; charset=UTF-8" /> ISLAM DAN GERAKAN ANTI KORUPSI - | ';

| | 1,891 kali dibaca

ISLAM DAN GERAKAN ANTI KORUPSI

H Tirtayasa S Ag M A

Oleh : H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.

Indonesia kembali tercoreng! Beberapa pemegang amanah jabatan kembali membuat malu negeri yang berpenduduk mayoritas umat Islam ini. Apa yang telah mereka perbuat? Korupsi? Ya, benar sekali. Lagi-lagi korupsi. Oleh karena itu, agaknya kita merasa perlu mengkaji kembali apa sebenarnya korupsi itu sehingga harus di jauhi dan bagaimana pula sesungguhnya gerakan anti korupsi yang diajarkan dalam Islam.

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption atau corruptus, dari kata kerja corrumpere, yang tersusun dari kata com dan rumpere. Dari bahasa Latin kata ini turun ke dalam bahasa Eropa seperti Inggris menjadi corruption, corrupt; Perancis menjadi corruption; dan Belanda menjadi corruptive (koruptie). Dari bahasa Belanda inilah kata ini turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi (Andi Hamzah, 2007).

Secara etiomologis, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berarti busuk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disogok, menyelewengkan uang atau barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Depdikbud, 1995).

Sedangkan secara terminologis, banyak definisi yang diberikan para ahli. Robert Klitgaard (2002) mengatakan bahwa korupsi meliputi tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya dilakukan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa. Cherry Augusta (2009) mendefinisikan korupsi sebagai ketidakadilan dalam  penggunaan kekuasaan baik pada jabatan public maupun privat, untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Syed Hussein Alatas (1987) menegaskan bahwa esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Bentuk paling rendah perilaku yang terkait dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan adalah tidak disiplin dalam bertugas, mencontek atau melakukan plagiat tulisan ilmiah. Berikutnya adalah penyalahgunaan kekuasaan seperti nepotisme, memberikan nilai bagus kepada mahasiswa karena dia anak atau kerabat pimpinan. Bentuk tertingginya adalah penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan keuntungan baik untuk dirinya, keluarganya, institusi, klan dan primordial tertentu.

Sedangkan dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi, dijelaskan bahwa korupsi adalah usaha memperkaya/menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara baik dengan maupun tidak menggunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

Secara tipologis menurut Syed Hussein Alatas (1987) korupsi terdiri dari enam jenis. Pertama, korupsi transaktif, yaitu jenis korupsi yang berupa adanya kesepakatan timbal balik antara pihak-pihak yang bersangkutan yaitu pihak pemberi maupun penerima guna mengusahakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha, pemerintah, atau masyarakat dan pemerintah. Kedua, korupsi yang memeras, yaitu jenis korupsi di mana pihak pemberi dipaksakan untuk melakukan penyuapan guna mencegah kerugian yang sedang atau akan mengancam dirinya, kepentingannya, orang-orang atau sesuatu yang penting baginya.  Ketiga, korupsi investif, yaitu korupsi berwujud pemberian suatu barang atau jasa tanpa ada kaitan langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan diperoleh di masa depan.

Keempat, korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan. Korupsinya bertujuan untuk mempertahankan diri. Kelima, korupsi perkerabatan, yaitu korupsi berupa penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk menempati jabatan dalam pemerintahan, atau memberikan perlakuan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku, seperti memberi uang ataupun yang lainnya. Keenam, korupsi otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan secara sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Ketujuh, korupsi dukungan, yaitu korupsi yang dimaksudkan untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.

Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam.   Pertama, corruption by greed, yakni korupsi yang dilakukan terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Kedua, corruption by opportunities, yakni korupsi yang dilakukan terkait dengan sistem yang memberi kesempatan terjadinya korupsi. Ketiga, corruption by need, yakni korupsi yang dilakukan berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, konsumeristik dan selalu sarat kebutuhan yang tidak pernah usai. Keempat, corruption by exposures, yakni korupsi yang dilakukan berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yang rendah.

Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dibagi menjadi tujuh kelompok, yakni merugikan keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Dalam sejarah Islam, sebagaimana dikemukakan Syaikhudin (2010), fenomena korupsi sudah bisa ditemukan sejak periode awal lahirnya Islam, tepatnya ketika Islam telah menjadi negara atau yang lebih dikenal dengan Negara Madinah. Istilah korupsi, tersebut di dalam hadis-hadis Rasulullah saw. seringkali disebut dengan ghulul, sebuah kata benda (ism) bentukan dari kata kerja (fi’l) ghalla. Kata ghalla yang memiliki struktur morfologis ghalla (fi’l madhi), yaghullu (fi’l mudhari’), ghallan wa ghululan (ism) bermakna khana (berkhianat) (Warson Munawwir, 1997). Dikatakan berkhianat, seperti dinyatakan oleh Ibnu Qutaibah, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Fath Al-Bari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, adalah karena proses pengambilannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.Abu ‘Ubaid mengatakan, ghulul adalah pengkhianatan secara khusus terkait dengan persoalan harta rampasan perang. Namun, para ulama yang lain mengartikannya secara luas, bahwa ghulul adalah berkhianat dalam hal apa saja, tidak terbatas dalam harta rampasan perang. Demikian penjelasan Imam An-Nawawi dalam Syarh Nawawi ‘ala Muslim.

Ibnu Al-Asir sebagaimana dinukil Muhammad ibn Mukram ibn Manzhur Al-Afriqi Al-Mishri dalam Lisan Al-‘Arab, menerangkan bahwa kata ghulul, pada asalnya bermakna khianat dalam urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang sebelum dibagikan. Namun kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi. Pengertian yang senada dikemukakan oleh Imam An-Nawawi. Dia mengatakan bahwa ghulul adalah pencurian barang rampasan perang sebelum pembagian.

Memperhatikan berbagai pengertian ghulul yang diberikan para ulama tersebut, dapat diketahui bahwa pada mulanya ghulul merupakan istilah khusus bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan secara transparan. Hal ini bisa dilihat pada hadis-hadis berikut. Pertama, hadis tentang korupsi mantel yang diriwayatkan oleh Bukhari. Dari Abdullah ibn Amr berkata bahwa dalam rombongan Rasulullah SAW. Ada seorang bernama Kirkirah yang mati di medan perang. Rasulullah SAW bersabda, “Dia masuk neraka.” Para sahabat pun menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapati mantel yang dikorupnya dari harta rampasan perang.

Kedua, hadis tentang korupsi manik-manik (mutiara) orang Yahudi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dari Zaid ibn Khalid Al-Juhni berkata, seorang sahabat yang pemberani meninggal dunia pada penaklukan Khaibar. Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “Shalatkanlah kawanmu ini.” Maka terheran dan berubahlah wajah orang-orang karena sabda tersebut. Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Kawanmu itu telah melakukan ghulul dalam perang.” Zaid mengatakan bahwa kemudian para sahabat memeriksa barang-barangnya, lalu ditemukan manik-manik (mutiara) orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham.

Pada mulanya ghulul (korupsi) bermakna penggelapan harta rampasan perang, lalu meluas pengertiannya sebagaimana diuraikan sebagai berikut. Pertama, memberi hadiah kepada pejabat publik. Diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal,  Ishak ibn Isa telah menceritakan kepada kami bahwa Ismail ibn ‘Abbas telah menceritakan kepada kami dari Yahya ibn Sa’id, dari ‘Urwah ibn Az-Zubair dari Abi Humaid As-Sa’idi bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Pemberian kepada para pejabat adalah korupsi.”

Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa hadiah yang diterima pejabat publik dari masyarakat dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi. Tetapi hadiah yang dimaksud di sini menurut Imam An-Nawawi adalah pemberian yang diterima oleh seseorang pejabat atau pegawai terkait dengan atau patut diduga terkait dengan jabatannya. Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, sebagaimana dikutip Syamsul Anwar (2006)mengatakan bahwa hadiah dalam hadis di atas mencakup pula pengertian suap (risywah).

Kedua, mengambil uang (pungutan) di luar gaji resmi. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Zain ibn Ahzam Abu Thalib telah menceritakan kepada kami, Abu ‘Ashim telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdil Harits ibn Sa’id dari Husain Al-Mu’allim dari ‘Abdillah ibn Buraidah, dari Yabna dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Barangsiapa yang telah kami angkat menjadi pegawai atau pejabat dan telah kami gaji dengan gaji (yang resmi), maka apa yang dia ambil di luar itu termasuk korupsi.”

Perlu digarisbawahi bahwa dari kasus dan data tentang sebagian dari bentuk korupsi tersebut, dapat dilihat bahwa Rasulullah saw. dalam menangani kasus-kasus korupsi, lebih mengedepankan aspek teologi-moralitas ketimbang hukum (kriminalisasi). Pendekatan teologi-moralitas ini terus diaktualisasikan secara konsisten. Hal ini dapat dilihat pada hadis-hadis berikut. Pertama, hadis tentang menolak sedekah hasil korupsi. Ibnu ‘Umar berkata aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Shalat tanpa bersuci tidak diterima dan begitu juga sedekah dari hasil ghulul (korupsi)” (H.R. Muslim). Kedua, hadis tentang melindungi koruptor sama dengan pelaku korupsi. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa menyembunyikan koruptor, maka dia sama dengannya” (H.R. Abu Dawud). Ketiga, hadis tentang bahwa korupsi menghalangi masuk surga. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang meninggal dunia dalam keadaan bebas dari tiga hal, yaitu kesombongan, korupsi dan hutang, niscaya dia masuk surga” (H.R. Tirmidzi).

Demikian sekelumit tentang korupsi yang terekam dalam beberapa hadis Rasulullah saw. yang menjadiinti ajaran Islam tentang perlawanan terhadap korupsi. Semoga tulisan singkat ini bisa menjadi renungan kita bersama. Jauhi korupsi, mulai dari diri sendiri, dari sekarang, dan dari yang terkecil.***

 

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A. adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna.

Ditulis Oleh Pada Kam 02 Jan 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek