; charset=UTF-8" /> Dilema Membangun Birokrasi Indonesia - | ';

| | 400 kali dibaca

Dilema Membangun Birokrasi Indonesia

Oleh : AJ Suhardi

Sering terdengar pedebatan paradigmatis tentang bagaimana melakukan perubahan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat, termasuk merubah birokrasi ke arah yang lebih baik. Perdebatan itu menyangkut unsur mana yang harus diutamakan, diprioritaskan atau didahulukan dalam membangun birokrasi (Humphrey & Buttel, 1982).
Ada pendapat bahwa membangun birokrasi harus dimulai dari manusia yang ada dalam birokrasi tersebut, karena manusialah yang menciptakan sistem. Kalau manusianya berkualitas baik, maka ia akan bertindak baik meskipun berada dalam sistem yang salah. Pendapat semacam ini meyakini paradigma conservative yang diprakarsai Emile Durkheim, dimana kultur (culture) dipercaya sebagai the basic causal force dan the source of social cohesion.
Pihak yang percaya akan keuanggulan paradigma conservative sering mengatakan, “mari kita berubah dan kita mulai dari diri kita sendiri!”. Maka, membangun birokrasi menurut paradigma ini harus dimulai dengan merubah budaya dan moral para birokrat. Tetapi apakah birokrat yang sedang menikmati kehidupan di zona nyaman, zona elite, mewah dan menyenangkan dalam birokrasi itu mau berubah? Tentu masih diragukan.
Ada juga yang berendapat bahwa perbaikan birokrasi sangat tergantung pada pihak penguasa atau rezim yang berkuasa saat itu. Pendapat ini sangat yakin akan kebenaran paradigma liberal yang diprakarsai Max Weber, yang mengatakan bahwa suatu perubahan dapat berhasil diwujudkan melalui kontrol para elite yang memegang kekuasaan.
Maka rezim pemerintahan yang sedang berkuasa, dipercayai sebagai agen utama untuk melakukan perubahan. Mereka yang mempercayai paradigma liberal ini cenderung mengatakan, “mari kita mulai merubah birokrasi tingkat atas terlebih dahulu, baru kemudian semua birokrasi level di bawahnya akan ikut berubah,”.
Jadi membangun birokrasi menurut paradigma liberal harus dimulai dari rezim pemerintah yang sedang berkuasa. Paradigma ini pun diragukan, karena birokrasi tingkat atas yang sedang berkuasa dan menikmati hidup enak atau berada di zona nyaman, sulit untuk merubah dirinya sendiri karena akan mengganggu status dan posisinya.
Sementara itu sering terjadi pertentangan antara birokrasi tingkat pusat dengan birokrasi di bawahnya atau birokrasi tingkat daerah. Dalam pandangan birokrasi tingkat pusat, yang harus dibangun adalah birokrasi tingkat daerah, sebaliknya dalam pandangan birokrasi tingkat daerah, justru yang harus dibangun adalah birokrasi tingkat pusat. Tuding-menuding semacam ini menggambarkan bahwa telah terjadi pertentangan kelas dalam birokrasi di Indonesia.
Dilema yang muncul adalah apabila birokrasi tingkat yang lebih tinggi itu ‘menderita sakit’, siapa yang harus membangun birokrasi? Tentu tidak diinginkan penerapan paradigma radikal (yang diprakarsai Karl Marx), yang mengandalkan revolusi untuk melakukan perubahan terhadap the new ruling class ini, karena akan berdampak buruk tehadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, persoalan yang dihadapi dalam membangun birokrasi di Indonesia saat ini adalah dari mana untuk memulainya? Apakah dimulai dari elite eksekutif, elite legislatif atau dimulai dari elite yudikatif? Mungkinkah para elite yang dianggap lemah dan bermasalah selama ini mampu atau mau membangun dirinya? Bukankan ini merupakan paradox dalam pembangunan yang selama ini terabaikan?
Sehingga disadari atau tidak, dilema-dilema tersebut telah lama mendorong timbulnya pesimisme dalam membangun birokrasia di Indonesia (Keban, 2008:257).
Membangun birokrasi tenyata tidak semudah ‘membalikkan telapak tangan’, karena yang dibutuhkan tidak hanya kemampuan tetapi niat dan komitmen untuk ‘membalikkan telapak tangan’ tersebut.
Kemampuan dapat dipelajari, namun niat dan komitmen yang bersumber dari dalam diri para elite birokrasi, sering dibelokkan untuk kepentingan lain. Dimaklumi bahwa birokrasi di Indonesia tidak dapat dibangun tanpa adanya pembenahan terhadap lingkungan birokrasi itu sendiri terutama lingkungan legislatif dan yudikatif. Pekerjaan ini memang tidak ringan, namun sangat mendesak dan tidak boleh diabaikan.
Dalam rangka membangun kemampuan dan komitmen birokrasi di Indonesia yang kita cintai ini selain dibutuhkan kontrol atau tekanan (pressure) dari luar birokrasi, untuk menyadarkan para elite tersebut, juga diperlukan empat (4) leverage point, yaitu membangun visi birokrasi, membangun manusia birokrasi, membangun sistem birokrasi dan membangun lingkungan birokrasi.
Kepedulian dan keterlibatan masyarakat dapat mendorong percepatan pembangunan birokrasi di Indonesia. Mereka sadar bahwa pembangunan birokrasi merupakan agenda kenegaraan yang sangat menentukan nasib rakyat. Sehingga masyarakat berperan aktif melakukan desakan kepada rezim yang berkuasa untuk melakukan pembenahan berbagai hal termasuk kinerja ketiga lembaga negara tadi.
Di sisi lain, para elite birokrasi harus diberi keleluasaan untuk melakukan pembenahan-pembenahan menuju ke arah yang lebih baik. Apabila tidak berhasil memperbaiki citra atau gagal menunjukkan komitmen yang serius, mereka harus rela meletakkan jabatannya. Cara yang terakhir ini harus berani dibudayakan dan dilakukan secara tegas demi kepentingan yang lebih besar.

(Asmara Juana Suhardi, ST., SIP., M.Si adalah Mantan Jurnalis dan dosen Fisip Universitas Terbuka Pokjar Natuna-UPBJJ Batam)

Ditulis Oleh Pada Sel 12 Nov 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek