; charset=UTF-8" /> MASJID RUBUH - | ';

| | 2,350 kali dibaca

MASJID RUBUH

Tirtayasa

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP

Tak lama lagi, Kabupaten  Gulung-gulung, Provinsi Ombak Laut, Republik Pura-pura Makmur, akan menyelenggarakan pemilu. Partai yang akan ikut meramaikan pesta rakyat itu cukup banyak. Di samping partai baru, ada juga partai yang sudah berpuluh-puluh tahun menghuni negeri yang subur makmur itu. Di antara partai-partai yang sudah dipastikan akan ikut dalam pemilu kali ini adalah Partai Rakyat Berkuasa (PRB), Partai Rakyat Sejahtera (PRS), Partai Cinta Sejahtera (PCS), Partai Suka Kaya (PSK), Partai Rakyat Miskin (PRM), Partai Orang Kampung (POK), dan Partai Rakyat Pedesaan (PRP).

Menjelang jadwal kampanye resmi dikeluarkan lembaga yang berwenang menangani pemilu, masing-masing partai yang telah diumumkan daftar calon tetapnya, mulai bergerak turun ke beberapa kantong masyarakat pemilih. Tidak berbeda dengan sewaktu kampanye pilkada lalu, tempat-tempat yang menjadi sasaran para calon legislatif dalam kunjungan kampanyenya tidak meleset dari masjid, mushala, sekolah, gedung olah raga, gedung kesenian, pusat kesehatan, pusat ekonomi rakyat seperti pasar, dan lain-lain. Namun, jauh-jauh sebelum kampanye resmi dimulai, Bupati terpilih Kabupaten Gulung-gulung pernah mengingatkan dan menghimbau agar tempat ibadah seperti masjid tidak digunakan sebagai tempat berkampanye.

“Dalam kunjungan saya yang pertama kali sebagai bupati untuk periode yang kedua ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal,” ujar Husni Amran, Bupati Gulung-gulung, dalam sebuah kunjungan kerja di Kecamatan Pelawan Utara, yang mengambil tempat di masjid kecamatan. “Tidak lama lagi kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi, yaitu pemilu. Saya mendapat informasi, partai-partai yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu, kini sudah mulai melakukan berbagai kegiatan untuk meraih simpati masyarakat, mulai dari membagi sambako, membagi kalender, bahkan ada juga yang cuma membagi selebaran. Selain itu, ada juga yang mengadakan safari ke masjid-masjid. Silakan Saudara-saudara mengadakan safari ke masjid-masjid, untuk berceramah, mengajak masyarakat agar selalu dekat dengan Allah. Tapi, saya menghimbau, jangan Saudara-suadara jadikan masjid sebagai arena kampanye. Saya khawatir, kalau dijadikan arena kampanye, dinding masjid akan penuh dengan kalender, stiker dan selebaran partai. Karenanya, malaikat enggan meramaikan masjid, lantaran rumah ibadah umat Islam ini lebih mirip dengan pos keamanan lingkungan daripada tempat ibadah. Betul, Bapak-bapak? Betul Ibu-ibu?”

“Betuuul!!” jawab hadirin serempak.

“Karena itu, silakan Saudara-saudara berkampanye di tempat lain! Jangan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya!” tambah Bupati Gulung-gulung.

Meskipun berkali-kali Bupati memberikan peringatan dan himbauan kepada pengurus partai dan para caleg agar tidak berkampanye di masjid, namun peringatan dan himbauan itu tidak sedikitpun menyurutkan semangat pengurus partai dan para caleg itu untuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye. Peringatan dan himbauan Bupati benar-benar tidak digubris.

“Enak saja Bupati ngomong seperti itu. Sewaktu pilkada dulu, dia juga kampanye di masjid,” ujar Bujang Rahman kesal. Bujang Rahman adalah caleg nomor urut satu dari Partai Rakyat Berkuasa. Dia sudah berkali-kali mengadakan safari politik ke masjid-masjid di beberapa kecamatan. Setiap safari politik yang  diadakannya selalu disambut meriah oleh masyarakat dan pendukung fanatisnya. Memang, Bujang Rahman sejak dulu dikenal sebagai mubalig kondang di Kabupaten Gulung-gulung. Orang-orang menyebutnya, Jefri Al-Bukhori-nya Kabupaten Gulung-gulung. Wajar, kalau masjid menjadi arena utama baginya untuknya berkampanye meraih simpati masyarakat pemilih.

Melihat geliat kampanye Bujang Rahman yang semakin mendapat sambutan positif dari masyarakat, beberapa caleg dari partai lain pun mulai mengikuti jejak sang ustaz. Mereka juga secara bergiliran mendatangi masjid-masjid. Namun, mereka datang ke masjid tidak hanya membawa fatwa seperti Bujang Rahman, tapi juga mushaf Al-Qur’an, sajadah, rebana, uang pemeliharaan bahkan juga bantal untuk penjaga masjid. Sungguh, di musim pemilu, masjid benar-benar menuai berkah.

Mat Rahim, caleg dari Partai Suka Kaya, ikut gerah melihat para caleg yang  menurutnya semakin tidak sportif dalam berkampanye. “Masa tempat ibadah dijadikan tempat kampanye? Memangnya mereka tidak mendengar himbauan Bupati. Apa mereka sudah tidak punya lobang telinga lagi? Sialan!” gerutu Mat Rahim suatu ketika.

“Ada apa, Bang?” tanya Sahrin, caleg dari Partai Cinta Sejahtera yang kebetulan mendengar gerutu Mat Rahim.

“Saya lagi kesal sama teman-teman kita, caleg dari Partai Rakyat Berkuasa, Partai Rakyat Sejahtera, Partai Orang Miskin, Partai Orang Kampung, dan Partai Rakyat Pedesaan.”

“Memangnya ada apa, Bang?”

“Mereka berkampanye di masjid. Padahal Bupati sudah menghimbau bahkan memperingatkan agar para caleg dan pengurus partai tidak berkampanye di tempat ibadah.”

“Biar saja, Bang. Kan masjid juga dapat berkah. Lagi pula, sewaktu pilkada dulu, kita juga berkampanye di masjid. Masa Bang Rahim lupa, waktu itu Bang Rahim yang bertugas sebagai penggerak dan pengumpul masyarakat. Lalu, saya sendiri bertugas sebagai penceramah, menjelang orasi politik dari Pak Husni Amran, Bupati kita sekarang.”

“Itu kan pilkada. Ini pemilu!”

“Sama saja. Dalam pilkada dan pemilu kita sama-sama cari simpati pemilih. Lagi pula, memangnya ada ayat dan hadis yang melarang kita berkampanye di tempat ibadah?”

“Ya, tidak.”

“Lalu, kenapa dilarang?”

“Iya ya.”

“Sudahlah! Biarkan saja mereka kampanye di masjid. Kita juga bisa melakukan hal yang sama.”

“Kamu sih enak, Sahrin! Kamu pandai berceramah. Tidak kalah dengan Bujang Rahman. Tapi saya? Bisa apa?”

“Yah, Bang Rahim undang saja penceramah-penceramah top dari kota seberang untuk berceramah. Bang Rahim cukup mengumpulkan masyarakat dan membagikan surat Yasin, sajadah, sarung, mukena atau yang lainnya.”

“Tak cukup uang, Rin.”

“Minta dong sama Bupati. Percuma Bang Rahim mati-matian membantu dia jadi Bupati kalau minta uang untuk biaya kampanye saja tak bisa.”

“Sekarang beda, Rin. Tak semudah itu kita minta uang sama Bupati. Kapan pun dan di mana pun, KPK siapa mengintai kalau-kalau ada pengeluaran uang oleh pemerintah yang dianggap mencurigakan. Termasuk untuk biaya kampanye para caleg.”

“Minta proyek dong?”

“Apalagi yang satu itu. Lebih repot! Banyak kontraktor lain yang lebih kuat modalnya yang bisa bagi-bagi dengan Bupati. Apalah saya ini, Rin. Jadi kontraktor modal dengkul. Jadi caleg pun modal dengkul.”

“Kalau begitu, Bang Rahim mundur saja jadi caleg. Pasti aman dan nyaman. Tidak harus melayani tamu politik yang berdatangan ke rumah dan tidak harus pula repot berkampanye ke mana-mana. Dan, yang pasti, juga tidak menghabiskan uang. Ingat, Bang. Zaman sekarang, satu karung besar uang kita habis dibagikan untuk pemilih, belum tentu kita terpilih jadi anggota legislatif. Masyarakat sudah cerdas. Mereka sudah mampu membedakan mana caleg yang benar-benar bermutu dan mana yang cuma coba-coba mengadu nasib dengan hanya mengandalkan uang dan popularitas sesaat!”

“Tidak bisa semudah itu, Kawan! Saya sudah terlanjur menghabiskan uang banyak. Uang biaya pendaftaran caleg, uang sagu hati untuk kawan-kawan separtai yang bersedia menempati nomor urut di bawah. Ditambah lagi uang untuk sosialisasi partai yang sudah berbulan-bulan lalu dimulai. Untuk keperluan itu, tanah dua hektar warisan orang tua saya sudah terjual. Sampan motor dua puluh ton juga sudah digadaikan ke bank. Bahkan surat tanah rumah yang sekarang saya dan keluarga tinggali juga sudah digadaikan ke bank. Tidak! Tidak! Saya tidak akan pernah mundur dari pencalonan, walau apa pun yang terjadi!”

“Katanya, modal dengkul. Nyatanya, banyak juga uang yang sudah Bang Rahim  habiskan untuk kampanye.”

“Yah, modal dengkul jika dibandingkan dengan kontraktor-kontraktor dan caleg-caleg lainnya!”

“Oh, begitu.”

“Iya!”

Meskipun Mat Rahim menerima usulan Sahrin agar mengikuti langkah caleg-caleg lain untuk berkampanye di masjid, tapi Mat Rahim tetap ragu untuk menyusul lawan-lawan politiknya itu. Dia sadar, dia tidak punya dasar yang cukup untuk menjadi penceramah. Karena berkampanye di masjid berarti harus mampu berceramah, tidak cukup hanya membagi surat Yasin, sajadah, sarung, mukena ataupun oleh-oleh kampanye lainnya. Lagi pula, jangankan berceramah, membaca Al-Qur’an pun Mat Rahim masih terbata-bata. Kalau masih tetap ingin berkampanye di masjid, maka satu-satunya jalan yang bisa ditempuh Mat Rahim adalah mengontrak penceramah. Tapi, uang biaya kampanye semakin menipis. Padahal penceramah bayaran akhir-akhir ini semakin mahal. Apalagi kontraknya berbau kampanye. Pastilah nilai kontraknya semakin tinggi. Ditambah lagi harga oleh-oleh kampanye yang kini semakin merangkak naik. Dapat uang dari mana untuk membiayai semua itu. Begitu pikir Mat Rahim.

“Aduh… Apa yang harus kulakukan?” Mat Rahim bertanya-tanya dalam hatinya. Selang beberapa saat, Mat Rahim tersenyum. Ide cemerlang tampak menggelayut di benaknya. “Aha…! Bagaimana kalau aku minta fatwa Kiyai Solehudin Salam. Mungkin dia bisa memberikan aku jalan keluar,” gumam Mat Rahim gembira.

Kiyai Solehudin Salam adalah kiyai kondang yang sengaja didatangkan dari pulau seberang oleh Bupati Gulung-gulung untuk menjadi penasehat spiritualnya. Kiyai yang satu ini memang serba bisa. Nyanyi? Oke! Ceramah? Mantap! Baca Al-Qur’an? Luar biasa! Politik? Apalagi! Atas pertimbangan itu, Mat Rahim segera menemui Kiyai Solehudin Salam di sebuah hotel yang sengaja disiapkan secara khusus oleh Bupati untuk penasehat spiritualnya itu, guna meminta fatwa dari sang kiyai, khususnya tentang kampanye di masjid.

Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapa Mat Rahim begitu Kiyai Soleh menghampirinya di kursi lobi hotel.

Wa’alaikumussalam, Pak Rahim. Ada apa ini? Tumben datang ke sini?” jawab Kiyai Soleh bertanya.

“Saya ada perlu, Kiyai.”

“Iya, saya tahu. Pasti karena ada perlu, Pak Rahim datang ke sini.”

“Begini, Kiyai. Saya mau tanya.”

“Silakan, mau tanya apa? Insya Allah, akan saya jawab semampu saya.”

“Terima kasih sebelumnya. Begini, Kiyai. Bagaimana hukumnya berkampanye di masjid?”

“Oh… Itu masalahnya.”

“Iya, Kiyai.”

“Hukumnya…. Tergantung, Pak Rahim.”

“Tergantung bagaimana maksud Kiyai?”

“Hukumnya tergantung pada sebab. Dalam bahasa usul fiqih, sebab disebut ‘illat. Kata usul fiqih, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatih. Hukum itu tergantung pada ‘illat-nya atau tergantung pada sebab munculnya hukum itu. Ada sebab, maka ada hukum. Kalau tidak ada sebab, maka hukum pun tiada. Lalu, ada hadis Nabi yang mengatakan, setiap perbuatan tergantung pada niatnya.”

“Maksud Kiyai?”

“Boleh tidaknya berkampanye di masjid itu tergantung apakah ada sebab yang membuat kampanye di masjid itu tidak dibolehkan atau dilarang. Lalu, tergantung pada apa niat orang yang berkampanye itu. Kalau kampanye itu tidak menjelek-jelekkan orang lain dan tidak pula diniatkan untuk memburuk-burukkan pemerintah, lawan politik dan lain sebagainya, ya silakan saja masjid dijadikan tempat kampanye. Pak Rahim juga boleh berkampanye di sana, sejauh isi dan niat kampanye Pak Rahim baik.”

“Saya tidak bisa berceramah, Kiyai. Padahal itu penting kalau saya ingin kampanye di masjid.”

“Cari penceramah lain dong. Saya bisa kok bantu Pak Rahim mencarikan penceramah yang lebih hebat dari Bujang Rahman itu!”

“Saya tak punya cukup uang untuk itu, Kiyai.”

“Oh… Kalau begitu, begini saja. Biar saya buat fatwa, kampanye di masjid itu dilarang. Biar pengurus partai dan para caleg sama-sama tidak berkampanye di sana. Saya akan sampaikan kepada Bupati, biar nanti Bupati sampaikan pula ke masyarakat, pengurus partai dan para caleg. Saya yakin mereka akan mendengarkan  Bupati, kalau himbauan agar tidak berkampanye di masjid itu disertai dengan dalil seperti yang saya jelaskan tadi. Kemudian, perlu diingat, kaidah usul fiqih juga mengatakan, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat. Yang terbanyak melakukan kampanye di masjid itu lawan-lawan politik Bupati. Sementara Pak Rahim dan kawan-kawan yang nota bene orang dekat Bupati tidak berkampanye di sana. Kalau kampanye di masjid oleh lawan-lawan politik itu bisa membuat Pak Rahim dan kawan-kawan kalah dalam pemilu, sebaiknya kampanye di masjid itu dilarang saja.”

“Kenapa begitu, Kiyai?”

“Pak Rahim kan orang dekat Bupati. Bupati berkepentingan atas menangnya Pak Rahim dan kawan-kawan dalam pemilu. Ini menyangkut kebijakan yang harus beliau ambil untuk kemaslahatan rakyat yang perlu dukungan dari Pak Rahim dan kawan-kawan di legislatif. Karena itu, kalahnya Pak Rahim dan orang-orang dekat Bupati lainnya dalam pemilu itu adalah kerusakan bagi kebijakan yang akan diambil Bupati, karena Pak Rahim dan orang-orang dekat Bupati lainnya tidak bisa ikut ambil bagian dalam voting kebijakan di legislatif. Karena itu, kampanye di masjid harus segera dilarang karena ini memberikan peluang kekalahan pada Pak Rahim dan kawan-kawan. Menolak kerusakan akibat kalahnya Pak Rahim dan kawan-kawan dalam pemilu harus didahulukan daripada mengambil manfaat pujian politik lewat kebebasan berkampanye di masjid itu.”

Sejenak Mat Rahim terdiam. Keningnya berkerut. Dia sedang serius memikirkan fatwa Kiyai Soleh. Mat Rahim berpikir, begitu mudahkah membuat tafsiran atas kaidah usul fiqih dan hadis Nabi demi mendukung sebuah kepentingan politik?

“Ah, sudahlah. Kiyai Soleh lebih tahu daripada aku. Lagi pula, ini untuk kepentingan orang banyak,” bisik Mat Rahim dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Kiyai Soleh membisikkan sesuatu ke telinga Mat Rahim. Kening Mat Rahim semakin berkerut. Beberapa kali dia menggelengkan kepala. Lalu dia mengangguk. Kembali menggeleng. Lalu menggangguk.

“Baik, Kiyai. Kalau begitu, saya mohon diri. Terima kasih. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumussalam.”

Suatu malam, Bupati Gulung-gulung mengadakan silaturahmi dengan masyarakat, pengurus partai dan para caleg di masjid kabupaten, Masjid Agung Baitul Mujahidin. Dalam sambutan silaturahminya, Bupati kembali menghimbau, demi kebaikan bersama, agar pengurus partai dan para caleg tidak berkampanye di masjid. Bahkan tidak sekedar himbauan, tapi juga larangan. Bupati juga menyampaikan, kalau larangan itu tidak diindahkan, maka peringatan bahkan laknat dari Tuhan akan segera menimpa masyarakat Gulung-gulung. Jamaah silaturahmi yang terdiri dari berbagai kalangan itu terdiam. Tidak ada yang berani membantah.

Kiyai Solehudin Salam sejenak terlihat berbisik-bisik dengan beberapa jamaah yang duduk di samping kirinya. Sesekali dia mengangguk, sesekali tersenyum. Begitu Bupati selesai memberikan sambutannya, Kiyai Soleh berdiri dan menyalami Bupati dan mengarahkan orang nomor satu di Kabupaten Gulung-gulung itu mengambil posisi tempat duduk di samping kanannya.

Beberapa hari setelah silaturahmi itu, suasana di Kabupaten Gulung-gulung  sempat dingin. Tidak ada lagi para caleg yang berebut giliran kampanye di masjid. Kini sekolah-sekolah, gedung-gedung olah raga, gedung kesenian, rumah sakit dan pasar-pasar tradisional menjadi sasaran kampanye. Memang tidak semeriah sambutan masyarakat di masjid, karena masyarakat di tempat-tempat tersebut umumnya bersifat homogen. Berbeda sekali dengan di masjid, masyarakat yang hadir dari berbagai kalangan. Pejabat, pengusaha, pegawai, petani, nelayan, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, remaja, orang sehat dan kurang sehat, bahkan anak-anak juga berdatangan ke masjid. Kampanye di masjid memang benar-benar efisien dan efektif. Sekali merengkuh dayung, dua puluh pulau bisa terlampau!

Merasa kurang puas berkampanye di tempat lain, beberapa pengurus partai dan caleg lawan politik Mat Rahim nekad kembali menjadikan masjid sebagai tempat kampanye, khususnya Masjid Agung Baitul Mujahidin. Ini membuat Mat Rahim kembali gusar. Dia pun kembali menemui Kiyai Solehudin Salam untuk mengadukan pembangkangan para caleg itu.

Assalamu’alaikum, Kiyai.”

Wa’alaikumussalam. Ada apa lagi, Pak Rahim?”

“Mereka nekad lagi kampanye di masjid, Kiyai.”

“Kalau begitu, jalankan rencana B!”

“Baik, Kiyai.”

Setelah mohon diri, Mat Rahim langsung mengumpulkan anggota tim kampanyenya dan anggota tim kampanye partai lain yang satu visi dengannya, di rumah kediamannya yang terbilang sederhana di pinggir kota Gulung-gulung.

“Saudara-saudara semua! Kita harus melaksanakan rencana B! Ini perintah Kiyai Solehudin Salam!”

“Baik, Pak!” jawab para anggota tim kampanye itu serempak.

Tengah malam Jumat. Langit merajuk. Hujan pun bersilaturahmi ke bumi.  Sebanyak tiga puluh orang anggota tim kampanye di bawah komando Mat Rahim, menggerakkan dua puluh alat berat yang dipinjamkan kepada beberapa anggota tim kampanye yang kebetulan kontraktor, menuju masjid  kabupaten. Sesampai di lokasi, di bawah komando Mat Rahim pula, alat-alat berat itu merubuhkan masjid agung yang sudah dibangun dengan biaya miliaran rupiah yang kompleknya terletak jauh dari pemukiman penduduk itu. Dalam waktu tiga jam, masjid kebanggaan masyarakat Kabupaten Gulung-gulung itu pun rata dengan tanah. Entah bagaimana, tidak satu pun warga kota Gulung-gulung yang mendengar gaduhnya suara alat berat ketika merubuhkan bangunan raksasa itu. Mungkin karena suara gaduh itu tertelan hujan dan masyarakat Gulung-gulung terkena sihir Kiyai Solehudin Salam yang terkenal sakti mandra guna.

Dini hari, masyarakat Kabupaten Gulung-gulung yang hendak melaksanakan shalat Subuh dibuat kaget oleh kondisi masjid agung yang sudah menjadi tanah, bongkah-bongkah batu, dan potongan-potongan besi. Beberapa orang berteriak-teriak dan memaki-maki pengurus partai dan para caleg yang tidak mau mendengar himbauan Bupati agar tidak berkampanye di masjid. Menurut mereka, rubuhnya masjid agung adalah akibat ulah pengurus partai dan para caleg yang tidak mengindahkan peringatan Bupati.

Dalam kerumunan masyarakat yang sedang menyaksikan masjid yang kini tinggal kenangan itu, tiba-tiba Mat Rahim muncul seraya berseru dengan lancar dan lantang, “Saudara-saudara semua! Kini masjid kita sudah rubuh! Inilah akibatnya, kalau kita tidak taat kepada pemimpin! Tuhan telah marah kepada kita! Karena pemimpin kita marah! Tidak ingatkah kita, bahwa pemimpin adalah bayang-bayang Tuhan di muka bumi ini?!”

Masyarakat yang hadir berteriak mengiyakan seruan Mat Rahim, dan terus memaki-maki pengurus partai dan para caleg yang mereka anggap pembangkang itu. Setelah mendengarkan orasi hasil bisikan Kiyai Solehudin Salam kepada Mat Rahim, masyarakat yang hendak melaksanakan shalat Subuh di masjid agung berputar arah menuju masjid kecamatan dan masjid kelurahan. Sedangkan Mat Rahim dan kawan-kawannya segera menuju hotel tempat Kiyai Solehudin Salam tinggal.

Begitu sampai di hotel.

“Bagaimana, Pak Rahim?” tanya Kiyai Solehudin Salam.

“Aman, Kiyai,” jawab Mat Rahim mantap.

“Bagus! Sebentar lagi, segera akan diajukan anggaran pembangunan ulang masjid agung. Pak Rahim dan kawan-kawan pasti dapat bagian dari proyek itu.”

“Terima kasih, Kiyai,” jawab Mat Rahim dan kawan-kawan serentak.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP, adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Penceramah Damai Indonesiaku TVOne, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Jum 21 Nov 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek