; charset=UTF-8" /> DI MABOK KEPAYANG - | ';

| | 879 kali dibaca

DI MABOK KEPAYANG

Iwan Kurniawan SH

Oleh : Iwan Kurniawan SH

Alkisah,…..cerita setelah pentakbiran  TIM SES.

 

“Ampuuun tuanku,…ampuuun tuanku,….ampuuun,… tuanku, ….sembah patek,….harap diampuuun, patek menghadap membawa khabar, berita baik, berita buruk, kalaulah terlancang mohon diampuuun”. Begitulah sembah si-hamba negeri menghadap Tuanku Duli Yang Mulia Raja Dilaut, Raja di Darat Tuanku si Maha Raja Mapia.

“Apa gerangan yang nak disampaikan kepada beta”, tanya si Mapia kepada si Junjung Teloo.

Begini Tuanku, ”Patek dengar pada saat ini, Si Samseng sedang  mempersiapkan seluruh balatentaranya untuk melawan  Tuanku. Ampuuun Tuanku, menurut khabar berita, Dia masih  merasa tidak puas dengan hasil pemilihan tersebut. Dia tidak rela Yang Mulia memimpin negeri ini. Si Samseng dengan Tim SES-nya beserta seluruh pendukungnya akan mengadakan demonstrasi dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Negara terhadap hasil putusan  Lembaga Komisioner Pilih Memilih, yang memilih Tuanku sebagai johan pahlawan di negeri ini”. Begitulah khabar berita yang Patek terima. Ampuuun tuanku, sembah  patek harap diampuuun.  Sambil mengangkat dan merapatkan kedua telapak tangan, lalu  meletakkan dihadapan mukanya yang tertunduk, memberi sembah.

Mendengar khabar berita itu, si Mapia tidak langsung menjawab, Dia hanya mengangguk anggukkan kepalanya saja. Sesaat,  pikirannya sedang menerawang mencari-cari si Penta dan kawan-kawannya. Di mana gerangan si Budak cerdik itu. Tidak ada dia susah juga aku. Kalau ada dia dapat pula aku meminta saran pemikirannya, kenang si Mapia.

“Haaaah…..”, sambil memukul telapak tangannya ke atas pegangangan tangan kanan singgasananya yang empuk dibalut beludru berwarna merah.

Seketika, para punggawa kerajaan dibuat terperanjat. “Haaai, kau si Junjung Teloo, Engkau pernah berkata kepada Beta, “Hasil keputusan tersebut sudah final dan tidak ada masalah, tapi mengapa sekarang si Samseng, mau gugat menggugat Beta  lagi. Mengapa dia masih belum juga puas. Apakah upeti yang Beta sampaikan dan janji Beta untuk mengangkat Dia sebagai Datuk Bendahara Negeri belum engkau sampaikan?”, murka  Yang Mulia Mapia kepada si Junjung Teloo.

“Ampuuun Tuaaanku, sembaaah pateeek, harap diampun”, sambil menggigel dan mengeletar bibirnya mengucapkan sembah kepada  Yang Mulia Mapia. Selintas dalam pikirannya, mampuslah dia, pikirnya……,sebentar lagi, kalau yang disampaikannya tidak berkenan dengan si Mapia. Sudah terbayang dibenaknya, hukuman yang akan  mengancamnya nanti, bisa dicambuk, dikurung atau digantung batang lehernya oleh Mapia, sukur-sukur hanya diusir dari negeri tersebut, masih selamat juga sebatang badan lapok  ini, pikir si Junjung Teloo,  sesaat.

“Haaa…….aaahhhh, apa yang engkau nak sampaikan, cepaaaat. Sergah Mapia kepada si Junjung Teloo.

Semakin pucat pasilah, wajah si Junjung Teloo, walau pada saat itu dia sedang duduk bersujud dihadapan si Mapia, tampak jelas seluruh tubuhnya bergeletar, dan tanpa disadari olehnya, mengalir juga cairan sewarna teh kental  mengucur pelan tertahan-tahan dari sebuah  pisang monyet miliknya yang lagi mengesut,  merembes diselah-selah  selangkang pahanya yang tak berdaging.

Melihat peristiwa  itu, seluruh para punggawa istana di negeri tersebut, hanya bisa cengar cengir menahan tawa kegelian, bercampur dengan ketakutan. Maklumlah, pada saat itu, si Mapia betul-betul sedang murka dengan si Junjung Teloo.

Karena ulah si Junjung Teloo, pula  si Penta dengan kawan-kawannya tersingkir dari istana negeri Cintadosa.

Diantara para punggawa istana yang hadir di balai rong, hadir juga seorang karib si Penta. Matilah engkau sekarang si Junjung Teloo, kutuk si Awang, di dalam batinnya sambil tersenyum-senyum tertahan melihat tingkah laku si Junjung Teloo dihadapan si Mapia.

“A..aa…aaa…..Ampuu…….uuun Tuaaaanku, sembaaaaah pateeeeek haaaaraaaaap diampuuuuuuuuunnnnn Tuaaaaaaannnnnnkuuuuu”, sembah si Junjung Teloo sambil menangis terisak-isak dihadapan si Mapia.  Patek mengaku bersaaaallaaah tuaaannnnkuuuu. Upeti dan pesan yang Tuanku titip untuk disampaikan kepada si Samseng belum patek sampaikan Tuaaannnkuuuu……. Ketika itu, si Junjung Teloo tidak lagi duduk bersimpuh, tetapi sudah merangkak-rangkak, menggoncang goncangkan kepala dan badannya di hadapan si Mapia, menangis,  meraung-raung, seperti anak ayam kehilangan induknya.

Pengawal, angkat si keparat ini dan masukkan dia ke kurungan ayam, Titah si Raja Mapia.

Kurungan ayam, adalah kurungan yang dibuat tidak lapang, hanya untuk sebatang badan saja. Kalau sekarang,  kurungan sejenis ini, dapatlah dipersamakan  dengan kurungan isolasi. Bahkan lebih parah lagi, Kurungan tersebut diletakkan di tengah tanah lapang tidak beratap, yang di kawal 24 jam dengan pengawalan  ketat.

“Matilaaah si Junjung Teloo, dijatuhi hukuman kurungan ayam  oleh si Mapia. Berujan,  berpanas, berembun siang dan  malam di dalam kurungan tersebut”, pikir salah seorang, punggawa yang masih menaruh iba kepada si Junjung Teloo.

“Daulat Tuanku”, seru si  Datuk Bandar, mengangkat sembah. Hamba bertanya, “Apa yang dapat kami lakukan buat Tuanku, menghadapi masalah ini”.

Seketika, menjawablah si Mapia, “Saya titahkan kepada Datuk Bandar dan datuk-datuk lainnya, kerahkan semua prajurit untuk mencari tahu di mana keberadaan si Penta,dan kawan-kawan. Dan saya harap selama dalam masa 24 jam si Penta bisa dibawa kehadapan saya. Jika bertemu dengan dia, sampaikan permohonan maaf saya kepada Penta dan kawan-kawannya”, titah si Mapia kepada Datuk Bandar beserta para datuk-datuk lainnya.

Daulat Tuanku, “kami akan menjunjung dan melaksanakan seluruh titah Yang Mulia sampaikan dengan segera”, serentak para datuk-datuk tersebut mengangkat sembah.

“…..Penta-penta, aku merasa bersalah terhadap engkau. Tanpa usul periksa, hanya berpegang kata-kata dari si Junjung Teloo, hinggakan kita bisa berpisah. Menyesal aku mendengar kata-kata si Junjung Teloo itu. Mudah – mudahan orang-orangku dapatlah menemukan engkau. Kenang si Mapia di atas peraduan-nya yang empuk dan nyaman tersebut.

“Pentaaaa, … pentaaa, pentaaa, janganlah engkau merajuk, janganlah engkau marah dan dendam kepadaku. Aku janji, apabila engkau mau mengabdi kepadaku lagi, apa yang engkau minta akan aku kabulkan. “Emas, perak, ringgit, tanah,  istana, jabatan, wanita akan aku berikan kepada engkau, bila perlu anak gadis aku yang cantek molek dengan bodi montok bahenol-pun akan aku berikan kepada engkau jika engkau mau”, celoteh  si Mapia menyesali nasibnya setelah ditinggal pergi Penta dan kawan-kawan. Kurang ajar betol  si Junjung teloo, setelah dia singkirkan si Penta, rupanya dia mau berkhianat kepadaku, sengaja aku diadunya  dengan si samseng. Betul-betul keparat si Junjung Teloo, matilah engkau si Junjung Teloo, tak akan kumaaafkan engkau,  percayalah…..percayalah…..percayaaalaaaaaaah…. “,  Pekik  Mapia dari  bilik peraduannya.

“Gedebuuuk, aduuuuh-aduuuhh, tolooong-tooolooong….”, raung  si Mapia.

Mendengar lolongan si Mapia, bergegaslah isteri dan si Amat menuju bilik tidur  Mapia.

“Bang…..bang….bang, bangun bang,  ada apa, mengapa abang tepekik telolong seperti orang kesurupan,  dan jatuh pula  kelantai”, kejut isteri Mapia, seraya menggoncang-goncangkan tubuh  Mapia yang tambun  tersebut.

“Haaaah, haaaah ….haaaah, ada apa, mengapa aku tidur di lantai”, tanya si Mapia sambil terkejut.

“Abang mimpi yaa, mimpi apa Abang di senja hari ini. haaaah”, tanya Isterinya.  Seraya berkata ,”Sudah saya ingatkan, jangan tidur menjelang magrib tak baik, banyak  setan bergentayangan”, cerca isterinya kepada  Mapia.

“Uwalaaaaah,…. Mimpi aku rupanya, aku kira akau sudah menjadi raja di negeri ini. rupanya aku hanya bermimpi”, ujar si mapia sambil terengah-engah.

“Itulah Abang, kononlah  nak menjadi raja, hinggakan terbawa-bawa mimpi yang tidak-tidak”, ujar isterinya sambil menggerutu dan meninggalkan si mapia, yang sedang termenung mengenang  mimpinya tersebut.

Dengan langkah masih tertatih-tatih, dan dengan aer liur basi yang masih menempel  dikiri kanan bibirnya, si Mapia pun memanggil si Amat pembantu rumahnya.

“Maaat, cepat  engkau panggil si Penta dan kawan-kawannya ke sini”,  perintah Mapia  kepada  Amat.

“Baiiik Tuan”, jawab si Amat.

“….Penta…..penta,….pentaaa,  Bos Mapia memanggil awak dan kawan-kawan ke rumah sekarang”, seru si Amat kepada Penta.

“Ada apa Mat, mengapa terburu-buru sekali, mustahak nampaknya”, tanya si Penta.

“Tak tahulah aku, yang penting aku disuruh menjemput kalian semuanya ke rumah bos. Tapi tadi bos mengigau sampai terjatuh dari atas tempat tidur. Entah apa mimpinya, akupun tak tahu. Sepertinya ada hal penting yang mau dia sampaikan kepada kalian” jawab  Amat sekenanya.

“Okeeelaaaah. Kami segera ke sana”,  ujar  Penta seketika.

Tiba di rumah Mapia, penta dan kawan-kawanpun dipersilakah oleh si Mapia untuk duduk dan bebual-bual di pondok peranginan depan rumahnya.

“Penta aku tadi bermimpi, aku terpilih menjadi pemimpin di negeri Cintadosa, tapi dalam mimpi aku,  ada seorang penghkianat yang bernama si Junjung Teloo. Sehingga aku dihadapi masalah yang cukup rumit”, ujar  Mapia membuka bualan.

“Begini ceritanya, …..”. Mapiapun  berpanjang lebar bercerita tentang hal ekhwal mimpinya dari awal  sampailah  dia terjatuh  dari atas tempat tidurnya.

Si Penta dan kawan-kawannyanya pun dengan penuh perhatian mendengar satu demi satu kalimat yang diucapkan oleh Mapia, sambil sekali-kali tersenyum-senyum kecil menahan ketawa.

“Aaaahhhh….nampaknya bos sudah ditakdirkan untuk menjadi raja dinegeri Cintadosa”, celetuk si Penta.

“Perjuangan untuk mendudukkan Bos di  singgasana kerajaan semakin dekat. Jika saya tilek mimpi bos tersebut. Memanglah demikian, hanya untuk menjadi raja tentunya bos menghadapi sedikit hambatan dan rintangan. Maklumlah,  dengan terpilihnya  bos menjadi raja,  tidak semuanya senang, terutama  si Samseng dan pengikutnya. Wajar kalau dia tidak senang, karena Dia juga ingin menjadi pemimpin di negeri tersebut. Kemudian untuk Bos ingat, kalau seandainya nanti memang terpilih, Bos juga jangan melupakan kami yang sudah membantu bertungkus lumus untuk menaikkan bos tersebut. Buruk akibatnya nanti”, tutur Penta dengan panjang lebar.

“Aku tak akan lupa sama  engkau dan kawan-kawan, janji aku” jawab si Mapia.

Setelah, mendengar pandangan dari si Penta, Mapiapun hanya bisa cengar cengir  seperti  kuda,  sambil  melengas lengoskan kepalanya seperti anak kucing kampung yang  kegatalan tengkuk dihisap sikutuk busuk.

“Kalaulah begitu Penta, aku semakin yakin dengan engkau dan kawan-kawan  semua, lakukanlah apa saja buat aku. Untuk soal dana aku sudah siap. Asal aku bisa memenangi pemilihan dinegeri tersebut dan menjadi pemimpin di negeri Cintadosa”, ujar si Mapia meyakinkan Penta dan kawan-kawan.

Mendengar kata-kata si mapia, Penta dkk, semakin bersemangat. Karena di mata mereka, sudah terbayang hidup yang sehat  dan enak.

Waduh tak terbayangkan lagi oleh si Penta tentang kesejahteraan hidupnya selama mendampingi si Mapia nantinya

Sebenarnya, si Penta tidaklah  peduli,  apakah si Mapia nantinya menang atau kalah dalam pesta pemilihan pimpinan negeri tersebut. Yang penting selama menjadi Tim Ses Mapia,  hidup mereka pasti terjamin, sehat,  enak, senang dan makmur.

Tanpa disadari oleh mereka,  bual-bual kosong yang ngolor ngidul, ke utara, selatan,  barat,  timur tersebut, dan dibubuhi pula acara angkat mengangkat telor, puja dan puji, buruk memburukkan, umpat mengumpat, yang  terpadu dalam sajian  bincang-berbincang setelah magrib  hingga ke  malam, dijalani oleh mereka dengan penuh semangat dan dengan hayalan mereka masing-masing.

“Baiklah Penta, bersurailah kita sampai di sini,Haripun pun dah larut malam, suara nyamukpun dah tak terdengar  lagi”. Ujar si Mapia.

“Siaaaaap booooos, besok pagi kita ketemu lagi”, balas si Penta.

Dengan bergandeng tangan 5 sekawanpun melenggangkan kakinya dengan teratur,  menuju ke Poskonya kembali.

Disaat itu, terdengarlah oleh mereka sayub-sayub suara merdu bak buluh perindu  milik P. Ramle, seorang biduan ternama dari negeri Jiran Malaysia, “….senangnya dalam hati, aku nak kawin lagi ….”, dari sebuah rumah panggung di pinggir jalan tempat mereka berlalu.

Sementara di dalam rumah  mewahnya, si Mapia pun masih sebuk mematut-matutkan dirinya di depan kaca, segak juga aku  berpakaian putih-putih dengan pangkat di sana sini seperti ini. Tak aku sangka,  sebentar lagi aku menjadi pimpinan di negeri Cintadosa. Seraya,  tersenyam senyuum, mencengar cengir  seorang diri di depan cermin meja hiasnya”.

Waduuuuuhhhhhh…….. Mapia…..mapia….., ini bukan di mabok kepayang lagi namanye, tetapi daaaahhhhhh terkeneeee  penyakit gileee  bayaaaang,  rupenyeeeeee……….!!!!!

Sreeet…sreeettt………sekian, sampe ketemu lageeeee……!!!!!.

Ditulis Oleh Pada Ming 24 Mar 2013. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek