; charset=UTF-8" /> DI HIJIR ISMAIL AKU BERSUJUD - | ';

| | 7,113 kali dibaca

DI HIJIR ISMAIL AKU BERSUJUD

Tirtayasa

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A

Hari kedua di Madinah.

Pagi hari.

Kami berangkat meninggalkan hotel untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah seperti Masjid Quba, Masjid Qiblatain dan Jabal Uhud, kemudian mengunjungi perkebunan kurma. Untuk kesempatan pertama ziarah, kami mengunjungi Masjid Quba. Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Masyarakat Quba-lah yang pertama kali menyongsong kedatangan Rasulullah saat hijrah ke Madinah yang pada waktu itu masih bernama Yatsrib. Letak Masjid Quba sekitar lima kilometer dari kota Madinah. Di sinilah pertama kali Rasulullah menggelar shalat berjamaah secara terang-terangan. Masjid Quba dibangun pada awal tahun 622 Mesihi. Masjid ini dibangun di atas tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah yang dibeli Rasulullah. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi beberapa pohon kurma liar dan dihuni beberapa buah kuburan orang-orang musyrik. Di dalam Masjid Quba terdapat tanda penunjuk kiblat yang terbuat dari batu, dibuat sendiri oleh Rasulullah. Dalam Al-Qur’an, Masjid Quba disebut sebagai masjid yang didirikan atas dasar takwa. Shalat sunah dua rakaat di masjid ini sama pahalanya dengan melakukan umrah.

Ketika hendak memasuki Masjid Quba, aku dan temanku Amjad, sempat dicegat penjaga masjid. Tas biru tuaku yang berisi dokumen perjalanan, tustel digital, perlengkapan ibadah, buku Bimbingan Ibadah Umrah dan handycam diobrak-abrik penjaga bertubuh tambun dan berjenggot lebat itu.

Ma hadza?! Ma hadza?! Hadza mamnu’!” katanya kasar sambil memberi isyarat kepadaku dengan jari telunjuk dengan gerakan memotong leher. Aku sangat terkejut dengan gaya penjaga masjid yang lebih mirip sipir penjara itu. Temanku, Amjad, sempat bertanya kepadaku tentang apa yang dimaksud oleh penjaga masjid itu. Aku jelaskan kepada Amjad, bahwa orang itu bertanya tentang isi tas biruku. Terjemahan bebasnya kurang lebih, “Apa ini?! Apa ini?! Ini dilarang!” Maksudnya, barang-barang seperti tustel dan handycam terlarang dibawa masuk ke dalam masjid.

Aku dan Amjad sempat menjauh dari pintu masjid. Setelah penjaga masjid yang kasar itu menghilang entah ke mana, aku dan Amjad kembali masuk ke masjid lewat pintu yang sama. Tidak ada lagi petugas yang menghalang-halangi kami masuk ke Masjid Quba. Ketika hendak masuk masjid, aku berdoa, “Allahummaftahli abwaba rahmatik.”

Sesampai di dalam masjid, aku langsung melaksanakan shalat tahiyyatul masjid dua rakaat dilanjutkan dengan shalat sunah muthlaq dua rakaat. Kemudian aku berdoa dan meminta ampun kepada Allah atas dosa-dosaku, dosa kedua orang tuaku, dosa isteriku, dosa anak-anakku, dosa guru-guruku. Doa-doa lainnya juga aku panjatkan ke hadirat Tuhan. Banyak doa yang hendak kubaca di Masjid Quba ini. Hanya saja, kami tidak diberikan banyak waktu oleh biro perjalanan untuk dapat lebih lama  bermunajat di masjid yang pertama kali didirikan oleh Rasulullah ini.

Walaupun tadi aku dilarang membawa tustel dan handycam ke dalam Masjid Quba, kulihat dengan mata kepalaku sendiri, banyak jamaah yang berfoto ria di dalam masjid. Aku pun memberanikan diri untuk berfoto. Alhamdulillah, akhirnya kudapatkan juga kenang-kenangan di Masjid Quba.

Dari Masjid Quba, kami bertolak menuju ke Masjid Qiblatain. Kami tidak sempat mampir di Masjid Qiblatain itu. Kami hanya melihat Masjid Qiblatain dari pinggir jalan. Menurut keterangan pemandu umrah, Masjid Qiblatain ini adalah masjid penting yang pernah dikunjungi Rasulullah. Pada tahun kedua hijriah ketika sedang shalat, Rasulullah mendapatkan perintah untuk mengubah arah shalat, tidak lagi mengarah ke Masjidil Aqsha, di Yerusalem, tetapi ke arah Masjidil Haram, Mekah. Itulah sebabnya, masjid yang semula bernama Masjid Bani Salamah itu diganti menjadi Masjid Qiblatain, yang berarti masjid dengan dua kiblat.

Setelah itu, kami bergerak ke Jabal Uhud. Jabal Uhud adalah gunung gersang yang sangat bersejarah, terletak lima kilometer dari Madinah. Gunung ini adalah tempat yang sangat bersejarah bagi dunia Islam, karena di sinilah Rasulullah dan pasukannya pernah bertempur habis-habisan melawan kaum Quraisy. Kaum Quraisy ketika itu membalas dendam atas kekalahan mereka pada Perang Badar. Perang antara dua pihak itu pada Perang Uhud berlangsung dengan jumlah pasukan yang tidak seimbang. Pasukan kaum muslimin berjumlah 700 orang, termasuk anak-anak dan orang tua, sedangkan pasukan Quraisy jumlahnya mencapai 3000 orang. Strategi perang yang tepat membawa pasukan Rasulullah memenangkan pertempuran. Namun, sayangnya 70 orang tentara beliau silau mata kepada harta rampasan perang dan melupakan tugas utamanya untuk terus berjaga-jaga. Musuh yang belum pergi melihat peluang itu untuk merebut pos. Pos pertahanan yang semula dijaga oleh pasukan kaum muslimin direbut oleh pasukan Quraisy. Ketujuh puluh tentara itu dihabisi. Akhirnya, kekalahan menimpa pasukan kaum muslimin.

Para syuhada Perang Uhud dimakamkan di lembah Jabal Uhud. Begitu cintanya Rasulullah kepada para syuhada Uhud, berkali-kali beliau berziarah ke Jabal Uhud. Tak heran, jika jejak beliau diikuti sampai sekarang.

Sesampai di makam syuhada Uhud, aku membaca doa yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah, “Salam sejahtera atas kamu para penghuni tempat tinggal ini dari golongan orang-orang beriman dan orang-orang Islam. Kami sesungguhnya dengan izin Allah akan mengikutimu. Mudah-mudahan Allah mengampuni kami juga kamu dan mereka-mereka terdahulu dan mereka yang terkemudian. Kami meminta kepada Allah agar dikaruniakan kesejahteraan. Salam ke atas kamu semua atas kesabaran kamu dan sebaik-baiknya tempat kesudahan bagi kamu. Amin.”

Usai berziarah dan berdoa untuk para syuhada Uhud, aku dan Amjad berusaha mengabadikan Jabal Uhud dan makam para syuhada Uhud dengan tustel digital dan handycam. Aku mendaki bukit tempat dulu sewaktu perang Uhud, tujuh puluh pasukan pemanah di tempatkan oleh Rasulullah. Hawa bukit tandus itu terus menyengat kulit. Matahari bersinar cerah. Tak secuil awan pun yang menaungiku yang terus melangkah mendaki bukit kecil itu. Dari ketinggian bukit kecil itu, aku kembali mengabadikan suasana lembah Uhud yang di sana terbaring para syuhada Uhud yang berkorban nyawa demi tegaknya syiar Islam. Dari kejauhan, juga aku abadikan suasana lembah Uhud yang dipenuhi para peziarah dan para pedagang yang menjajakan dagangannya. Di sana dijual siwak, rumput Fathimah, juga kurma yang beragam rasa dan rupa.

Menjelang kepulangan kami dari Jabal Uhud, aku sempat membeli rumput Fathimah dan siwak kepada salah seorang penjual berbadan gempal berjenggot lebat dan murah senyum, untuk oleh-oleh pulang ke tanah air. Ada kalimat yang terucap dari mulut penjual itu yang masih kuingat dengan jelas di benakku, “Indonesia good,” katanya. Dia mengucapkan kalimat itu sambil tertawa renyah. Aku pun ikut tertawa.

Syukran, Syaikh,” ucapku sambil terus tersenyum setelah membayar rumbut Fathimah dan siwak yang kubeli darinya.

‘Afwan,” jawabnya seraya tetap terus tertawa renyah.

Beberapa saat kemudian, aku dan anggota jamaah umrah lainnya bersegera menuju ke bis. Selanjutnya, kami meneruskan perjalanan ke perkebunan kurma. Perjalanan ke perkebunan itu menempuh waktu yang cukup lama. Sesampai di perkebunan kurma itu, kami langsung menyerbu toko kurma yang berada di kawasan kebun kurma. Sayangnya, waktu itu kami tidak bisa menikmati kurma yang baru dipetik dari pohonnya. Saat itu, buah kurma yang lengket di pohonnya masih hijau. Menurut keterangan pemilik toko, kurma itu baru bisa dipanen dua bulan lagi.

Di toko itu, kami diberi kebebasan untuk mencicipi semua jenis kurma yang dijual di sana. Bermacam-macam jenis kurma yang ditawarkan kepada kami. Aku tidak begitu hapal namanya. Yang aku ingat cuma kurma Nabi atau kurma Ajwa’. Rasanya manis dan seratnya lembut. Warnanya agak kehitam-hitaman.

Di toko kurma itu, aku juga membeli beberapa bungkus kurma dengan beragam rasa dan warna untuk oleh-oleh ke tanah air. Agar mendapatkan diskon, aku diminta oleh pelayan yang kebetukan berasal dari Indonesia untuk nego harga di luar toko, agar tidak terlihat oleh pemilik toko yang asli orang Arab itu. Orang Arab paling anti dengan tawar-menawar harga barang dagangan. Jangan harap akan ada pemotongan harga kurma jika pembeli bernego harga dengan penjual asli Arab. Mencicipi boleh gratis, tapi tidak ada diskon dalam jual beli. Titik! Demikian keterangan dari pelayan toko kurma asal Indonesia itu.

Di luar toko, aku ditawarkan obat kuat berupa serbuk kurma oleh beberapa pedagang berwajah Indonesia.

“Obat kuat, Pak! Obat kuat, Pak! Manjur dan mujarab! Murah!”

Mendengar tawaran penjual, aku tertarik untuk melihat-lihat kobat kuat yang katanya manjur, mujarab dan murah itu. Kubuka botolnya, kucium baunya yang menyengat di hidung.

“Berapa harganya?” tanyaku iseng.

“Lima puluh Riyal per botol, Pak.”

“Ah, katanya murah. Kok sampai lima puluh Riyal? Apanya yang murah? Kalau dirupiahkan, harganya mencapai seratus dua puluh ribu rupiah per botol. Botol sekecil ini lagi. Mahal amat.”

Mendengar komentarku, penjual itu tak putus  semangat menawarkan dagangannya.

“Kalau beli empat botol sekaligus, dapat potongan harga, Pak,” tawarnya lagi.

“Berapa potongannya?”

“Empat botol harganya cuma seratus lima puluh Riyal.”

“Masih mahal. Sama-sama dari Indonesia kok tinggi betul nawarkan harga.”

“Tapi ini obat bagus. Manjur, mujarab, dan tanpa efek negatif, Pak.”

“Iya. Saya tahu. Tapi, masih bisa kurang kan?”

“Seratus dua puluh lima Riyal saja, Pak.”

“Masih mahal. Seratus Riyal saja.”

“Bolehlah. Halal, Pak,” katanya menyerah.

Sebenarnya, aku cuma iseng minta harga obat kuat itu diturunkan. Aku tidak berniat untuk membelinya. Karena menurut isteriku, aku sudah terlalu “kuat” meskipun tanpa suplemen obat. Tapi, karena penjual sudah menurunkan harga dagangannya  serendah itu, dan hatiku merasa tidak enak kalau tidak jadi membelinya, akhirnya, jadi juga obat kuat itu kubeli. Hitung-hitung coba-coba. Mana tahu obat herbal itu memang manjur, mujarab dan tanpa efek negatif lagi. Dan karenanya, insya Allah, aku menjadi tambah kuat dan perkasa. Begitu pikirku.

“Terima kasih, Pak,” kata penjual itu sambil tersenyum ramah.

“Sama-sama,” ujarku.

Karena sebentar lagi rombongan jamaah umrah akan segera kembali ke Hotel Hilton Madinah, aku segera mengabadikan perkebunan kurma itu dengan tustel digital dan handycam-ku. Setelah puas menikmati kurma dan pemandangan di kebun kurma,  rombongan jamaah umrah kembali naik ke bis dan kemudian melanjutkan perjalanan menuju Hotel Hilton Madinah. Sesampai di hotel, aku langsung menuju Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat Zuhur. Setelah shalat Zuhur, aku kembali lagi ke hotel untuk makan siang dan istirahat.

***

Dini hari malam ketiga aku di kota Madinah.

Suhu kota Madinah hanya menyentuh angka 30 derajat celcius. Aku sudah terbiasa dengan suhu seperti itu. Tidak terlalu panas dan tidak pula dingin. Aku bersiap-siap untuk berangkat Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah. Aku ke kamar mandi, untuk gosok gigi dan berwudu. Lalu, kubangunkan temanku, Amjad, yang masih tampak tertidur nyenyak. Amjad juga bergegas ke kamar mandi, untuk gosok gigi dan berwudu.

Kukenakan jubah putih ala Arab dan kukenakan peci putih bersih. Kutenteng tas biru tua.  Kukalungkan tanda pengenal ke leherku. Kusiapkan kresek  hitam untuk membungkus sandal karet campur kulit berwarna coklatku untuk dibawa masuk ke dalam masjid. Soalnya, kalau sandal dititipkan di tempat penitipan sandal, tidak ada jaminan sandal itu selamat dari tangan-tangan jahil atau tangan orang-orang yang memang keliru mengambil sandal yang bukan miliknya. Begitu kata pemandu umrahku. Oh ya. Hampir lupa. Kaca mata minus satu koma lima milikku.

Setelah semuanya siap, aku mengajak Amjad turun dari lantai enam Hotel Hilton Madinah dengan menggunakan tangga manual. Hitung-hitung olah raga, kataku kepadanya. Begitu sampai di luar hotel, aku dan Amjad disambut cuaca dini hari yang tampak terang berkilau karena lampu hias di depan hotel dan lampu pelataran Masjid Nabawi yang bersinar terang benderang. Perlahan kuayunkan kakiku menuju Masjid Nabawi menyusul Amjad. Sesampai di dalam masjid, aku dan Amjad berusaha mencari tempat kosong di Raudhah. Syukurlah, dini hari itu, jamaah belum begitu ramai memadati Raudhah. Sehingga aku dan Amjad bisa dengan leluasa memilih tempat duduk dan beriktikaf. Sebelum duduk, aku melaksanakan shalat tahiyyatul masjid. Kemudian kulanjutkan dengan melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu, aku beriktikaf.

Nawaitul i’tikafa sunnatan lillahi ta’ala,” niatku dalam hati.

Tidak beberapa lama kemudian, azan Subuh membahana memecah langit Madinah, menerobos tembok-tembok hotel yang bediri megah di sekeliling Masjid Nabawi. Setelah azan Subuh usai, aku melaksanakan shalat sunah qabliyah Subuh. Sejenak kemudian, terdengar muazin melantunkan iqamah sebagai tanda shalat Subuh berjamaah segera dimulai. Lalu, terdengar imam meminta jamaah meluruskan dan merapatkan shaf.

Allahu Akbar!

Terdengar imam mengucapkan takbiratul ihram. Suaranya merdu sekali. Aku tidak tahu siapa nama syaikh yang mengimami shalat Subuh terakhirku di Madinah itu. Satu persatu rukun dan sunah shalat Subuh dilalui dengan kusyuk.

Assalamu’alaikum warahmatullah. Assalamu’alai-kum warahmatullah.”

Usai mengerjakan shalat Subuh, aku kembali beriktikaf di Raudhah. Hatiku terus berbisik. Tak mampu rasanya aku untuk berpisah dengan Raudhah. Tapi, waktu jua yang memaksaku berpisah dengannya.

“Duhai, Tuhan. Kapan lagi aku diberikan kesempatan untuk bersimpuh di Raudhah-Mu? Untuk itu, panjangkanlah umurku, sehatkanlah aku, tetapkanlah imanku, agar aku dapat kembali ke tempat ini, Raudhah Syarifah, taman yang mulia. Rabbana atina fiddun-ya hasanah wafil akhirati hasanah, waqina ‘adzabannar,” keluh dan doaku dalam hati.

Usai berdoa, dengan berat hati kulangkahkan kakiku meninggalkan Raudhah untuk kembali ke hotel. Sesampai di kamar hotel, aku mandi sunah umrah. Kemudian aku mengenakan pakaian ihram, berupa dua potongan kain putih tanpa dijahit. Setelah berpakain ihram, aku sempat mengabadikan diriku bersama Ustadz Zainal Arifin dan Amjad dengan tustel digital 7,2 megapixel merek Sony milikku. Kemudian aku duduk di atas tempat tidur empuk hotel bintang lima itu, seraya menunggu instruksi untuk berkumpul di lobi hotel.

Dengan pakaian ihram yang sangat sederhana itu, hatiku terus berbisik.

“Duhai, Tuhan. Inilah diriku yang cuma sepotong tulang berbalut daging yang dialiri darah yang Engkau hembuskan ruh hingga aku hidup. Aku yang hina ini kini hanya berbalut dua potong kain putih. Beginilah aku yang rendah ini ketika menghadap-Mu. Saat menghadap-Mu, aku tidak membawa apa-apa kecuali amal dan beberapa potong kain putih yang membalut badan. Berapapun kekayaan yang kumiliki, takkan kubawa pergi ketika aku datang ke haribaan-Mu. Betapapun tinggi jabatanku, juga takkan kubawa serta ketika aku ditempatkan di liang lahat-Mu yang sempit dan gelap.”

“Duhai, Tuhan. Betapa kecilnya diriku di hadapan-Mu. Betapa lemahnya diriku di bawah lembayung kekuasaan-Mu. Betapa miskinnya diriku di bawah naungan kekayaan-Mu. Maafkanlah diriku yang selalu merasa mulia. Ampunilah diriku yang kerap merasa berkuasa. Hapuskanlah dosaku yang menganggap diriku kaya, terhormat dan berilmu. Ampunilah segala dosa dan khilafku, wahai Tuhan Yang Maha Pengampun.”

Dalam lamunan dan doaku, tiba-tiba Ustaz Zainal Arifin dan Amjad mengajakku segera ke lobi hotel. Kusiapkan tas US Polo-ku. Lalu tas TravelTime ukuran besar yang baru kubeli di salah satu toko tas di Madinah, yang padat berisi oleh-oleh dari kota Nabi itu. Perlahan kutinggalkan kamar menuju lift. Begitu berada di dalam lift, kutekan salah satu tombol yang ada di salah satu sudut dinding dalam lift yang menurutku bisa membuat lift tunduk dan mengantarkan kami ke lobi hotel. Dalam hitungan detik, aku, Ustadz Zainal Arifin dan Amjad sampai di lobi hotel. Di sana kami bertemu dengan anggota jamaah lainnya. Sejurus kemudian, satu persatu kami menaiki bis yang sudah siap mengantarkan kami ke Bir Ali. Sejenak kemudian, bis itu beringsut meninggalkan lokasi parkir Hotel Hilton Madinah. Selamat tinggal, Madinah! Selamat tinggal Masjid Nabawi! Selamat tinggal Raudhah! Selamat tinggal Nabi Allah! Meskipun aku jauh dari makammu, tapi namamu dan ajaranmu selalu berada di hatiku dan menjadi penuntun hidupku, wahai kekasih Allah, kekasih hatiku.

Setelah beberapa jam perjalanan, kami sampai di Bir Ali. Bir Ali adalah tempat miqat jamaah umrah dari arah Madinah. Tempat ini juga dinamakan Dzulhulaifah. Letaknya, kira-kira 10 kilometer dari Madinah. Dulu, Nabi juga pernah ber-miqat di sini. Miqat adalah tempat untuk mulai melafazkan niat untuk memasuki batas ke Tanah Suci. Semua jamaah yang berangkat dari Madinah akan ber-miqat di sini.

Di Bir Ali, berdiri sebuah masjid yang cantik, bersih dan bergaya kuno. Bentuknya segi empat, dengan taman kurma di tengah-tengahnya. Ornamen di kayu-kayu masjidnya sangat indah dengan gaya bangunan menyerupai istana di padang pasir. Aku sempat mengabadikan masjid ini dengan tustel digital kesayanganku.

Masjid ini juga dilengkapi dengan sarana untuk persiapan ihram, seperti kamar mandi, toilet, dan tempat berwudu. Sebenarnya, aku bisa mandi di sini. Tapi aku harus mengantri untuk beberapa lama untuk mendapatkan kesempatan untuk mandi. Karena itu, Ustadz Zainal Arifin menyarankan agar aku mandi sunah ihram di Hotel Hilton Madinah saja. Untung saja aku menuruti saran ustadz pemandu kami itu. Kalau tidak, sekarang, aku pasti sedang mengantri untuk mandi di kamar mandi Masjid di Bir Ali. Di Bir Ali, aku memperbaharui wudu di tempat yang telah disediakan. Kemudian aku memasuki masjid dan tidak lupa sebelumnya kuberdoa.

Di masjid itu aku melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, lalu shalat Zuhur di-jama’ dengan Ashar secara taqdim dan qashar. Lalu aku mendirikan shalat sunah ihram. Kemudian aku berniat melaksanakan umrah dengan lafaz, “Allahumma labbaika ‘umratan.” Aku menyahut seruan-Mu ya Allah dengan mengerjakan umrah. Setelah itu, aku dan anggota jamaah umrah lainnya dipersilakan untuk kembali ke bis yang sudah siap mengantarkan kami ke Mekah.

Di dalam bis menuju Mekah itu, kami dituntun oleh Ustadz Zainal Arifin untuk melafazkan niat umrah. Para anggota jamaah sengaja dituntun untuk melafazkan niat umrah agar tidak ada yang terlupa melafazkan niat. Kemudian kami dipandu membaca talbiyah.

Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik. Innalhamda, wanni’mata laka walmulk, la syarika lak.” Aku datang ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku datang, dan Engkau tidak memiliki tandingan, dan aku penuhi panggilan-Mu. Segala puji dan segala nikmat adalah milik-Mu. Dan juga segala kekuasaan adalah milik-Mu. Engkau tidak memiliki tandingan.

Kami terus melantunkan bacaan talbiyah. Sambil melantunkan talbiyah, aku sempat melihat-lihat  pemandangan sahara tandus menuju kota Mekah melalui jendela kaca bis. Lalu kulihat gunung-gunung gersang dengan batu-batu hitam tajam. Kulihat bukit-bukit sahara yang setiap waktu bisa saja berpindah tempat karena diterjang badai. Kupandangi langit  biru yang tanpa secuil awan pun berani memayungi mayapada. Sungguh tiada terpikirkan olehku, andaikata di tengah-tengah sahara tandus dan gersang itu ada kehidupan. Aku bersyukur, telah terlahir di sebuah negara yang subur, tidak tandus seperti hamparan sahara yang kulewati dalam perjalanan menuju Mekah.

***

Kurang lebih pukul delapan lewat tiga puluh menit malam waktu setempat, kami tiba di kota Mekah. Ketika memasuki kota Mekah, tidak lupa kuberdoa, “Ya Allah. Kota ini adalah tanah haram-Mu dan tempat yang aman. Maka hindarkanlah daging, darah, rambut dan kulitku dari neraka. Anugerahkanlah kepadaku keamanan dari siksa-Mu pada hari Engkau membangkitkan kembali hamba-hamba-Mu. Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang dekat dan taat kepada-Mu.”

Kami sempat tertahan dan tidak boleh masuk ke lokasi parkir Hotel Elef Kindah tempat kami akan diinapkan, karena kami tiba di kota suci itu ketika waktu shalat Isya menjelang. Setelah tertahan beberapa menit, akhirnya kami dibolehkan memasuki areal parkir hotel yang sangat sempit. Tidak lama kemudian, aku, Ustadz Zainal Arifin, Amjad dan anggota jamaah lainnya mendapatkan jatah kamar. Seperti biasa, aku, Ustadz Zainal Arifin dan Amjad mendapat jatah satu kamar untuk bertiga. Begitu sampai di kamar hotel, aku langsung ke kamar mandi untuk memperbaharui wudu. Usai berwudu, aku, Ustadz Zainal Arifin dan Amjad  langsung menuju lobi hotel. Di sana kami menunggu anggota jamaah lainnya. Setelah semuanya berkumpul, kami bersama-sama bergerak menuju Masjidil Haram. Untuk sampai ke Masjidil Haram, aku dan anggota jamaah lainnya harus ikhlas melangkahkan kaki untuk menyusuri  jalan sejauh kurang lebih dari seratus meter. Ketika memasuki Masjidil Haram, aku pun memanjatkan doa, “Ya Allah. Engkau sumber keselamatan dan dari-Mu datangnya keselamatan. Maka hidupkanlah kami wahai Tuhan, dengan selamat dan sejahtera. Dan masukkanlah kami ke dalam surga negeri keselamatan. Maha banyak anugerah-Mu dan Maha Tinggi Engkau wahai Tuhan yang memiliki keagungan dan kehormatan. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu  rahmat-Mu. Aku masuk masjid ini dengan nama Allah disertai dengan segala puji bagi Allah serta shalawat dan salam untuk Rasulullah.”

Begitu memasuki Masjidil Haram, aku mulai deg-degan, saat kusadari bahwa sebentar lagi aku akan melihat Ka’bah. Aku terus melangkahkan kakiku ke arah Ka’bah. Tak lama kemudian, tiba-tiba aku terpana melihat bangunan berbentuk kubus segi empat yang memiliki pancuran yang disebut pancuran rahmat dengan Hijir Ismail tepat di bawahnya itu. Ribuan orang kulihat sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah. Saat tersadar dari keterpanaanku, aku langsung membaca doa ketika melihat Ka’bah sebagaimana diajarkan dalam buku Bimbingan Ibadah Umrah.

“Ya Allah. Tambahkanlah kemuliaan, keagungan, kehormatan dan wibawa kepada Ka’bah ini. Dan tambahkanlah pula kepada orang-orang yang memuliakan, mengagungkan dan menghormatinya di antara mereka yang berhaji atau berumrah dengan kemuliaan, keagungan, kehormatan dan kebaikan.”

Setelah berdoa, aku dan jamaah lainnya menunaikan shalat Magrib dan Isya berjamaah dengan jama’ qashar ta’khir. Kemudian aku, Amjad dan lain-lain, dibimbing Ustadz Zainal Arifin bergegas menuju Ka’bah untuk melaksanakan tawaf umrah. Bersama Ustadz Zainal Arifin, Amjad dan anggota jamaah lainnya pula, aku menempatkan diri pada garis lurus yang searah dengan Hajar Aswad untuk memulai tawaf. Pada saat memulai tawaf putaran pertama, aku mengangkat tangan ke arah Hajar Aswad dengan menghadapkan sepenuh badan. Pada putaran kedua dan seterusnya, aku menolehkan kepala ke arah Hajar Aswad dengan mengangkat tangan dan mengecupnya sambil mengucapkan “Bismillahi wallahu Akbar!” Dengan nama Allah, Allah Maha Besar! Dalam melaksanakan tawaf sebanyak tujuh kali putaran mengelilingi Ka’bah itu, aku selalu membaca doa, “Maha Suci Allah. Segala puji bagi Allah. Tidak ada tuhan selain Allah. Allah Maha Besar. Tiada daya dan kemampuan kecuali bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”

Setiap melewati rukun Yamani, aku berusaha mengusapnya. Ketika pada salah satu putaran aku tidak bisa mengusapnya, aku cukup memberi isyarat dengan telapak tangan diangkat ke arah rukun Yamani tanpa dikecup sambil mengucapkan “Bismillahi wallahu Akbar!” Dan aku juga tidak lupa berdoa, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa neraka. Dan masukkanlah kami ke dalam surga bersama orang-orang yang berbakti, wahai Tuhan Yang Maha Mulia, Yang Maha Pengampun dan Tuhan Pemelihara seluruh alam.”

Di samping doa-doa itu, aku juga membaca doa lainnya secara rinci di setiap putaran tawaf. Karena aku tidak hapal doa-doa yang cukup panjang itu, aku terpaksa bertawaf sambil membaca doa yang tertulis dalam buku Bimbingan Ibadah Umrah yang kupegang erat agar tak terlepas dari tangan akibat ditabrak beberapa jamaah berbadan tinggi besar yang aku tidak tahu persis mereka berasal dari mana.

Ketika sedang bertawaf, aku juga  dikejutkan oleh teriakan-teriakan doa dari sekelompok jamaah yang juga berbadan tinggi besar. Yang laki-laki tampak jelas kulit putih kemerah-merahannya yang tidak dibalut kain ihram. Kaum perempuannya berjilab serba hitam. Wajah mereka juga tampak putih kemerah-merahan. Aku juga tidak tahu persis mereka dari bangsa mana. Yang pasti mereka juga saudaraku, yakni saudara sesama kaum muslimin yang sedang melaksanakan ibadah umrah. Mereka berdoa dengan suara yang keras dan kompak. Suara mereka yang keras seakan menelan habis suaraku yang sedang membaca doa yang tertulis dalam buku Bimbingan Ibadah Umrah.

Usai melaksanakan tawaf, aku dan jamaah lainnya segera menuju ke bukit Shafa dan Marwah untuk bersa’i. Kumulai bersa’i dari bukit Shafa dengan menghadapkan badanku ke arah Ka’bah sambil membaca “Bismillahi wallahu Akbar!” Kemudian aku berjalan ke jalur kanan menuju bukit Marwah, seraya berdoa, “Tidak ada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Kerajaan dan pujian hanya milik-Nya. Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Di tangan-Nya segala kebajikan. Dialah berkuasa atas segala sesuatu. Tidak ada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia telah menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya dan mengalahkan sendiri kelompok-kelompok musuh-Nya.”

Sampai pada pilar hijau, aku berlari-lari kecil sampai ke pilar hijau berikutnya. Aku melakukan lari-lari kecil itu karena sebagai laki-laki aku disunahkan melakukannya. Sedangkan bagi perempuan tidak disunahkan. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan menyusuri lintasan sepanjang 394,50 meter itu, aku sampai di bukit Marwah. Napasku terengah-engah. Beruntunglah aku, karena tempat sa’i kini lebih nyaman dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu. Jalur lokasi tempat Siti Hajar berlari mencari air untuk anaknya, Ismail, ini, sekarang sudah dipayungi bangunan megah, berlantai marmer, dengan sirkulasi udara yang sangat baik.

Lintasan sa’i ini terdiri dari dua lantai, dengan masing-masing lintasan dibagi menjadi dua oleh pagar, yaitu jalur menuju Marwah dan jalur lainnya menuju Shafa. Di tengah-tengah pagar pemisah tersebut ada lintasan lain yang dikhususkan bagi penyandang cacat atau jamaah yang tidak kuat berjalan kaki sehingga mereka harus ditandu atau didorong dengan kursi roda.

Sesampai di bukit Marwah, sebelum berjalan menuju Shafa, aku menghadapkan dahulu seluruh badanku ke arah Ka’bah sambil mengucapkan “Bismillahi wallahu Akbar!” Begitu seterusnya sampai seluruh proses sa’i selesai. Aku juga tidak lupa membaca seluruh bacaan dan doa secara rinci sebagaimana tertulis dalam buku Bimbingan Ibadah Umrah yang selalu kupegang erat itu.

Perjalanan sa’i yang ketujuh berakhir di bukit Marwah. Di bukit Marwah itu aku bertahallul dengan memotong sebagian rambutku. Aku, Ustaz Zainal Arifin dan Amjad bergiliran memotong rambut. Setelah bertahallul, aku berdoa, “Ya Allah Ya Tuhan kami. Terimalah amalan kami, berikanlah kesejahteraan kepada kami, maafkanlah kesalahan kami dan berilah pertolongan kepada kami untuk taat dan bersyukur kepada-Mu. Jangan Engkau jadikan kami bergantung selain kepada-Mu. Matikanlah kami dalam iman dan Islam secara sempurna dalam keridhaan-Mu. Ya Allah, rahmatilah kami sehingga mampu meninggalkan segala kejahatan selama hidup kami, dan rahmatilah kami sehingga tidak berbuat hal yang tidak berguna. Karuniakanlah kepada kami sikap pandang yang baik terhadapa apa-apa yang membuat-Mu ridha terhadap kami. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara para pengasih.”

***

Usai melaksanakan seluruh rangkaian umrah, aku, Ustadz Zainal Arifin dan Amjad bertolak dari bukit Marwah untuk kembali ke hotel. Sebelum kembali ke hotel melewati pelataran Ka’bah, aku sempat menikmati dinginnya air Zamzam yang tersedia di termos-termos di sekitar jalur sa’i. “Alhamdulillah, betapa segarnya air suci-Mu ini, Duhai Tuhan,” ucapku dalam hati.

Di pelataran Ka’bah aku kembali memandang penuh takjub bangunan berbentuk kubus itu. Menurut buku Bimbingan Ibadah Umrah yang kubaca, Ka’bah hanyalah tumpukan batu yang berbentuk kubus, terletak di tengah Masjidil Haram. Ka’bah pada dasarnya tidak memiliki kekuatan yang dapat memberi manfaat atau mudharat. Ka’bah dijadikan pusat peribadatan haji dan umrah tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan sisa-sisa penyembahan berhala di kalangan bangsa Arab jahiliyah. Ka’bah hanya lambang yang dijadikan Allah untuk pusat peribatan haji dan umrah yang bernilai rasa patuh dan taat kepada Allah semata-mata.

Manusia adalah makhluk bersimbol, makhluk yang pandai menggunakan simbol untuk menyatakan perasaannya. Banyak nilai hidup yang sulit digambarkan dengan kata-kata, tetapi mudah dilukiskan dalam bentuk simbol. Manusia sebagai makhluk bersimbol tidak dibenarkan membuat makhluk sebagai simbol untuk mencerminkan keyakinan dan sikap tunduk serta kebaktian kepada Allah. Untuk melambangkan tauhid, beribadah hanya tertuju kepada Allah, dan untuk menanamkan rasa kesatuan dan persaudaraan kemanusiaan, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim membangun Ka’bah bersama dengan puteranya, Ismail. Kisah membangun Ka’bah itu disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat 127, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa), Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Setelah Ka’bah selesai dibangun, Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail untuk memelihara kesucian dan kebersihan Ka’bah dari kotoran-kotoran lahir dan batin, bersih dari najis dan kemusyrikan, dan disediakan bagi orang-orang yang bertawaf, iktikaf dan rukuk-sujud sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 125. Ka’bah inilah tempat ibadah yang mula-mula dibangun di muka bumi ini dan menjadi tempat bertemunya umat manusia serta merupakan tempat yang aman.

Pada salah satu sudut Ka’bah terdapat Hajar Aswad atau batu hitam sebagai tanda untuk memulai tawaf dan mengakhirinya. Bangsa Arab jahiliyah yang masih melangsungkan ibadah haji warisan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, betapapun penyimpangan-penyimpangan telah mereka lakukan, mereka tetap memelihara keselamatan Hajar Aswad itu sebagaimana ditinggalkan oleh pembangun Ka’bah, yaitu Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Ketika Ka’bah dibangun lagi pada masa Nabi Muhammad, beliau memperoleh kepercayaan untuk membawanya ke tempat pemasangannya pada sudut Ka’bah.

Hajar Aswad sunah dicium pada waktu mengakhiri tawaf atau pada waktu-waktu lain jika memungkinkan untuk dilakukan. Mencium Hajar Aswad itu mengikuti sunah amaliyah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Nilai yang menonjol dalam mencium Hajar Aswad adalah nilai kepatuhan mengikuti sunah Rasululullah. Dalam riwayat Bukhari dan Abu Dawud dari Umar bin Khattab, bahwa Umar menghampiri Hajar Aswad kemudian menciumnya seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau hanyalah batu, kamu tidak mampu memberi mudharat maupun manfaat. Sekiranya aku tidak melihat Rasulullah saw menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.”

Untuk mengikuti sunah Rasulullah itu, aku meminta Ustadz Zainal Arifin menuntunku dan temanku, Amjad, mengantri untuk mencium Hajar Aswad.

“Ustaz, saya ingin mencium Hajar Aswad, malam ini. Bagaimana menurut Ustadz?”

“Kamu serius mau mencium Hajar Aswad malam-malam begini?”

“Serius, Ustadz,” jawabku mantap.

“Baik. Kalau begitu.”

Kulihat Ustadz Zainal Arifin komat-kamit membaca doa. Aku tidak tahu pasti, apa doa yang dibacanya. Mungkin doa agar dipermudah jalan untuk mencium Hajar Aswad. Kira-kira begitulah. Setelah sejenak berdoa yang tidak terdengar telingaku itu, Ustadz Zainal Arifin langsung mengajakku dan Amjad berjuang untuk dapat mencium batu hitam yang menurut cerita berasal dari batu meteorit yang diberikan Jibril kepada Nabi Adam untuk membangun rumah ibadah pertama di muka bumi itu.

Kami bertiga mangatur strategi. Kami mendekati Ka’bah. Kami berdiri dengan Ka’bah berada di sebelah kiri tubuh kami. Tangan kiri menyentuh kiswah Ka’bah. Ustadz Zainal Arifin berdiri di depan mengarah ke Hajar Aswad. Amjad berada di tengah. Aku mendapat tempat paling belakang. Tepat di belakangku, menyusul salah seorang jamaah berbadan besar. Aku tidak tahu dia dari bangsa mana. Dari raut wajah dan bahasa yang digunakannya, bisa kupastikan dia bukan orang Indonesia.  Di belakangnya lagi, menyusul seorang jamaah berkulit hitam legam, sehitam malam. Masya Allah. Aku bersyukur telah diberikan Allah kulit yang jauh lebih terang dari kulitnya. Di belakang jamaah berkulit hitam legam itu, menyusul jamaah lainnya yang tidak bisa kurekam dengan jelas warna kulit, tinggi, besar badan dan bentuk wajahnya. Terus menyusul jamaah lain lagi sampai ke belakang, hingga menyentuh rukun Yamani.

Jarak kami dengan Hajar Aswad tak sampai satu meter. Tangan kiriku bisa memegang bibir kerangka besi yang mengamankan batu hitam itu. Berkali-kali tanganku sempat dicium jamaah laki-laki yang berebut mencium Hajar Aswad. Dan aku sangat terkejut, seorang ibu-ibu yang kuduga orang Turki, mencium tangan kiriku yang menempel kuat di bibir kerangka besi itu. Tidak apa-apa. Dia tidak sengaja.

Ustadz Zainal Arifin yang kebetulan bertubuh agak kecil dan ramping segera dengan cepat dia bergerak menelusup di bawah kerumunan jamaah yang berbadan besar. Amjad yang bertubuh lebih kecil dan ramping dariku, meniru jurus Ustadz Zainal Arifin. Dengan gagah berani, dia menyusul Ustadz Zainal Arifin menelusup di kerumunan para pengantri yang tampak sudah kehabisan kesabaran. Sekejap mata, Amjad  menghilang dari pandangan. Aku sempat khawatir, jangan-jangan Amjad terinjak-injak jamaah yang sudah mulai tidak tertib itu.

Polisi yang bertugas menjaga Hajar Aswad berkali-kali berteriak keras melarang para pecinta Hajar Aswad yang tidak tertib dan egois mencium Hajar Aswad berkali-kali tanpa menghiraukan orang lain yang sudah kelelahan mengantri.

Marrah!! Marrah!! Marrah!!

Sekali saja. Sekali saja. Sekali saja. Kira-kira begitu maksud polisi itu. Tapi, tampaknya larangan mencium Hajar Aswad sampai berkali-kali dari polisi yang tampak masih sangat muda itu, tidak digubris oleh jamaah.

Aku sendiri yang sudah mulai kelelahan berusaha menghemat tenaga dengan menduduki pinggir Ka’bah yang mirip anak tangga. Berkali-kali aku berdoa dalam hati agar diberi kekuatan oleh Allah, supaya bisa bertahan di tengah himpitan para jamaah yang berebutan mencium Hajar Aswad. Pinggir kaki Ka’bah yang kududuki itu tiba-tiba terasa empuk. Padahal yang kutahu, Ka’bah dibangun dari tumpukan batu yang tidak mungkin empuk. Beberapa menit kemudian, baru kusadari, ternyata yang kududuki bukan pinggir kaki Ka’bah, tapi lutut seorang jamaah berbadan besar yang sedang kelelahan mengantri di belakangku. Mungkin karena pegal kududuki, dia mendorongku maju ke depan, ke arah Hajar Aswad. Berkat pertolongan Allah, tiba-tiba jamaah yang bergerombol di depanku seperti memberikan lorong yang cukup luas untukku bisa mencium Hajar Aswad berkali-kali. Kumasukkan wajahku ke dalam lobang kerangka besi itu. Cukup dalam dan gelap. Hidungku yang lumayan mancung dan bibirku yang tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis menyentuh sesuatu yang memiliki permukaan yang tidak rata dan tidak halus. Itulah Hajar Aswad, yang kuperjuangkan mati-matian untuk menciumnya.

Benarlah kata Umar bin Khattab, kalau bukan karena mengikuti sunah Rasulullah, dia tidak akan mencium Hajar Aswad yang sama sekali tidak bisa memberikan manfaat apa-apa. Aku juga demikian, kalau bukan karena mengikuti sunah Rasulullah, aku pun tidak akan mempertaruhkan nyawa demi mencium batu hitam yang sudah berumur ribuan tahun itu.

Aku ingin mencium Hajar Aswad berulang-ulang. Tapi aku teringat dengan pesan polisi penjaga agar tidak menciumnya berkali-kali demi memberi kesempatan kepada orang lain yang juga ingin mengikuti sunah Rasulullah dengan mencium Hajar Aswad. Karenanya, begitu aku menyentuhkan wajahku ke batu hitam itu, aku langsung mengeluarkan wajahku darinya untuk memberikan kesempatan kepada jamaah lainnya untuk melakukan hal yang sama. Aku segera keluar dari kerumunan jamaah yang terus berebutan mencium batu hitam begitu aku usai menciumnya.

Kucari Ustaz Zainal Arifin dan Amjad, ternyata mereka sudah menungguku untuk kembali ke hotel. Alhamdulillah, syukurku. Aku berhasil mencium Hajar Aswad. Aku bersyukur sekali karena aku bisa mencium batu hitam yang tidak semua orang diberi kesempatan menciumnya.

Aku, Amjad dan Ustadz Zainal Arifin, kembali ke hotel. Sesampai di hotel, aku langsung merebahkan tubuh dan batinku yang sudah terpuruk letih dan lelah  ke ranjang empuk telah tersedia di hotel berbintang empat itu.

Bismika Allahumma aya wa amut,” doaku mengawali mimpi indah pertamaku di kota Suci Mekah.

***

Allahu Akbar… Allahu Akbar!!

Tiba-tiba azan Subuh memecah kesunyian langit Mekah, menembus tembok-tembok hotel yang berdiri megah di sekeliling Masjidil Haram. Aku begitu hapal dengan suara khas muazin yang melengking itu. Itulah suara Syaikh Az-Zubaidi yang sering kudengar lewat siaraan langsung shalat Magrib, Isya dan Subuh di saluran televisi Arab Saudi sewaktu aku berada di tanah air.

Aku segera bersiap menunaikan shalat Subuh di Masjidil Haram. Aku turun ke lobi hotel, terus keluar hotel menelusuri jalan menuju masjid. Begitu sampai di halaman masjid, kulihat lautan manusia yang beragam warna, rupa dan ukuran. Aku berpikir, mungkinkah aku bisa melaksanakan shalat Subuh di dalam masjid. Aku berusaha untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Karena kusadari bahwa berputus asa dari rahmat Allah itu tidak boleh kulakukan. Aku terus melangkahkan kakiku menuju salah satu pintu masuk Masjidil Haram. Sesampai di dalam masjid, kulihat pelataran Ka’bah masih menyisakan tempat kosong yang bisa kutempati untuk melaksanakan shalat Subuh. Syukurlah. Aku langsung menuju pelataran Ka’bah. Kutunaikan shalat sunah qabliyah Subuh. Begitu shalat sunah muakkadah itu selesai kulaksanakan, suara muazin kembali melengking keras mengumandangkan iqamah sebagai tanda shalat Subuh berjamaah segera didirikan.

Allahu Akbar!

Suara berat itu terdengar mengucapkan takbiratul ihram. Aku hapal betul suara itu. Itu pasti suara Syaikh Sa’ud Asy-Syuraim, Imam dan Khatib Masjidil Haram.

Allahu Akbar!

Aku menyusul mengucapkan takbiratul ihram.

Satu persatu rukun dan sunah shalat Subuh dilaksanakan dengan khusyuk. Dan, tidak lupa imam membaca doa qunut.

Assalamu’alaikum warahmatullah. Assalamu’alai-kum warahmatullah.”

Usai shalat Subuh, aku berzikir dan berdoa.

Betapa bahagia dan terharu hatiku, bisa melaksanakan shalat tepat di depan Ka’bah yang selalu dirindukan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia. Usai berdoa, aku kembali ke hotel untuk sarapan dan istirahat sejenak sebelum aku keluar dari hotel lagi untuk menemani temanku, Amjad, untuk berbelanja di Plaza Ibnu Dawud yang terletak kurang lebih lima meter dari pinggir halaman Masjidil Haram.

Di plaza itu, aku menemani Amjad berbelanja oleh-oleh untuk dibawa ke tanah air. Belanjaan Amjad cukup banyak, kurma, kacang Arab, sajadah, tasbih, parfum khas Mekah, seperti parfum Hajar Aswad, parfum Bunga Thaif, parfum seribu bunga dan lain-lain. Parfum khas Mekah itu dibeli Amjad di sebuah toko parfum di lantai dua yang pelayannya berasal dari Indonesia. Nama toko itu, Ibrahim Al-Quraisyi.

Di sebuah toko parfum yang terdapat di lantai satu plaza yang bangunannya satu komplek dengan Hotel Hilton Mekah dan berdekatan dengan Hotel Dar At-Tauhid itu, aku sempat diajak berbincang-bincang panjang lebar oleh seorang pelayan toko yang berwajah khas Arab. Ketika kutanya dia orang mana, dijawabnya  dia orang Arab.

Ana ‘arabi.” Saya orang Arab,” katanya.

Rupanya dia orang Arab yang pandai berbahasa Indonesia. Aku berbincang-bincang agak lama dengannya, tentang kenapa dan di mana dia belajar bahasa Indonesia.

“Kami harus belajar bahasa Indonesia karena pelanggan terbanyak toko kami berasal dari Indonesia.  Kebanyakan orang Indonesia tidak bisa berbahasa Arab. Jadi, tidak ada cara lain agar kami bisa melayani pelanggan dengan baik kecuali kami bisa berbahasa Indonesia dengan baik pula. Rata-rata pelayan di toko yang ada plaza ini bisa berbahasa Indonesia, Tuan.”

Bahasa Indonesia yang digunakan pelayan itu terdengar  teratur, bahkan  lebih teratur dari bahasa Indonesia yang keluar dari kebanyakan mulut orang-orang Indonesia sendiri.

“Tuan belajar bahasa Indonesia di mana?” tanyaku kepadanya.

“Saya belajar bahasa Indonesia dari buku dan kepada orang-orang Indonesia yang berbelanja di toko ini. Saya juga belajar bahasa Indonesia kepada beberapa mahasiswa Indonesia. Saya mempunyai beberapa teman mahasiswa yang berasal dari Indonesia yang kuliah  di Universitas Ummul Qurra’, Mekah, seperti Habiburrahman El Shirazy dan Taufiqurrahman Al-Azizy.”

Mendengar nama dua pengarang novel religius asal Indonesia itu, aku sempat kaget. Bukankah Habiburrahman El Shirazy, penulis novel laris Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Dalam Mihrab Cinta  itu, kuliah di Al-Azhar, Mesir, bukannya di Ummul Qurra’, Mekah? Apa aku tidak salah dengar? Lalu, Taufiqurrahman Al-Azizy yang menulis trilogi Syahadat Cinta, Musafir Cinta dan Makrifat Cinta itu kuliah di Institut Ilmu Al-Qur’an Jawa Tengah, Indonesaia. Aku heran kenapa pelayan itu bilang kedua penulis novel religius itu kuliah di Ummul Qurra’, Mekah.

“Maaf, Tuan. Kenapa Tuan diam?”

Tiba-tiba pelayan itu membuyarkan lamunanku.

“Maaf, tadi saya sedang memikirkan dua nama mahasiswa Indonesia yang Tuan sebut kuliah di Ummul Qurra’ itu.”

“Memangnya kenapa, Tuan?” tanyanya lagi.

“Setahu saya, Habiburrahman El Shirazy kuliah di Al-Azhar, Mesir, Tuan. Bukannya di Ummul Qurra, Mekah’. Lalu, Taufiqurrahman Al-Azizy. Dia kuliah di  Institut Ilmu Al-Qur’an, Jawa Tengah, Indonesia. Apa Tuan tidak salah dengar namanya saat berkenalan atau Tuan salah sebut nama belakangnya.”

“Maaf, saya salah sebut nama belakangnya, Tuan. Maksud saya, bukan Habiburrahman El Shirazy tapi Habiburrahman El Jawi. Dan, Taufiqurrahman Al-Jawi, bukan Taufiqurrahman Al-Azizy. Sekali lagi saya minta maaf, Tuan. Saya terlalu terbawa arus novel-novel serba cinta yang mereka tulis. Hingga setiap menyebut nama Habiburrahman dan Taufiqurrahman lainnya, nama belakang kedua penulis itu selalu lengket di lidah saya.”

“Jadi, Tuan pernah baca novel-novel mereka?”

“Betul sekali. Saya sudah baca semunya.”

“Dari mana Tuan mendapatkannya?”

“Dari beberapa jamaah umrah yang berbelanja ke sini beberapa waktu lalu.”

“Apa pendapat Tuan tentang novel-novel itu?”

“Luar biasa! Orang-orang Indonesia memang sangat romantis! Orang-orang Indonesia sangat mahir berbicara tentang cinta! Pantas Aisha yang keturunan Turki-Jerman dan Maria dari Kristen Koptik, Mesir, bersedia menjadi isteri pertama dan kedua Fahri yang asli Indonesia itu. Lalu, Iqbal Maulana, yang juga sangat romantis itu telah membuat Priscillia tergila-gila kepadanya, lalu masuk Islam, dan menikah dengannya dan berganti nama menjadi Fatimah Priscillia Zahra. Saya sempat dibuat tidak tidur semalaman karena harus selesai membaca novel itu.”

“Tuan pernah  nontnon film Ayat-ayat Cinta?”

“Sudah. Bahkan berkali-kali.”

“Dari mana Tuan mendapatkan film itu?”

“Dari jamaah umrah juga, Tuan. Setahu saya, di tanah haram Mekah, tidak  dijual film-film seperti itu. Di sini cuma dijual kaset-kaset bacaan Al-Qur’an. Entahlah, di tempat lain di luar tanah haram ini, mungkin ada. Saya belum pernah mencarinya di toko-toko di luar tanah haram.”

“Apa komentar Tuan tentang film itu?”

“Luar biasa! Hanya sayangnya, saya melihat Mesir dalam film itu tidak seperti Mesir yang pernah saya tahu. Sebagai penjual parfum saya sering juga ke negeri seribu menara itu. Jadi, saya banyak tahu tentang detil negeri Cleoptra itu, Tuan. Kenapa begitu, Tuan? Apakah pengambilan gambarnya tidak di Mesir?”

“Memang tidak di Mesir,” jawabku datar.

“Lalu di mana?” tanyanya tampak ingin tahu.

“Kalau tidak salah, sebagian di India. Sebagian di Tangerang dan sebagian lagi di Gunung Bromo.”

“Tangerang dan Bromo itu di mana? Sepertinya saya tidak pernah dengar nama negara itu.”

“Itu bukan nama negara, Tuan. Itu nama daerah dan nama gunung di pulau Jawa, salah satu pulau terbesar dan terpadat penduduk di negara saya.”

“Oh, begitu. Lalu kenapa tidak shooting di Mesir saja. Kan lebih mantap.”

“Menurut kabar angin yang saya dengar, di Mesir, biaya shooting-nya mahal. Jadi,…”

“Maaf, saya memotong pembicaraan, Tuan. Apa yang dimaksud dengan kabar angin?”

“Maksudnya, berita yang belum jelas kebenarannya.”

Syukran. Silakan Tuan lanjutkan.”

Menurut kabar angin yang saya dengar, di Mesir, biaya shooting-nya mahal. Jadi, untuk efisiensi, shooting film Ayat-ayat Cinta dilakukan di Indonesia dan India.”

“Lhoo… India kan jauh dari negara Tuan. Bukankah shooting di sana juga menghabiskan biaya yang besar.”

“India memang jauh dari negara saya. Tapi, produser film itu kebetulan keturunan India. Jadi, biaya shooting bisa lebih murah. Hitung-hitung promosi negaranya dan pulang kampung. Itu namanya, sambil menyelam minum air.”

“Apa maksud sambil menyelam minum air? Apa nanti tidak kehabisan napas? Menyelam kok sambil minum air.”

Astaghfirullahal’azhim. Maaf, Tuan. Saya baru ingat bahwa Tuan baru belajar bahasa Indonesia. Jadi, saya yakin pepatah seperti itu belum Tuan pelajari. Maksud pepatah itu, sekali melakukan pekerjaan, dua tiga maksud tercapai.”

“Terima kasih. Saya mendapatkan banyak pelajaran bahasa Indonesia yang benar-benar baru hari ini dari Tuan. Oh ya, saya masih mempunyai satu komentar  lagi tentang film Ayat-ayat Cinta.”

Tafadhdhal,” ujarku dengan bahasa Arab.

“Kalau dipikir-pikir, menonton film Ayat-ayat Cinta memberikan kesan yang sedikit berbeda dengan ketika saya membaca novel Ayat-ayat Cinta, Tuan.”

“Bedanya?”

“Filmnya memang menarik. Tetapi, bagi saya,  novelnya lebih menarik karena lebih detil dan imajinasi saya lebih bebas berkreasi ketika membacanya. Sebagai misal, ketika membaca novel Ayat-ayat Cinta itu, saya bisa  lebih bebas berimajinasi tentang kecantikan Aisha dan Maria, daripada ketika saya menonton filmnya. Aduh, jika ingat Aisha dan Maria, saya jadi ingin beristeri dua seperti Fahri. Sungguh beruntung sekali laki-laki Indonesia itu, bisa  memiliki sekaligus dua orang isteri yang begitu cantik dan baik. Saya, orang Arab yang setampan dan segagah ini, hanya mempunyai satu isteri. Maaf, kalau boleh saya tahu, isteri Tuan berapa?”

Setelah berkomentar panjang lebar tentang film Ayat-ayat Cinta, pelayan itu tertarik bertanya soal jumlah isteri kepadaku.

“Satu, Tuan,” jawabku cepat.

“Ah, loyo.”

“Kenapa begitu?” tanyaku.

“Ya, loyo. Karena cuma beristeri satu.”

Aku tertawa mendengar jawaban polos pelayan itu.

“Kalau Tuan itu berapa isterinya?” tanyanya lagi sambil menunjuk ke arah Amjad yang sedang sibuk memilih parfum non-alkohol yang banyak dijual di toko itu.

“Tuan itu masih bujangan,” jawabku.

“Apa maksud bujangan?” tanyanya lagi.

“Ya, belum punya isteri.”

“Ah, pelit.”

“Kenapa pelit?”

“Masa! Seusia itu belum punya isteri. Itu kan  namanya pelit. Tidak mau berbagi rezeki. Ha….! Ha….!”

Pelayan itu tiba-tiba tertawa renyah. Dan, aku pun ikut tertawa.

“Oh ya, kalau Tuan tidak keberatan, saya titip salam untuk gadis Indonesia yang bernama Khaura dan Zaenab. Dua gadis Indonesia itu begitu salehah dan sangat romantis. Karena membaca surat mereka untuk Iqbal Maulana yang begitu romantis, saya sempat tidak bisa tidur dua malam karena membayangkan dua gadis itu. Mereka begitu jeli memilih kata yang teramat menyentuh hati dan menikam jantung. Sungguh luar biasa! Andai saja gadis seperti itu menjadi isteri saya, alangkah bahagianya hidup ini. Oooh, langit. Oooh, bumi. Saksikanlah hatiku yang berbunga-bunga ini. Saksikanlah kelopaknya yang bermekaran, menebarkan wewangi yang lebih harum dari bunga seribu malam.”

Tiba-tiba laki-laki Arab yang lumayan tampan dan gagah itu berpuisi dengan berbahasa Indonesia. Lumayan bagus untuk ukuran orang Arab yang baru belajar bahasa Indonesia.

 “Oh ya, Tuan. Tolong sampaikan kepada Khaura dan Zaenab, saya siap menggantikan Iqbal Maulana yang telah menikah dengan Fatimah Priscillia Zahra. Saya siap menjadi suami Khaura atau Zaenab. Atau kedua-duanya juga boleh. Yah, itu pun kalau mereka mau menjadi isteri kedua dan ketiga saya. Ha…! Ha…!”

Pelayan yang ramah dan humoris itu kembali tertawa renyah. Dan aku pun kembali tertawa. Dalam hati aku berkata, kalau Khaura dan Zaenab mau menjadi isteri kedua dan ketiga, mereka tidak perlu jauh-jauh ke Arab Saudi untuk menjadi isteri kedua dan ketiga pelayan itu, mereka cukup menjadi isteri kedua dan ketiga Iqbal Maulana saja. Atau, jadi isteri kedua dan ketigaku saja. Ha…! Ha..! Aku tertawa dalam hati. Aya-aya wae! Begitu kata Jarwo Kwat, Presiden Republik Mimpi.

***

Hampir seminggu di Mekah.

Hari-hari menjelang kembali ke tanah air itu kuisi dengan kegiatan zikir, baca Al-Qur’an dan belanja oleh-oleh khas kota Mekah secukupnya. Di Mekah juga, aku dan Amjad diajak Ustaz Zainal Arifin berkeliling menikmati suasana malam hari kota itu dengan menumpangi mobil pribadi milik teman Ustadz Zainal Arifin. Namanya Zaki. Dia putera salah seorang pengurus Masjidil Haram. Dia juga seorang Syaikh Haji. Dia banyak bercerita tentang bagaimana jamaah haji Indonesia tahun lalu yang sempat kelaparan akibat ketidakberesan pihak pengelola katering jamaah haji. Sungguh kasihan.

Malam itu, kami sempat mampir ke rumah Zaki yang beralamat tidak jauh dari Mina. Rumahnya khas padang pasir. Berbentuk kubus. Dari luar tampak sederhana sekali. Di halamannya tumbuh dua batang kurma, juga pohon anggur yang merambat lebat. Begitu kami masuk ke dalam rumahnya, kami disambut hembusan AC yang sangat menyegarkan. Lalu kami disilakan duduk di ruang tamu. Tak beberapa kemudian, air jus mangga dingin dihidangkan. Tenggorokanku yang sudah lama kekeringan seperti tidak tahan lagi menunggu tuan rumah menyilakan kami meminumnya. Setelah disilakan, aku langsung meneguk minuman segar itu berkali-kali.

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan tuan rumah, kami mohon diri untuk kembali ke hotel. Untuk kembali ke hotel, kami diantar oleh Zaki. Putera pengurus Masjidil Haram itu mengantarkan kami pulang melewati jalan terowongan bawah tanah yang mengarah ke Masjidil Haram. Kami pamit dan berterima kasih kepada Zaki yang telah mengantar kami pulang, begitu kami sampai di terowongan bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman Masjidil Haram.

Sesampai di hotel, kami langsung merebahkan diri. Beristirahat. Menunggu panggilan azan Subuh menggema dan membahana menembus jagat iman yang bersemayam di dada setiap umat Islam yang menyemuti kota Mekah.

Keesokan harinya, kami dijadwalkan berkunjung ke peternakan unta di luar kota Mekah, kemudian ke Arafah, Jabal Nur, Jabal Tsur dan terakhir ke museum yang menyimpan koleksi berbagai barang berharga seperti ember sumur Zamzam, kerangka besi Hajar Aswad, pintu Ka’bah, mimbar Masjidil Haram tempo dulu, dan beberapa foto Mekah dan Masjidil Haram dari tahu ke tahun. Aku sempat mengabadikan tempat-tempat bersejarah yang kami kunjungi pada hari itu. Alhamdulillah, perjalanan pada hari itu berjalan dengan mulus.

Keesokan harinya, kami dijadwalkan untuk menunaikan umrah kedua kalinya dengan mengambil miqat di Ji’ranah. Dengan berpakaian ihram, pagi-pagi sekali, kami sudah berangkat menuju Ji’ranah. Sesampai di Masjid Jami’ Ji’ranah, seusai berwudu, aku menunaikan shalat sunah ihram, lalu berniat umrah. Usai berniat umrah, kemudian kami kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke Mekah  Perjalanan dari Ji’ranah ke Mekah kami isi dengan bacaan talbiyah. Sesampai di Mekah, kami langsung menuju Masjidil Haram, lalu ke Ka’bah untuk melaksanakan tawaf umrah.

Cuaca kota Mekah pada hari itu menyentuh angka 46 derajat celcius, sama seperti di Madinah beberapa hari lalu. Sebuah angka yang fantastis. Nyala bola api raksasa seakan membakar rambut dan kulit. Tapi, uniknya, pelataran Ka’bah terasa sejuk di kaki.

Berkat izin Allah, tawaf umrah pun dengan sempurna kuselesaikan. Lalu aku melaksanakan shalat sunah di belakang maqam IbrahimMaqam Ibrahim bukan kuburan Nabi Ibrahim, melainkan batu yang digunakan oleh Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. Maqam Ibrahim berada di depan pintu Ka’bah, tempat Nabi Ibrahim biasa memanjatkan doa. Batu besar dengan cekungan yang dipercaya sebagai tapak kaki Nabi Ibrahim tingginya kurang lebih 1,8 meter.

 Setelah usai melaksanakan shalat sunah di belakang maqam Ibrahim di bawah terik matahari yang membakar bumi, kemudian aku ke bukit Shafa dan Marwah untuk sa’i. Begitu rangkaian sa’i usai, aku bertahallul. Saat akan bertahallul, aku dan Amjad, sempat dibuat kaget oleh beberapa remaja kota Mekah yang bekerja sebagai pemotong rambut untuk tahallul. Tanpa diminta, salah seorang remaja Mekah itu langsung memotong rambutku dan rambut Amjad.

Have you money?

Tiba-tiba dia bertanya tentang uang kepada kami. Aku kaget. Kukira dia pemotong rambut sukarela. Ternyata dia pemotong rambut bayaran.

I am sorry. My money is in the hotel,” jawabku.

Okay. No problem. Halal. Halal,” ujar remaja itu.

Aku merasa lega. Aku mengucap syukur dalam hatiku. Remaja itu menghalalkan pemotongan rambut tahallulku, tanpa harus dibayar. Sebenarnya aku bukan tidak mau membayar. Aku memang tidak membawa uang satu sen pun. Aku harus bilang apa sama dia. Bilang tidak ada uang. Itu bohong namanya. Bisa berbahaya. Di Mekah, jangan  coba-coba berbohong. Kalau aku bilang tidak ada uang, bisa-bisa uangku yang tertinggal di hotel hilang semuanya. Oleh karena itu, aku memilih jujur. Aku memang punya uang. Tapi uangnya tidak kubawa. Uangku tertinggal di hotel.

***

Dini hari terakhir di kota Mekah.

Usai bertaharah, aku segera meninggalkan kasur empuk Hotel Elef Kindah menuju Masjidil Haram. Dini hari itu, Masjidil Haram masih agak sepi dari jamaah. Kusempatkan untuk menunaikan shalat tahajud dan beriktikaf di pelataran Ka’bah yang sejuk. Aku sengaja mengambil posisi iktikaf di samping pintu masuk ke Hijir Ismail. Setelah beberapa saat beriktikaf, kumandang azan Subuh menggema, menerobos seluruh penjuru kota Mekah, membangunkan jiwa-jiwa yang dipenuhi iman. Usai azan, aku melaksanakan shalat sunah qabliyah Subuh. Setelah iqamah dilantunkan, imam mengawali shalat Subuh dengan mengucapkan takbiratul ihram. Satu persatu rukun dan sunah shalat Subuh dilalui dengan khusyuk sampai usai, termasuk doa qunut.

Usai shalat Subuh, aku ditanya salah seorang jamaah umrah asal Bandung, Indonesia, tentang doa qunut yang barusan dibaca Syaikh Sa’ud Asy-Syuraim ketika memimpin shalat Subuh itu. Kujawab, shalat Subuh di Mekah memang memakai doa qunut, hanya saja tidak setiap Subuh. Cuma kadang-kadang saja. Tidak seperti shalat di beberapa masjid di Indonesia yang sama sekali menolak doa qunut.

Di Indonesia, memang banyak tata cara ibadah yang membuatku yang masih tipis ilmu agama ini tidak habis pikir. Contoh sederhana saja, doa qunut itu. Shalat Subuh di Mekah saja memakai doa qunut, walaupun tidak rutin seperti di Masjid Raya di tanah kelahiranku atau di Masjid Agung An-Nur Pekanbaru Riau, atau seperti di masjid pesantren tempatku belajar dulu. Di Mekah, yang keutamaan shalat di Masjid Haram 100.000 kali lipat dibandingkan shalat di masjid selain Masjidil Haram kecuali Masjid Nabawi ini, shalat tarawihnya 20 rakaat plus tiga rakaat witir. Tapi di Indonesia, negeri yang tidak memiliki keutamaan transendental-ilahiyah seperti itu, di beberapa masjid, shalat tarawihnya malah didiskon hingga 60 persen. Shalat tarawih tinggal delapan rakaat plus tiga rakaat witir. Tapi, biarlah. Itu pilihan dan kecenderungan hati masing-masing. Biar Allah saja yang menilai.

Usai berbincang-bincang sejenak dengan jamaah asal Bandung, Indonesia itu, aku langsung masuk ke Hijir Ismail, tanpa harus berjuang keras untuk bisa masuk ke sana. Dengan sopan, seorang polisi yang sedang berjaga, mempersilakan aku masuk. Jamaah berdesakan untuk dapat melaksanakan shalat sunah dan berdoa di bawah talang emas. Berdoa di bawah tempat ini baik dan mustajab, cepat dikabulkan.

Ada sebagian ulama berpendapat, terlarang melaksanakan shalat sunah usai shalat Subuh. Tapi, di Hijir Ismail, kulihat banyak orang melaksanakan shalat sunah usai shalat Subuh. Dan kalau memang dilarang, kenapa polisi yang sedang berjaga diam saja dan tidak sedikitpun mencegahnya. Ada lagi ulama yang berpendapat, larangan shalat sunah usai shalat Subuh hanya berlaku di daerah di luar tanah haram, Mekah. Kesimpulannya, menurut pendapat kedua ini, shalat sunah usai shalat Subuh, dibolehkan ketika shalat sunah itu dilakukan di tanah haram, Mekah, apalagi di pelataran Ka’bah dan Hijir Ismail. Aku memilih pendapat kedua ini. Karena itu, seperti jamaah yang lain, aku juga mengantri untuk shalat di bawah talang emas di Hijir Ismail.

Usai shalat sunah dua rakaat, aku sujudkan wajahku, tubuhku, hatiku, menghadap keharibaan Tuhan semesta alam. Dalam sujudku, aku berdoa,

Dengan menyebut nama Allah, semoga Allah mencurahkan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.

Ya Allah, di Hijir Ismail aku bersujud. Ya Allah, dengan ilmu gaib-Mu dan kekuasaan-Mu atas makhluk, hidupkan aku selama menurutmu hidup lebih baik bagiku. Tapi, matikan aku, jika menurut-Mu mati lebih baik bagiku. Ya Allah, aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi dan terang-terangan. Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar dalam keadaan senang dan murka. Aku memohon kepada-Mu kesederhanaan saat miskin dan kaya. Aku memohon kepada-Mu nikmat yang tidak pernah habis. Aku memohon kepada-Mu rasa rela terhadap takdir. Aku memohon kepada-Mu ketenteraman hidup setelah mati. Aku memohon kepada-Mu kenikmatan memandang wajah-Mu, juga kerinduan bertemu dengan-Mu bukan dalam kesusahan yang membinasakan dan cobaan yang menyesatkan. Ya Allah, hiasilah diriku dengan hiasan iman, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang diberi petunjuk dan memberi petunjuk.

 

Ya Allah, hamparkanlah kepadaku berkah rahmat, keutamaan, dan rezeki-Mu. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu nikmat abadi yang tidak pernah berubah dan hilang. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu nikmat pada saat fakir dan rasa aman saat takut. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan anugerah yang Engkau berikan, dan keburukan sesuatu yang Engkau cegah dariku.

 

Ya Allah, aku mohon sesuatu yang meniscayakan rahmat-Mu, mendatangkan ampunan-Mu, terhindar dari setiap dosa, meraih seluruh kebaikan, mendapatkan kemenangan masuk surga dan selamat dari api neraka. Ya Allah, beri aku petunjuk, dan lindungi aku dari keburukan diriku sendiri. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan, karena ia merupakan paling buruknya keadaan, dan aku berlindung kepada-Mu dari khianat, karena ia merupakan paling buruknya kawan. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pendengaranku, kejahatan penglihatanku, keburukan lidahku, dan kejahatan hatiku.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dan siksa neraka, dari buruknya kekayaan dan kefakiran. Ya Allah, jauhkan aku dari kemungkaran akhlak, amal perbuatan serta hawa nafsu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah, malas, pengecut, kikir, pikun dan siksa kubur. Ya Allah, berikan ketakwaan kepada diriku dan sucikanlah ia, karena Engkaulah sebaik-baiknya Zat yang menyucikannya. Engkau pelindung dan pemeliharanya. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, doa yang tidak didengar, jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat-Mu, berubahnya kesejahteraan dari-Mu, kemurkaan-Mu yang datang tiba-tiba, dan seluruh kemarahan-Mu. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan. Wahai Tuhanku, ampunilah kesalahan, kebodohan, serta tindakanku yang berlebihan dalam urusanku. Sesungguhnya Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Ya Allah, ampunilah usahaku, gurauanku, kesalahanku, kesengajaanku dan semua yang ada padaku.

 

Ya Allah, sesungguhnya aku telah sering menzalimi diriku sendiri. Tak ada yang bisa mengampuni doa kecuali Engkau. Maka berilah aku ampunan dari sisi-Mu, dan sayangilah aku. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ya Allah, Tuhan yang memalingkan hati, palingkan hatiku menuju ketaatan-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian, dan kecukupan. Ya Allah, ampuni semua dosaku, yang kecil, yang besar, yang pertama, yang terakhir, yang nampak, dan yang tidak nampak.

 

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari membutuhkan selain kepada-Mu, merendahkan diri bukan di hadapan-Mu, dan takut bukan kepada-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari perkataan dusta, atau menutupi dosa, atau memperdayakan-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari gembiranya musuh, penyakit kronis, harapan kosong, hilangnya nikmat, dan murka yang datang tiba-tiba. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penyimpangan dan kecemasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat rakus pada sesuatu yang tidak berguna. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah yang tidak tampak. Aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menzalimi atau dizalimi, berbuat sewenang-wenang atau diperlakukan sewenang-wenang.

 

Ya Allah, tambahkanlah rezekiku dan jangan Engkau kurangi, muliakan aku dan jangan Engkau hinakan, anugerahkan aku dan jangan Engkau telantarkan, relakan dan ridhailah aku. Ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu melebih cintaku kepada diriku sendiri, keluarga, harta, isteri dan anak-anakku. Juga melebihi cinta orang dahaga pada air yang dingin tatkala dia kehausan. Ya Allah, jadikanlah aku hanya milik-Mu, sering mengingat-Mu, pandai bersyukur kepada-Mu, tunduk kepada-Mu, merendah di hadapan-Mu, mengadu dan kembali kepada-Mu. Tuhanku, terimalah tobatku, bersihkanlah dosa-dosaku, perkenan-kanlah doaku, tetapkanlah hujjah-ku, luruskanlah lidahku, beri petunjuk kepada hatiku dan lepaskanlah belenggu dadaku.   

 

Ya Allah, di Hijir Ismail aku bersujud. Ampunilah dosaku, dosa kedua orang tuaku, dosa isteriku, dosa anak-anakku, dosa para guruku, dosa para pemimpinku, dosa kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup maupun yang sudah lebih dulu mendahuluiku menghadap-Mu. Kabulkanlah segala pintaku. Wahai Tuhan Yang Maha Pengabul segala pinta. Amin.

Usai berdoa yang panjang lebar dalam sujudku, aku beranjak dari Hijir Ismail. Kulangkahkan kaki menaiki tangga ke arah pintu keluar Masjidil Haram yang terdekat dengan hotel tempatku menginap. Di anak tangga itu aku terduduk memandang Ka’bah yang akan segera menghilang dari mataku. Beberapa saat lagi, aku akan melaksanakan tawaf wada’, tawaf perpisahan. Dan setelah itu, aku akan meninggalkan Mekah dan Ka’bah. Kucoba untuk mengabadikan suasana di sekitar Ka’bah dengan camera 2 megapixel HP-ku. Lumayan, dapat kurekam suasana itu dengan durasi kurang lebih dua menit. Sejurus kemudian, aku kembali turun ke pelataran Ka’bah, lalu melaksanakan tawaf wada’. Usai melaksankan tawaf wada’, aku kembali ke hotel tanpa menoleh ke arah Ka’bah. Dalam hati aku berbisik, selamat tinggal Ka’bah Al-Musyarrafah. Selamat tinggal Ka’bah yang dimuliakan. Walaupun dirimu jauh di mata, tapi selalu dekat di hatiku. Dirimu akan selalu kukenang dalam setiap shalatku. Engkau adalah kiblatku.

***

Menjelang keberangkatan ke tanah air.

Usai menunaikan shalat Zuhur dan Ashar dengan jama’ qashar taqdim di hotel siang  itu, aku dan segenap rombongan jamaah umrah di bawah bimbingan Ustadz Zainal Arifin, bertolak meninggalkan kota Mekah menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Aku sempat merekam dengan handycam-ku pemandangan di sepanjang perjalanan dari Mekah ke  Bandara King Abdul Aziz, Jeddah itu.

Namun, sebelum ke bandara, kami sempatkan diri berekreasi ke pantai Laut Merah dan berwisata rohani ke masjid terapung di Laut Merah. Semula aku membayangkan bahwa masjid terapung itu benar-benar masjid terapung di atas laut. Ternyata, setelah kulihat langsung, masjid itu adalah masjid yang dibangun di pinggir Laut Merah dengan tiang-tiang penyangga dari beton yang tertanam kuat di tanah pinggir bagian dangkal Laut Merah, bukan benar-benar terapung seperti pelabuhan terapung Telaga Punggur, Batam, Kepulauan Riau, Indonesia.

Setelah berekreasi di pinggir Laut Merah, kami melanjutkan perjalanan ke Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Sesampai di bandara, untuk kesekian kalinya, kami mendapat pemeriksaan yang ekstra ketat dari petugas bandara dan imigrasi. Aku dan beberapa jamaah laki-laki lainnya, diminta oleh petugas bandara untuk melepaskan jaket, ikat pinggang, sepatu, peci dan kaos kaki. Itu memang pemeriksaan yang luar biasa ketat. Lebih ketat dari pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Bandara Changi, Singapore.

Tapi masih untung, di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah ini, kami tidak disuruh membuka baju dan celana. Kalau sampai begitu, sungguh keterlaluan! Sepertinya, semua penumpang pesawat yang hendak keluar dari Arab Saudi dicurigai teroris! Sehingga semua penumpang harus melewati pemeriksaan ekstra ketat dari petugas. Tapi, setelah kupikir-pikir,   pemeriksaan super ketat yang dilakukan petugas itu, juga demi keamanan dan keselamatan para penumpang. Sampai di sini, perasaanku menjadi sedikit tenang dan ikhlas atas perlakuan dari petugas bandara yang menurutku agak berlebihan itu.

Setelah lolos dari pemeriksaan petugas bandara dan imigrasi, kami langsung menuju ke tempat check in dan packing bagasi. Usai tas TravelTime ukuran besarku di-packing sedemikian rupa, ditimbang, dan diberi label pengenal sesuai dengan data di boarding pass-ku, tas besar itu dikirim dengan “papan plastik berjalan warna hitam” menuju kendaraan pengangkut bagasi untuk dibawa ke Singapore Airlines yang sebentar lagi mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah.

Usai urusan bagasi dan check in, aku dan rombongan bergegas menuju ruang tunggu bandara.  Sesampai di ruang tunggu itu, aku sempatkan diri mencari kaset, CD dan VCD lagu-lagu Arab yang tidak kudapatkan sewaktu di Mekah. Di Mekah, memang tidak ada  satu pun toko yang menjual kaset, CD dan VCD lagu-lagu Arab yang kucari, walaupun aku telah berkeliling berkali-kali ke beberapa toko kaset di daerah tanah haram maupun Aziziyah. Yang ada dijual di Aziziyah, hanya kaset, CD dan VCD bacaan Al-Qur’an, film-film Barat dan Video Game. Mungkin saja di tanah suci itu ada dijual kaset, CD dan VCD lagu Arab, hanya saja mungkin aku belum menemukannya. Dugaanku agak sama seperti dugaan pelayan yang pandai berbahasa Indonesia dan hapal sebagian besar isi novel karya Habiburrahman El Shirazy dan Taufiqurrahman Al-Azizy, yang bekerja di salah satu toko parfum di Plaza Ibnu Dawud, Mekah itu, ketika dia mengatakan mungkin saja di luar tanah haram ada dijual film Ayat-ayat Cinta, hanya saja dia belum menemukannya.

Di Bandara King Abdul Aziz, banyak dijual kaset, CD dan VCD yang kucari. Syukurlah. Akhirnya, kudapatkan juga.

Tepat pukul tujuh malam waktu setempat, kami dipanggil untuk naik ke pesawat. Setelah setengah jam menunggu di dalam pesawat, akhirnya kami diterbangkan ke Abu Dhabi untuk kemudian ke Bandara Changi, Singapura.

Selamat tinggal Jeddah! Sampai bertemu lagi!

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A. adalah Pemilik Nama Pena Ibnu Yasin Al-Hajj Al-Hafizh, Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Natuna, Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Penulis Buku “Dalam Naungan Mukjizat Cinta (Antologi Fiksi Penggugah Jiwa) dan “Dalam Naungan Keagungan Cinta (Novel Spiritual Penggugah Jiwa)”.

 

 

Ditulis Oleh Pada Sel 04 Mar 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek