; charset=UTF-8" /> BERGURU KEPADA IVAN ILLICH - | ';

| | 9,252 kali dibaca

BERGURU KEPADA IVAN ILLICH

Oleh H Tirtayasa S Ag M A

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A.

 “Kita semakin terikat untuk belajar hanya di lembaga-lembaga persekolahan dan nyaris selalu gagal menarik pelajaran dalam kehidupan sehari-hari yang informal (informal learning),” tulis Andrias Harefa dalam bukunya Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, sebagaimana dikutip Sirsaeba Alafsana (2003), ketika mengawali catatannya sebagai editor untuk buku “Emoh” Sekolah buah karya Ainurrofiq Dawam, seorang Doktor muda dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Andrias Harefa memang benar. Hampir semua orang di negeri ini berpikiran bahwa belajar itu adalah sekolah. Orang dikatakan sedang belajar dalam arti sesungguhnya adalah pada saat sekolah. Belajar selain di sekolah, seseorang belum dikatakan belajar. Ultimatum pemerintah ihwal pencanangan wajib belajar yang dimaknai dan dikehendaki dengan wajib sekolah sembilan tahun semakin mengukuhkan kebenaran pernyataan Andrias Harefa. Pemikiran seperti ini kemudian pada muaranya menjadikan bangsa kita menumpukkan semua harapan, cita-cita, dan mimpi-mimpi tingginya pada sekolah. Kemudian muncul paradigma berpikir yang secara sederhana menunjukkan, jika seseorang ingin sukses, kaya, dihormati, berkedudukan tinggi, bermartabat, maka orang itu harus bersekolah yang rajin, tekun dan setinggi-tingginya. Tak mengherankan kiranya, demikian menurut Sirsaeba, meskipun saat biaya sekolah kian membumbung tinggi, bangsa (masyarakat kita) kita masih tetap saja memaksakan diri untuk bisa bersekolah.

Kritik yang disampaikan Andrias Harefa dan Sirsaeba Alafsana terhadap keterbelengguan masyarakat terhadap institusi sekolah mungkin kurang lebih sama dengan apa yang hendak disampaikan Ivan Illich melalui bukunya yang fenomenal, Deschooling Society yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Deshooling Society, seperti diakui Ivan Illich (2000), adalah buku yang mencerminkan keyakinannya bahwa etos masyarakat, dan bukan hanya lembaga, yang harus dibebaskan dari kecenderungan yang menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Kata “sekolah”  di sini diartikan oleh Illich sebagai “proses yang dikhususkan untuk umur tertentu dan yang berkaitan dengan guru, yang menuntut kehadiran purna waktu dalam mengikuti suatu kurikulum wajib.”

Pendidikan universal melalui sekolah tidak mudah dilaksanakan. Jauh lebih mudah kalau pendidikan universal ini, demikian Illich, diupayakan melalui lembaga alternatif yang dibangun menurut gaya sekolah yang ada sekarang. Sikap baru para guru terhadap murid maupun penambahan sarana dan prasarana (di sekolah maupun di rumah), menurut Illich, tidak akan menghasilkan pendidikan universal.

Demikian pula, meskipun tanggung jawab pendidikan akhirnya diperluas sedemikian rupa sehingga menjangkau seluruh kehidupan anak didik, pendidikan universal tetap tidak tercapai. Pencarian saluran-saluran baru seperti dilakukan sekarang, harus dibalik menjadi pencarian kelembagaan, yaitu jaringan-jaringan (webs) pendidikan yang meningkatkan kesempatan bagi setiap orang untuk mengubah setiap momen dalam hidupnya menjadi momen belajar, berbagi pengetahuan, dan peduli satu sama lain.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sebagai berikut. Pertama, apa yang dimaksud Illich dengan pendidikan universal? Kedua, apa yang dimaksud Illich dengan istilah “jaringan-jaringan pendidikan”? Ketiga, apa saja yang dikategorikan Illich sebagai jaringan-jaringan pendidikan itu? Keempat, bagaimana kemungkinan penerapan konsep-konsep ini dalam konteks perbaikan kependidikan di Indonesia, apa faktor pendukung dan penghambat yang mungkin ada?

Tulisan ini pada dasarnya hendak memberikan jawaban untuk keempat pertanyaan di atas dengan mengekplorasi lebih jauh pemikiran Illich yang dituangkan dalam buku Deschooling Society ini dengan mengkomparasikannya dengan berbagai pemikiran yang mungkin saja pro ataupun kontra terhadap gagasan tersebut. Untuk keperluan itu, tulisan ini secara sistematik akan menampilkan beberapa hal sebagai berikut. Ivan Illich: sebuah sketsa biografis, akan membahas secara singkat tentang latar belakang kehidupan, keluarga, pendidikan dan karir Ivan Illich.

Dalam Ivan Illich dan Deschooling Society akan dipaparkan sekilas sejarah penulisan Deschooling Society dan dilanjutkan pemaparan sebagian dari pokok pikiran Illich yang tertuang di dalamnya. Pokok pikiran yang dimaksud adalah berkenaan dengan pertanyaan pertama sampai pertanyaan ketiga di atas. Diskusi dan pembahasan akan membahas secara lebih jauh tentang kemungkinan penerapan gagasan Ivan Illich dalam perbaikan pendidikan dalam konteks ke-Indonesia-an dengan membandingkannya dengan gagasan para pemikir pendidikan yang lain. Bagian ini berusaha menjawab pertanyaan yang keempat. Bagian terakhir memuat kesimpulan yang merupakan jawaban atas keempat pertanyaan yang diajukan di awal.

Memang tidak mudah untuk memahami pemikiran seseorang. Untuk memahami pemikiran orang lain, tentu dibutuhkan ketajaman analisis dan interpretasi yang kadangkala mungkin tepat dengan apa yang dimaksud oleh penutur pemikiran itu dan terkadang justru meleset sama sekali dari maksud penuturnya. Apalagi yang menjadi objek kajian ini adalah pemikiran tokoh asing yang tentu memiliki karakter kultur yang sangat berbeda dengan penulis, terutama bahasa yang digunakan. Belum lagi gaya bahasa yang digunakan dalam mengungkapkan pikiran pun bervariasi dari satu orang dengan orang yang lain. “Sebuah pemikiran radikal yang bagus, ditulis dengan gaya aphorisme yang hidup. Serangannya pada pendidikan sebagai industri sekolah, merupakan awal yang membuka mata kita,” demikian ungkap John Davy, seorang peneliti, ketika mengomentari buku Deschooling Society ini.

Lucu memang, bahwa suatu ketika mungkin saja “kita” sendiri tak memahami apa yang “kita” katakan sendiri, karena banyaknya interpretasi yang mungkin muncul dari sebuah “kata” walaupun kata itu dituturkan dengan bahasa yang paling mudah dipahami, bahasa ibu “kita” misalnya, apalagi jika teks itu diungkapkan dalam bahasa asing meskipun bahasa itu juga sudah diterjemahkan. Untuk lebih memahami pemikiran Ivan Illich, penulis kadang harus “meminjam” pemetaan orang lain atas pemikirannya. Memenuhi kode etik penulisan ilmiah, semua “pinjaman-pinjaman” itu disertai dengan sumber rujukannya.

Sesungguhnya banyak pokok pikiran Ivan Illich yang hendak dieksplorasi dalam tulisan ini. Akan tetapi, demi  fokusnya kajian, penulis membatasi lingkup kajian hanya pada tawaran Ivan Illich tentang rekonseptualisasi lembaga pendidikan formal yang telah dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan seperti dikemukakan di atas. Tema ini cukup mewakili pokok pikiran Illich atas kritiknya terhadap keberadaan lembaga pendidikan formal sejauh yang dilihat dan dikaji oleh Ivan Illich semasa hidup dan kejayaan intelektualnya.

Meskipun kami telah berusaha membuat tulisan ini menjadi sesempurna mungkin. Namun, sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan dan kekhilafan, kami harus menyadari bahwa mungkin tulisan ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari siapapun sangat diharapkan demi kesempurnaan tulisan kami selanjutnya. Terlepas dari salah dan khilaf yang mungkin ada, kami tetap berharap bahwa tulisan singkat ini bisa bermanfaat.

Ivan Illich: Sebuah Sketsa Biografis

            Ivan Illich terlahir sebagai anak sulung dari tiga bersaudara pada bulan September 1926 di Wina, Austria (David A. Gabbard dan Dana L. Stuchul, 2003). Ayahnya, Ivan Peter, adalah seorang insinyur sipil. Ini menunjukkan bahwa Ivan Illich bisa menikmati kehidupan yang nyaman, memasuki sekolah-sekolah bagus dan bepergian di seantero Eropah secara ekstensif (Mark K. Smith, 2004), karena hidup dan tumbuh dalam keluarga yang kaya dan berada.

            Saat merenungkan keberadaannya sebagai anak yang harus mengikuti orang tuanya dan tak pernah belajar di sekolah tertentu, ia sempat berpindah-pindah tempat tinggal selama empat tahun di Dalmatia, Wina, dan Perancis, atau di mana pun orang tuanya berada. Baru di rumah kakeknya di Wina, ia bertempat tinggal selama tahun 1930-an. Saat masih anak-anak itulah, perkembangan intelektual Illich bertambah bukan hanya karena belajar dari sejumlah guru privat yang mengajarkan pelbagai bahasa dan membaca buku-buku dari perpustakaan pribadi neneknya, melainkan juga dengan interaksinya dengan  cendekiawan-cendekiawan penting yang menjadi sahabat orang tuanya seperti Rudolf Steiner, Raine Maria Rilke, Jacques Maritain, dan dokter keluarganya Sigmund Freud. Illich dianggap terlalu muda untuk bersekolah, sehingga ia tidak segera dimasukkan ke sekolah meskipun sudah menunjukkan kecerdasan (David A. Gabbard dan Dana L. Stuchul, 2003).

            Pada tahun 1938, serdadu Hitler menduduki Austria. Sebagai putra insinyur Dalmatia yang kaya dan ibu Yahudi Sephardic, Illich menjadi korban diskriminasi Nazi terhadap etnis Yahudi. Pada tahun 1941, bersama ibu dan saudara kembarnya, mereka meninggalkan Austria dan tinggal di Italia. Walaupun ia sulit menjelaskan keputusannya, pada periode inilah Illich memasuki biara. Pada usia 24 tahun, ia ditahbiskan menjadi pastur dan meraih gelar master dalam bidang teologi dan filsafat dari Gregorian University, Roma. Tak lama kemudian ia meraih gelar doktor filsafat sejarah dari University of Salzburg. Di Salzburg, dengan bimbingan Profesor Albert Auer dan Michael Muechlin, Illich mulai berminat pada metode sejarah dan interpretasi naskah lama. Auer, yang tulisannya mengenai teologi penderitaan (theology of suffering) abad ke-12 sangat relevan bagi Illich, membimbingnya untuk menyelesaikan tesis doktoralnya tentang metode sejarah dan filsafat Arnold Toynbee. Illich juga mempelajari kimia lanjut (kristalografi) di University of Florence.

            Walapun kecerdasan, sofistikasi arsitokratik, dan kesalehannya mendukung Illich sebagai calon ideal untuk tugas diplomatik dari Vatikan, pandangan kritis Illich terhadap dimensi intsitusional gereja membuatnya menolak belajar di collegio (sekolah berasrama) Gereja di Nobili Ecclesastici. Pada tahun 1951, ia memilih meninggalkan Roma untuk mengikuti program pascadoktoral dengan menulis disertasi tentang kimia (alchemy) berdasarkan karya Santo Albertus Magnus di Princeton University.

Sebagai rohaniawan, pada tahun 1951 ini ia mendarat di New York, Amerika Serikat dan berkarya di tengah-tengah imigran Irlandia dan Puerto Rico di kota itu. Komitmennya pada “humanisme radikal” menjadikan dia salah seorang “hero” bagi kaum Katolik Kiri (di Indonesia, kurang lebih seperti mendiang Romo Mangun). Akibatnya, sepak terjangnya banyak tidak dimengerti oleh hirarki Gereja dan lembaga-lembaga konvensional serta ide-ide yang berlaku tentang apa itu keutamaan sosial. Sejak tahun 1981, Illich menjadi profesor tamu di Gottingen dan Berlin. Akhir 1982 ia mengajar di Berkeley, California.

            Ivan Illich mendapat popularitas pada tahun 1970-an dengan serentetan buku-buku yang brilian, pendek dan penuh polemik berkenaan dengan institusi-institusi utama dari dunia industri. Buku-buku tersebut mengkaji fungsi dan dampak dari sistem-sistem pendidikan (Deshooling Society), perkembangan teknologi (Technology and Equity), pengobatan (Medical Nemesis), dan pekerjaan (The Right to Useful Employment and Its Professional Enemies; dan Shadow Work). Buku-bukunya yang lain adalah Celebration of Awareness, Tools for Conviviality, dan Vernacular Gender. Esei-esei Ivan Illich juga banyak tersebar di The New York Review, The Saturday Review, Esprit, Kursbuch, Siempre, Amerika, Commonwealth, Espreuves, dan Temps Moderns. Adapun buku Deschooling Society mendapat penghargaan World Board of Education. Ivan Illich tutup usia pada tahun 2002.

 

Ivan Illich dan Deschooling Society

            Dechooling Society salah satu buku yang merupakan kumpulan tulisan yang bersumber dari sebuah seminar yang bertema “Alternatives in Education”, yang diselenggarakan oleh CIDOC (Center of Intercultural Documentation), sebuah lembaga yang didirikan oleh Illich atas dukungan Uskup Arceo, Kardinal Spellman, dan Fordham University, sebagai tandingan terhadap Alliance for Progress yang dibentuk Presiden Kennedy (yang dianggapnya sebagai peneyebar cita rasa borjuis Amerika Serikat yang mengorbankan budaya dan kehidupan Amerika Selatan). Reimer, Paul Goodman, Joel Spring, John Holt, Jonathan Kozol, dan Paulo Freire adalah sebagian dari peserta penting dalam seminar tersebut. Sebenarnya Illich tidak memberi judul Deschooling Soiety untuk bukunya tersebut. Akan tetapi Cass Canfield, Sr, presiden penerbit Harper-lah yang memberikan judul itu untuk tujuan pemasaran (David A. Gabbard dan Dana L. Stuchul, 2003).

            Buku Deschooling Society kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh C. Woekirsari dengan judul Bebas Dari Sekolah yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, dan dicetak untuk pertama kali pada tahun 1982. Pada  2000, sebagai edisi revisi, buku ini kembali diterjemahkan oleh A. Sony Keraf dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia. Hasil kedua terjemahan secara substantif tidak berbeda. Hanya saja, bahasa terjemahan A. Sony Keraf agaknya lebih mudah dipahami dan memang dilengkapi oleh subjudul-subjudul yang cukup membantu pembaca dalam memahami isi buku ini. Terjemahan yang terakhir ini lebih membuat buku ini terlihat lebih mudah dipahami ketimbang terjemahan sebelumnya. Deschooling Society baik dalam terjemahan Bebas dari Sekolah maupun Bebaskan Masyarakat dari Belenggu sekolah, secara substantif sama, yang maknanya kurang lebih adalah  bahwa masyarakat harus dibebaskan dari belenggu kecenderungan yang menganggap bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan.

 

Pokok Pikiran Ivan Illich dalam Deschooling Society       

Pokok pikiran Ivan Illich dirangkum penulis dari buku Deschooling Society tersebut adalah pokok pikirannya tentang perlunya rekonseptualisasi lembaga pendidikan formal. Menurut Illich, sistem pendidikan yang baik adalah bahwa  sistem pendidikan itu harus mempunyai tiga tujuan. Pertama, lembaga pendidikan itu harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar peluang untuk menggunakan sumber-sumber daya yang ada pada suatu ketika dalam kehidupan mereka. Kedua, lembaga pendidikan harus mengizinkan semua orang, yang ingin membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari mereka. Ketiga, sistem pendidikan ini memberi peluang kepada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah masyarakat untuk membuat keberatan mereka diketahui oleh umum (Illich, 2000).

Tampaknya inilah yang dimaksud Illich sebagai pendidikan universal, yaitu suatu sistem pendidikan yang diperuntukkan bagi semua orang, di mana orang-orang tersebut berpeluang untuk menggunakan sumber daya yang ada, memungkinkan mereka membagikan apa yang mereka ketahui dan berpeluang menyampaikan masalah ke tengah masyarakat.

Sistem pendidikan semcam ini, dalam pandangan Illich, menuntut agar jaminan pendidikan menurut konstitusi benar-benar ditegakkan. Para pelajar tidak boleh dipaksa untuk tunduk pada suatu kurikulum wajib, atau tunduk pada diskriminasi yang didasarkan pada apakah mereka memiliki sertifikat atau ijazah. Illich menambahkan bahwa masyarakat juga tidak boleh dipaksa untuk mendukung melalui sistem pajak represif, peralatan profesional besar-besaran untuk para pendidik serta gedung yang dalam kenyataannya membatasi kesempatan bagi masyarakat untuk belajar hanya pada jasa yang ditawarkan profesi ini ke dalam pasar. Sistem pendidikan ini harus menggunakan teknologi modern untuk memungkinkan kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan pers benar-benar menjadi kebebasan universal, dan dengan demikian benar-benar bersifat mendidik.

Sekolah saat ini, menurut Illich, dirancang berdasarkan asumsi bahwa ada suatu rahasia mengenai segala sesuatu dalam hidup ini, bahwa kualitas kehidupan tergantung pada upaya mengetahui rahasia itu, bahwa rahasia-rahasia dapat diketahui hanya melalui tahap-tahap yang susul-menyusul secara teratur, dan bahwa hanya guru yang secara tepat menyingkapkan rahasia-rahasia itu. Seorang individu yang menyanjung-nyanjung sekolah memahami dunia ini sebagai sebuah piramida paket yang sudah dikelompok-kelompokkan, dan piramida ini hanya bisa diakses oleh mereka yang membawa label yang tepat.

Lembaga pendidikan yang baru harus menghancurkan piramida ini. Tujuannya, demikian Illich, adalah untuk memudahkan kesempatan bagi pelajar untuk memungkinkannya mengintip ruang kendali atau parlemen melalui jendela, jika ia tidak bisa masuk melalui pintu. Lebih lagi, lembaga-lembaga pendidikan yang baru itu harus menjadi saluran yang memungkinkan pelajar itu mempunyai akses, tanpa harus mempunyai surat izin atau tanpa harus menyelesaikan lebih dulu tahap pendidikan sebelumnya (Illich, 2000).

Illich menawarkan empat saluran khusus atau pertukaran kegiatan belajar yang bisa menampung semua unsur sumber daya yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar yang menurutnya benar. Untuk menyebut saluran khusus tersebut, Illich cenderung menggunakan istilah “jaringan kesempatan” (opportunity web) untuk mengganti kata “jaringan” (network). Yang dimaksud Illich dengan opportunity web di sini adalah cara-cara khusus yang dipakai untuk memberi akses pada setiap dari empat sumber daya ini. Opportunity web ini digunakan Illich sebagai sinonim dari “jaringan pendidikan” (educational web).

Dalam pandangan Illich, yang dibutuhkan oleh masyarakat sesungguhnya adalah jaringan baru, yang tersedia bagi umum dan dirancang untuk memberi kesempatan yang sama untuk belajar dan mengajar. Dalam konteks ini Illich memberikan ilustrasi menarik sebagai berikut.

Tingkat teknologi yang sama digunakan dalam TV dan tape recorder. Semua negara Amerika Latin kini telah memasukkan TV: di Bolivia pemerintah telah membiayai sebuah stasiun TV, yang dibangun enam tahun lalu, dan tidak lebih dari tujuh ribu peswat TV untuk empat juta rakyat. Uang yang kini tertanam di instalasi-instalasi TV di seluruh Amerika Latin sesungguhnya bisa dipakai untuk menyediakan sebuah tape recorder bagi setiap lima orang dewasa. Di samping itu, uang tersebut seharusnya cukup untuk membangun sebuah perpustakaan tak terbatas yang berisi kaset yang telah direkam sebelumnya, dan bisa disalurkan ke desa-desa terpencil, disertai juga dengan persediaan kaset-kaset kosong dalam jumlah besar.

Jaringan tape recorder ini tentu saja akan sangat berbeda dengan jaringan TV yang sekarang sebab akan memberi kesempatan kepada rakyat untuk mengungkapkan diri secara bebas: yang melek hurup dan yang buta hurup sama-sama bisa merekam, menyimpan, menyebarkan, dan mengulangi pendapat mereka. Investasi yang dilakukan sekarang pada TV justru memberi para birokrat, entah politisi ataupun pendidik, kemampuan untuk memenuhi benua itu dengan program-program yang dibuat oleh lembaga yang mereka atau sponsor mereka putuskan sebagai program  yang baik dan dibutuhkan rakyat. Teknologi siap memajukan kemandirian dalam kegiatan belajar atau memajukan birokrasi dan kegiatan mengajar.

Adapun empat jaringan pendidikan menurut Ivan Illich tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, jasa referensi pada objek-objek pendidikan yang memudahkan akses pada sesuatu atau proses yang digunakan untuk kegiatan belajar yang formal. Beberapa hal dapat dipakai untuk tujuan ini, karena disimpan di perpustakaan, agen penyewaan, laboratorium, dan ruang pertunjukan seperti museum dan teater. Yang lainnya bisa digunakan sehari-hari di pabrik, bandar udara, atau sawah ladang, tetapi tersedia bagi siswa untuk kegiatan magang atau kegiatan di luar jam sekolah. Kedua, pertukaran keterampilan yang memungkinkan orang untuk mendaftarkan keterampilan mereka, dalam kondisi seperti apa mereka mau menjadi model untuk orang lain yang ingin mempelajari keterampilan ini, dan alamat di mana mereka bisa dihubungi. Ketiga, mencari teman sebaya yang cocok, yaitu suatu jaringan komunikasi yang memungkinkan orang memaparkan kegiatan belajar yang ingin mereka ikuti, dengan harapan menemukan pasangan yang cocok untuk kegiatan belajar mereka. Keempat, jasa referensi kepada pendidik pada umumnya yang bisa didaftar dalam sebuah buku petunjuk yang memberi alamat dan jati diri para profesional, semi-profesional, dan ahli-ahli yang tidak terikat dengan suatu lembaga tertentu, dengan syarat untuk bisa memperoleh pelayanan mereka. Para pendidik ini bisa dipilih dengan melalui polling (mengumpulkan pendapat) atau dengan menanyai bekas-bekas klien mereka.

Beberapa Catatan

            Polemik tentang Ujian Akhir Nasional (UAN) di Indonesia, seperti yang dipublikasikan di media massa belakangan ini melengkapi sejumlah kritik terhadap sistem dan model pendidikan nasional. UAN hanyalah problem teknis-metodis yang terkait dengan cara evaluasi dan standarisasi. Lebih dari itu, pendidikan nasional menyimpan masalah paradigmatik yang sangat serius. Seperti yang banyak diluapkan oleh pakar pendidikan, bahwa sekolah tidak mampu mengantarkan anak didik menjadi manusia yang merdeka dan berpikir bebas. Karena itu, seorang Ivan Illich dalam Deschooling Society, menyarankan agar sekolah-sekolah di dunia ketiga, termasuk Indonesia dibubarkan saja. Saran Illich seolah menghentakkan kita semua di saat kita berpikir bahwa pendidikan harus diperjuangkan sebagai sarana pembangunan bangsa. Illich mensinyalir bahwa lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) di dunia ketiga hanya menjadi agen-agen resmi bagi langgengnya sistem hegemonik yang mengabdi pada status quo. Kurikulum yang disajikan tidak mampu mendorong upaya pencerdasan sosial (Gunarto, 2005).

            Kenyataan di atas membuka pandangan bahwa ada masalah krusial dalam sistem pendidikan nasional saat ini. Pendidikan nasional sejauh ini lebih banyak mengabdikan diri pada apa yang bisa disebut sebagai agen pelanggengan status quo, tidak menciptakan individu-individu yang mandiri apalagi bebas dalam berpikir. Para keluaran lembaga pendidikan yang ada adalah tidak lain mereka yang baik dan benar menurut sudut pandang para penyelenggara pendidikan bukan atas pandangan peserta didik atas diri mereka sendiri dan refleksi mereka atas realitas. Keberhasilan pendidikan seseorang hanya diukur pada sejauhmana ia berhasil mengumpulkan angka-angka tinggi dalam rapor dan ijazahnya, selain itu tidak. Di sinilah letaknya kelemahan sistem sekolah yang ada sekarang.

Sindhunata mengiangkan kembali peringatan Ivan Illich yang meneriakkan perlunya de-sekolah-isasi masyarakat. Dalam pandangan Sindhunata, peringatan Illich tentang de-sekolah-isasi masyarakat  kini kembali menemukan aktualitasnya. Kini, di tengah kemajuan teknik, ekonomi, dan globalisasi, sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Sekolah, sebagai institusi pendidikan, kehilangan monopolinya sebagai pengantara ilmu  dan pendidik. Resep klasik jika sesorang ingin sukses di masa depan, maka ia harus belajar di sekolah terkenal, sepertinya sudah tidak berlaku. Sekolah yang paling elit pun tidak mampu lagi membekali muridnya dengan pengetahuan dan pegangan yang memadai untuk menghadapi tantangan zaman ini (Dawam, 2003).

Hirarki dalam kelembagaan pendidikan, seperti dikemukakan Ibe Karyanto (2005), cenderung melanggengkan sikap feodal, menumbuhkan sikap aristokrat daripada sikap demokrat. Pendidikan tidak hanya mempersiapkan anak menjadi manusia mesin atau automaton seperti dikatakan Erich Fromm. Di bawah hegemoni kekuasaan sistem pendidikan juga akan melahirkan para ‘agen intelektual’ atau Commissars, menurut Noam Chomsky, yang hidupnya bergantung dan caranya melayani kepentingan atau memenuhi kebutuhan penguasa. Tugas para agen intelektual adalah mereproduksi pengetahuan atau kebenaran para penguasa.

Kaum yang skeptis juga prihatin dengan sifat deskriminatif dan formalisme pelembagaan yang mengakibatkan banyak anak yang tidak bisa belajar. Hanya anak yang bisa memenuhi persyaratan formal yang ditentukan yang boleh belajar di sekolah. Komersialisasi, yang menjadikan sekolah sebagai komoditas, merupakan faktor lain yang mendukung berlakunya deskriminasi pendidikan. Keprihatinan ini, demikian Karyanto, mengingatkan pada kritik Ivan Illich tentang sistem sekolah yang hanya menjadikan para siswa tidak bedanya dengan sapi perah. Hanya anak yang siap diperah keuangan (orang tua)nya yang boleh duduk di bangku sekolah. Perlakuan deskriminatif di balik penyelangaraan pendidikan formal yang kemudian menyinggung rasa keadilan kaum pembaharu pendidikan.

Masih panjang rentetan kritik dan analisis yang memperlihatkan kondisi yang memperlihatkan dari sistem pendidikan. Bagi kaum skeptis, seperti dikemukakan Ibe Karyanto, sudah jelas bahwa ketika kritik hanya menjadi penunggu tong sampah, sama artinya penyelenggara pendidikan formal telah mengabaikan kehendak masyarakat. Tidak berlebihan kalau kemudian masyarakat yang merasa diabaikan, menilai Negara telah gagal memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi masyarakatnya.

Kita tidak perlu menyangsikan bahwa masyarakat memiliki kekuatan tersembunyi yang tidak banya sekadar mengontrol negara, melainkan mampu mengambil alih legitimasi kekuasaan negara. Ketika negara hanya mandeg pada kepentingan kekuasaan atau malah momperkokoh pertahanan status quo pada saat itu masyarakat akan memperlihatkan .gerak pembaharuan sendiri. Demikian halnya masyarakat yang skeptis memandang nasib pendidikan saat ini pun menggeliat, berupaya menembus tembok kemandegan dengan membangun sendiri strategi baru untuk pembaruan pendidikan. Mereka tidak lagi sekadar menunggu perubahan dari atas. Pembaruan tidak cukup hanya diupayakan dengan penyampaian kritik, tapi sebaliknya kritik akan menjadi berdaya guna pada perubahan kalau dimulai dengan tindakan. Dengan kemauan dan kemampuan yang ada kelompok-kelompok masyarakat berupaya membangun model-model pendidikan sendiri. Berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan pendidikan allernatif, sekolah bebas, sanggar, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar dengan kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial. Fenomena itu mengingatkan pada gagasan Ivan Illich tentang de-sekolah-isasi bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan terselenggarakan oleh siapa saja. Formalisme kelembagaan menjadi relatif.

Hirarki dalam kelembagaan pendidikan ini mendapat kritik yang tajam dari Ivan Illich seperti dikemukakan di atas. Dalam konsep baru tentang lembaga pendidikan formal yang diinginkannya adalah lembaga pendidikan formal yang justru memberikan peluang kepada siswa ataupun pembelajar untuk bisa mengikuti materi pelajaran tingkat yang ada di atasnya tanpa harus menempuh lebih dulu pendidikan di bawahnya atau tanpa harus memiliki ijazah atau sertifikat  untuk pendidikan jenjang sebelumnya. Tentu saja kemungkinan seperti ini bisa diberikan kepada seseorang jika memang dia mampu menerima materi pendidikan yang ada di atas tingkatannya.

Pada dasarnya, program-program pemberian kesempatan bagi siswa yang memiliki kelebihan dalam beberapa aspek pembelajaran seperti ini sudah ada. Di negara-negara maju, mengutip Getls dan Dillon, dalam Hallahan dan Kaufman (1982), sebagaimana dinukil Herry Widyastono (2004), terdapat berbagai jenis program pendidikan yang dilakukan untuk siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, antara lain yaitu: (1) sekolah musim panas di negeri dengan empat musim, (2) pendidikan dasar tidak berjenjang, (3) diterima lebih awal di perguruan tinggi, (4) pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi siswa-siswa setingkat sekolah menengah, (5) mata-mata pelajaran di sekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi, (6) kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu yang ada dalam kurikulum, (7) kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum, (8) seminar-seminar hari Sabtu, (9) pengelompokan berdasar kemampuan, (10) pengayaan di kelas-kelas biasa, (11) guru tamu, (12) penambahan mata pelajaran, (13) tugas-tugas kelompok dan tugas-tugas ekstra kurikuler, (14) wisata karya, (15) pelajaran-pelajaran khusus melalui televisi, (16) program pelajaran biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lainnya, (17) percepatan, (18) sekolah-sekolah khusus, (19) program konsultasi, (20) bimbingan/tutorial, (21) belajar mandiri, (22) pertukaran pelajar, (23) peningkatan yang luwes (misalnya anak SD mengambil pelajaran di SMP, dan sebagainya.), (24) penempatan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, (25) program pemberian penghargaan, (26) program kegiatan yang ditawarkan lembaga nonsekolah, seperti museum, perpustakaan, dan (27) kurikulum khusus.

Dari sekian banyak bentuk program pendidikan yang dapat dipilih, terdapat tiga jenis program yang terbanyak dilaksanakan, yaitu: (1) Sistem Pengayaan, yakni pembinaan siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat pendalaman, setelah yang bersangkutan menyelesaikan tuigas-tugas yang diprogramkan untuk anak-anak lainnya; (2) Sistem Percepatan, yakni  pembinaan siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan memperbolehkan yang bersangkutan naik kelas secara meloncat (eksaltasi), atau menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat (akselerasi); (3) Pengelompokan Khusus, yakni pembinaan siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan cara yang bersangkutan dikumpulkan dan diberi kesempatan secara khusus sesuai dengan potensinya. Pengelompokan biasanya didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan, dan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, antara lain: (a) kelas khusus, (b) sekolah khusus, (c) pertemuan khusus, sebelum dan sesudah jam sekolah, serta (d) program di luar kelas reguler pada jam belajar (Clark, 1983, dalam Herry Widyastono, 2004).

Betapapun, pemilihan bentuk program pendidikan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa akan selalu tergantung tidak hanya pada individu-individu yang terlibat, melainkan juga pada situasi dan kondisi lingkungan tempat program akan dilaksanakan. Di samping itu, juga tidak dapat dilihat lepas dari suatu pertimbangan segi politis dan ekonomis, sejauh mana sesuai dengan kebijaksanaan pendidikan, dan sejauh mana mudah dan murah pelaksanaannya.

Di sisi yang lain, tampaknya para ahli pendidikan, seperti dikemukakan Indra Djati Sidi (2005), perlu merumuskan kembali paradigma dan visi pendidikan kita. Sidi mencoba mengusulkan sebuah gagasan berkenaan dengan paradigma dan visi pendidikan yang diharapakan lebih cocok lagi tantangan zaman sekarang ini. Gagasan ini sebenarnya pernah dibahas oleh UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) dalam World Education Forum belum lama ini. Pertama, kita hendaknya mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini, proses pendidikan menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan anak didik”. Guru dalam konteks ini juga termasuk dalam proses belajar. Sehingga lingkungan sekolah, meminjam istilahnya Ivan Illich, menjadi learning society (masyarakat belajar). Dalam paradigma ini peserta didik tidak lagi disebut pupil (siswa), tapi learner (yang belajar).

Paradigma learning juga jelas terlihat dalam empat visi pendidikan menuju abad ke-21 versi UNESCO. Keempat visi pendidikan versi UNESCO ini sangat jelas berdasarkan pada paradigma learning, tidak lagi pada teaching, yaitu pertama, learning to know (belajar mengetahui). Ini berarti pendidikan berorientasi pada pengetahuan logis dan rasional sehingga learner berani menyatakan pendapat dan bersikap kritis serta memiliki semangat membaca yang tinggi. Kedua, learning to do (belajar berbuat/hidup). Aspek yang ingin dicapai dalam visi ini adalah keterampilan seorang anak didik dalam menyelesaikan problem keseharian. Dengan kata lain pendidikan diarahkan pada how to solve the problem.

Ketiga, learning to live together (belajar hidup bersama). Di sini pendidikan diarahkan pada pembentukan seorang anak didik yang berkesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia global bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik, agama dan budaya. Pendidikan akan nilai-nilai semisal perdamaian, penghormatan HAM, pelestarian lingkungan hidup, dan toleransi, menjadi aspek utama yang mesti menginternal dalam kesadaran learner. Dan keempat, learning to be (belajar menjadi diri sendiri).

Visi terakhir ini menjadi sangat penting mengingat masyarakat modern saat ini tengah dilanda suatu krisis kepribadian. Orang sekarang biasanya lebih melihat diri sebagai what you have, what you wear, what you eat, what you drive, dan lain-lain. Karena itu, visi pendidikan hendaknya diorientasikan pada bagaimana seorang anak didik di masa depannya bisa tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang mandiri, memiliki harga diri dan tidak sekadar memiliki having (materi-materi dan jabatan-jabatan politis).

Keempat visi pendidikan tersebut, menurut Sidi, bila disimpulkan akan diperoleh kata kunci berupa learning how to learn (belajar bagaimana belajar). Sehingga pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja, melainkan juga berorientasi pada bagaimana seorang anak didik bisa belajar dari lingkungan, dari pengalaman dan kehebatan orang lain, dari kekayaan dan luasnya hamparan alam, sehingga mereka bisa mengembangkan sikap-sikap kreatif dan daya berpikir imajinatif.

            Muara dari proses ini adalah terciptanya manusia dewasa dan mandiri, seperti diungkapkan Tolkhah dan Barizi (2004), yaitu manusia memiliki aksentuasi  pada suatu kemampuan, baik kemampuan intelektual (intellectual ability) maupun kedewasaan emosional (emotional maturity) yang umumnya dikaitkan dengan tiga hal yaitu pengetahuan (know-what, knowledge), sikap (know-why, attitude), dan keterampilan (know-how, skill).

            Paradigma dan visi yang ditampilkan Indra Djati Sidi, Tolkhah dan Barizi, tampak  sejalan dengan apa yang dikemukakan Ivan Illich dengan istilahnya jaringan belajar, atau jaringan kesempatan atau jaringan pendidikan. Paradigma dan visi yang diadopsi dari UNESCO di atas, dimungkinkan dapat terealisasi dengan baik manakala jaringan belajar dapat dibangun dengan baik pula. Dalam jaringan belajar versi Illich memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada pembelajar untuk memaksimalkan peran jaringan itu guna keberhasilan pembelajar dalam pembelajarannya. Keaktifan pembelajar dalam konteks ini sangat ditekankan.

            Ada hubungannya dengan ini, adalah apa yang disebut dengan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL). CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari (Mulyasa, 2004). Dengan demikian, pembelajaran model CTL ini memungkinkan peserta didik lebih mendapatkan makna dari peroses pembelajarannya, mengembangkan dan memanfaatkan jaringan belajar, dan tidak tercerabut dari realitas sosial yang melingkupi kehidupannya.

            Sementara itu, seperti dikemukakan Zamroni ketika menjelaskan tentang dua paradigma yang berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan pada sebuah bukunya, menybutkan bahwa paradigma sosialisasi pendidikan memandang peranan pendidikan adalah, pertama, mengembangkan potensi individu; kedua, meningkatkan produktivitas; ketiga, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dalam upaya memajukan kehidupan masyarakatnya secara keseluruhan (Zamroni, 2000). Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialiasi ini, lahirlah gerakan dunia yang disebut education for all (pendidikan untuk semua), yaitu pendidikan harus bisa diakses oleh seluruh warga masyarakat. Didorong oleh prinsip ini maka antara lain maraklah program-program wajib belajar. Indonesia,  setelah sukses dengan program wajib belajar 6 tahun, kini dilanjutkan dengan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun, dan mungkin tidak lama lagi, seperti dikatakan Tilaar, akan dilaksanakan program wajib belajar 12 tahun (Tilaar, 2000).

            Sekilas konsep tentang pendidikan untuk semua yang digerakkan oleh dunia ini mirip dengan pendidikan universal yang dikemukakan oleh Illich, bahwa pendidikan harus bisa diakses oleh semua kalangan. Bedanya, adalah bahwa pendidikan universal yang digagas oleh Illich tidak menganut konsep wajib belajar yang marak muncul di Indenesia. Bahkan menurutnya, seperti dikemukakan di atas,  justru para pelajar tidak boleh dipaksa untuk tunduk pada suatu kurikulum wajib, atau tunduk pada diskriminasi yang didasarkan pada apakah mereka memiliki sertifikat atau ijazah. Tentu saja konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep wajib belajar yang dimotori oleh gerakan pendidikan untuk semua, yang kenyataannya sangat mementingkan ijazah.

            Konsep Illich tentang perlunya dibangun jaringan belajar memang patut mendapat apreasiasi positif dan memang perlu dilakukan. Budaya penyediaan jasa referensi dalam konteks Indonesia untuk kota-kota besar sudah mulai marak. Perpustakaan mulai tanpak menjamur meski beroperasi dengan segala keterbatasan yang ada. Hanya saja akses terhadap referensi melalui perpustakaan itu perlu dipermudah dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi yang kini kian canggih. Illich sendiri menganjurkan agar sekolah-sekolah memanfaatkan teknologi ini untuk mempermudah para pembelajar  mengkomunikasikan pemikirannya dan tentunya dalam konteks mendidik. Namun, sayangnya budaya jasa referensi ini tidak berkembang secara marak sampai pada tingkat-tingkat cakupan wilayah administratif yang lebih sempit.

Pertukaran keterampilan belum membudaya di Indonesia. Kultur menulis misalnya, yang hasilnya bisa diakses oleh masyarakat umum belum berkembang secara merata, tapi patut dihargai. Keterampilan menulis tidak biasa diberikan secara cuma-cuma. Keterampilan-keterampilan menulis, bermusik dan lainnya sampai saat ini hanya bisa diakses jika semuanya sudah diukur dengan uang. Umumnya keterampilan-leterampilan itu setakat ini telah menjadi komoditas. Budaya komoditifikasi ini sangat dikritik oleh  Ivan Illich. Jasa bimbingan belajar, umumnya dikomoditifikasi sehingga menjadi barang komersial yang darinya diperoleh keuntungan yang berlipat-lipat. Kultur pertukaran keterampilan ini mungkin hanya berkembang di kalangan tertentu seperti kampus atau di kalangan insan pers. Itu pun kadang-kadang juga harus diukur dengan “yang penting keluar dan masuknya” sama-sama menyenangkan dan memuaskan kedua belah pihak yang berinteraksi dan bertransaksi. Oleh karena itu, pertukaran keterampilan ini perlu mendapat apresiasi yang lebih besar guna membangun budaya ini agar menjadi kebiasaan yang tidak lagi menjadi makhluk asing dalam masyarakat multikultural ini.

Mencari teman sebaya yang cocok, mungkin muncul dalam bentuk kelompok-kelompok diskusi untuk para peserta didik di sekolah maupun di luar sekolah. Budaya ini perlu dibangun sejak dini agar tumbuh kultur kerja sama (teamwork) dalam kelompok yang memungkinkan pserta didik belajar untuk hidup bersama, menemukan dan menyelesaikan masalah secara bersama, sesuai dengan visi pendidikan dari UNESCO, learning to live together. Jasa referensi pada pendidik pada umumnya juga belum membudaya di kalangan masyarakat kita. Untuk itu perlu dibangun sedini mungkin.

 

Kesimpulan

Berdasarkan eksplorasi di atas, maka dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. Pertama, yang dimaksud Illich dengan pendidikan universal adalah lembaga pendidikan yang memiliki tujuan-tujuan: lembaga pendidikan itu harus menyediakan bagi semua orang yang ingin belajar peluang untuk menggunakan sumber-sumber daya yang ada pada suatu ketika dalam kehidupan mereka; lembaga pendidikan harus mengizinkan semua orang, yang ingin membagikan apa yang mereka ketahui, untuk menemukan orang yang ingin belajar dari mereka; sistem pendidikan ini memberi peluang kepada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ke tengah masyarakat untuk membuat keberatan mereka diketahui oleh umum.

Kedua, yang dimaksud Illich dengan istilah jaringan-jaringan pendidikan adalah cara-cara khusus yang dipakai untuk memberi akses pada setiap dari empat sumber daya yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar secara benar. Ketiga, adapun jaringan-jaringan pendidikan tersebut adalah jasa referensi pada objek-objek pendidikan, pertukaran keterampilan, mencari teman sebaya yang cocok, dan jasa referensi pada pendidik.

Keempat, kemungkinan penerapan konsep-konsep yang ditawarkan Illich sangat besar dalam konteks perbaikan kependidikan di Indonesia. Bahkan sebagian konsep-konsep itu, seperti paradigma learning yang dikemukakannya sudah mulai diterapkan melalui CTL atau KBK (Kurikulum Berbasis Komptensi). Pembangunan jaringan belajar seperti perpustakaan dan laboratorium sudah menggejala, tentu dengan segala keterbatasan yang ada. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi pun sudah mulai digalakkan dalam dunia pendidikan formal. Faktor pendukung dari implementasi konsep Illich tentang konsep baru lembaga pendidikan formal ini adalah kemauan politik pomerintah dalam memberikan peluang kepada semua pihak yang berkompeten dalam pendidikan untuk melakukan inovasi-inovasi berarti demi perbaikan pendidikan.. Pasal 31 ayat 4 amandemen UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan nasional adalah minimal 20 % dari APBN adalah payung hukum yang kuat bagi untuk menggali dana bagi aplikasi konsep-konsep baru Illich ini.

 Di samping itu, dengan diamanatkan implementasi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dituangkan dalam Bab XIV tentang Pengelolaan Pendidikan pasal 51 ayat 1 yang menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”, adalah peluang besar bagi aplikasi konsep lembaga pendidikan formal baru ini.

Faktor penghambat bagi aplikasi konsep ini terletak pada ketersediaan sumber daya manusia dan finansial yang masih sangat terbatas. Keterbatasan sumber daya manusia dimaksud adalah dilihat baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Kualitas profesional guru dan manajer pendidikan sama pentingnya dengan kualitas mental spiritual mereka bila kita sama-sama menginginkan perbaikan kualitas pendidikan nasional ke depan dengan konsep lembaga pendidikan formal yang baru ini.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A. adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna, Wakil Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Natuna, Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau, Penulis Buku “Dalam Naungan Mukjizat Cinta (Antologi Fiksi Penggugah Jiwa) dan “Dalam Naungan Keagungan Cinta (Novel Spiritual Penggugah Jiwa)”.

Ditulis Oleh Pada Sen 10 Feb 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

3 Comments for “BERGURU KEPADA IVAN ILLICH”

  1. […] ReferensiMu’ammar, Arfan M. “Gagasan Ivan Illich dalam Pendidikan.” 17 Maret 2015.http://arfanmuammar.blogspot.com/…/gagasan-ivan-illich-dala…Tirtayasa. “Berguru Pada Ivan Illich.” 17 Maret 2015.http://www.radarkepri.com/berguru-kepada-ivan-illich/ […]

  2. dadan rusdana

    menuntut ilmu wajib hukumnya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ alla akan menempatkan manusia yang berilmu satu derajat lebih tinggi. siapapun kita harus mencari dan mendapat pengetahuan sebanyak banyaknya. lembaga pendidikan formal “sekolah dari berbagai tingkatan” adalah sebagian kecil cara kita mendapat pengetahuan. adapun pemikiran Ivan Illich keluar dan tertuang karena dia seorang pastor yang melihat kenyataan manusia hidup dalam hedonisme dan lembaga sekolah pada saat itu (sampai saat ini juga) dianggap satu-satunya sarana mencapai hidup sukses (materi)

Komentar Anda

Radar Kepri Indek