensi dan survei
karakteristik. Dengan demikian diharapkan terpantau kemanpuan literasi, numerasi dan karakter peserta didik secara langsung. Proses ini akan dilakukan pada kelas tengah jenjang sekolah (Kelas IV SD, Kelas VIII SLTP dan Kelas XI SLTA).
Assesment kompetensi dan survei karakteristik diharapkan dapat memotivasi para guru
dan sekolah masing-masing untuk memperbaiki mutu dan proses pembelajarannya. Dengan demikian keunggulan sebuah sekolah dapat diraih melalui kompetisi yang sehat dan rasional.
Selain itu Assesment juga dapat membantu para guru dalam mendiagnosa kemampuan
peserta didik pada topik-topik substansial, bahkan dapat memperkaya penilaian formatif di sekolahnya. Peserta didik akan teruji kemampuannya dalam bernalar menggunakan bahasa (literasi), menggunakan nalar matematis (numerasi) dan memperkuat pendidikan karakter.
Ketiga, para pengajar/pendidik dapat secara leluasa membuat, memilih, memakai dan
mengembangkan format RPP. RPP dapat dibuat secara efektif dan efisien, sehingga para
pengajar/pendidik punya kesempatan lebih optimal dalam mempersiapkan dan mengevaluasi mutu dan proses pembelajaran yang akan disampaikan.
Dalam pembuatan RPP, yang terpenting adalah esensinya agar dapat merefleksikan
substansi bahan atau materi yang akan diajarkan, bukan sekedar penulisannya yang bagus. Selain komponen intinya, komponen lainnya dapat dipilih secara mandiri yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan assesment.
Keempat, Merancang kebijakan PPDB yang lebih fleksibel. Tujuannya adalah untuk
mengakomodir ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Jalur zonasi milenal 50%,
jalur afirmasi minimal 15%, jalur mutasi maksimal 5% dan jalur prestasi 0-30% disesuaikan dengan kondisi daerah.
Dalam hal ini daerah diberi kewenangan menentukan proporsi akhir dan menentukan
wilayah zonasi. Sehingga pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diimbangi/diiringi
dengan inisiatif dari pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah-sekolah yang
kekurangan guru, pengadaan sarana dan prasarana, alat transportasi dan lain-lain.
KONSEP LAMA
Sebenarnya rencana penghapusan UN tersebut pernah diwacanakan oleh Mendikbud RI,
Anies Baswedan pada awal tahun 2015 lalu. Ketika itu direncanakan UN tidak lagi menjadi
penentu kelulusan peserta didik, melainkan hanya sebagai sarana pemetaan pendidikan Nasional saja.
Meskipun UN tidak menentukan kelulusan peserta didik, namun dapat dijadikan mediasi
atau alat bantu dalam seleksi ke jenjang pendidikan selanjutnya. Menurut Anies Baswedan, pelaksanaan UN ketika itu kerap menzolimi peserta didik yang berprestasi di tingkat sekolah dan bahkan berprestasi di tingkat daerah.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa peserta didik yang berprestasi di sekolah atau di
daerahnya itu gagal dalam UN, sementara tidak sedikit pula peserta didik yang “kacau balau”
prestasinya, moralnya dan etikanya justru berhasil lulus. Itulah salah satu alasan untuk
memberikan otonomi kepada sekolah dalam menentukan kelulusan.
Ketika terjadi perubahan Mendikbud RI, Anies Baswedan digantikan oleh Muhadjir
Effendy, keluarlah kebijakan moratorium UN tahun 2017. Alasannya orientasi mata pelajaran
UN akan mereduksi mata pelajaran lainnya. Dikhawatirkan terjadi dikotomi mata pelajaran
penting dan mata pelajaran yang kurang penting.
TerkesanpesertadidikhanyadipersiapkanuntukmenghadapiUN,sehinggaguru-guru
yang mengajar mata pelajaran lain (di luar mata pelajaran UN) kurang dihargai, bahkan dianggap tidak penting. Selain itu, UN dirasakan kurang efektif dalam mengevaluasi capaian belajar, karena hanya menguji ranah kognitif saja. Sedangkan urusan agama, moral, etika, perilaku dan lain-lain terabaikan.
BELAJAR DARI NEGARA LAIN
Dalam rencana penerapan penghapusan UN ini, Indonesia perlu melakukan studi tiru ke
negara-negara lain yang sudah lama memberlakukan penghapusan UN, seperti: Amerika Serikat, Jerman, Australia, Filandia, Jepang, Singapura dan lain-lain.
Amerika Serikat tidak pernah mengenal ujian secara nasional, namun peserta didik yang
akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi harus memenuhi persyaratan batas-
batas nilai yang telah ditentukan oleh sekolah, lembaga atau perguruan tinggi yang akan dipilih untuk dimasuki.
Begitu juga peserta didik di Jerman. Mereka tidak pernah menghadapi ujian nasional.
Setiap peserta didik berpacu mengejar kompetensi nilai yang dipersyaratkan oleh sekolah atau perguruan tinggi yang akan dituju. Tidak heran kalau peserta didik di Amerika Serikat dan Jerman dikenal sebagai peserta didik yang sangat aktif.
Lain halnya di Australia, meskipun tidak mengenal ujian nasional, namun pada akhir
masa belajar para peserta didik diberbagai jenjang pendidikan dihadapkan dengan ujian state.
Ujian ini bukan sebagai penentu kelulusan peserta didik, melaikan sebagai penentu wilayah mana sasaran pendidikan lanjutannya yang boleh ditempuh oleh peserta didik tersebut.
Filandia, negara yang terkenal dengan sistem pendidikan terbaik di dunia tidak pernah
melaksanakan ujian nasional, bahkan tidak boleh membebani peserta didik dengan pekerjaan rumah. Para peserta didik terlibat secara langsung dalam proses pengajaran dan pendalaman pengetahuan. Peserta didik dituntut mempresentasikan pengetahuan yang sedang dipelajarinya.
Lain halnya di Jepang, para peserta didik hanya menghadapi ujian ketika akan masuk ke
sebuah sekolah atau perguruan tinggi. Peserta didik di Jepang hanya menghadapi satu kali ujian dalam jenjang pendidikan tersebut. Sedangkan kelulusan ditentukan oleh target dan assesment dalam penguasaan mata pelajaran.
Sedangkan Singapura, pernah melaksanakan ujian nasional pada akhir jenjang
pendidikannya, namun akhirnya juga dihapus/ditiadakan. Sebagai gantinya, peserta didik di.Singapura diberikan porsi yang lebih banyak untuk berdiskusi, mengerjakan pekerjaan rumah dan menyelesaikan kuisener.
Bagimana dengan Indonesia? Sudah siapkan melakukan perubahan ini? Seandainya
konsep merdeka belajar ini sudah diaktualisasikan dalam dunia pendidikan kita, semoga dapat dilaksanakan secara serius dan berkelanjutan atau tidak sekedar coba-coba. Jangan sampai ganti pemangku kebijakan berganti pula konsep yang lain.
Penulis,Asmara Juana Suhardi, ST,.SIP,. M.Si adalah Mantan Jurnalis dan Dosen Fisip UT Pokjar
Natuna.
Ditulis Oleh Pada Sen 23 Mar 2020. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek