BACIN
Awang, Timah, & Ujang. “Timah…..Tiimaahh…..Tiiimmmaaahhh…..sudah awak siapkan segala keperluan abang untuk melaut malam ini???!!!”, tanya dan seru Awang kepada isterinya. Timah yang saat itu sedang menggoreng ikan asin pari dan memanaskan gulai sayur nangka di dapur rumahnya, seketika menjawab, “Sudah bang, semua sudah Timah siapkan”.
Mendengar jawaban dari bininya, Awangpun merasa puas, sebab segala keperluannya malam ini telah ready, hanya tinggal turun melaut saja, pikirnya.
Selang beberapa menit kemudian, dari arah dapur, terdengar pula bininya memanggil Awang, “Bang….bang….bang Awang…..makan malam sudah siap, makanlah cepat, selagi masih hangat”, teriak Timah memanggil sekalian mengingatkan lakinya.
Tanpa berpikir panjang, Awangpun bergegas menuju meja makan yang terletak di dapur rumah mereka.
Sebenarnya, sedari tadi sejak lubang hidungnya mencium aroma ikan asin pari yang sedang digoreng bininya, perutnya sudah krencang krencong melantunkan lagu keroncong 60-an. Apalagi dipadukan dengan sayur gulai nangka, sambal belacan, dan nasi panas, huuuuuuuaaaaaahhhhhhh…….., semakin terasa lapar berat-lah perut si Awang.
Tanpa ba….bi…..bu…..lagi, dengan lahap disantablah hidangan makan malam made in bininya dengan lahap. Saking lahap-nya, dia-pun sampai terbegek dan tersedak-sedak. “hhhuuuaaakkk……hhhhuuuuaaaakkkk……hhhhuuuuaaaakkkkk”.
Melihat laki-nya terbegeg dan tersedak-sedak, Timah-pun bergegas mengambil segelas air putih hangat, lalu diberikanlah kepada lakinya seketika.
“Bang, cepat minum air puteh ini. Abangpun makan terlalu semangat, tak mau pelan-pelan, seperti orang tak dapat makan seminggu saja”, ketus Timah, seraya mengingatkan si Awang.
Setelah minum beberapa teguk air puteh hangat, sedukan Awang-pun seketika berhenti. Lalu diapun melanjutkan kembali makan malamnya, tetapi tidak lagi selahap sebelum dia tersedak-seduk.
Acara makan malam bersama bininya telahpun usai, dan seperti kebiasaannya sehari-hari, selepas makan Awangpun menikmati sebatang rokok kretek sambil menghirup secangkir kopi hangat.
Kalau ditanyakan pada Awang, “Saat itu, serasa dunia adalah miliknya”. Apalagi dia baru saja selesai menyantab makanan kesukaannya sejak kecil, paket nasi puteh, sayur gulai nangka, sambal belacan, dan ikan asin pari yang kesemuanya disaji masih hangat.
Sekira jam 9 malam, Awangpun bersiap-siap turun ke laut.
Sebagai seorang nelayan tradisional, peralatan, dan perlengkapan melautnya-pun sangat sederhana. Setiap kali turun melaut, dia hanya menggunakan kapal pompong mesin engkol buatan China, beberapa gulung tali pancing dengan ukuran tali halus sampai ke tali kasar, beberapa biji mata kail segala ukuran, bandolan terbuat dari bahan timah, umpan udang dan beberapa ekor ikan kecil. Perlengkapan seperti sebatang tombak, serampang, tanggok, parang, kerambah, lampu strongkeng, peti gabus tempat menyimpan ikan berikut dengan es, dan pisau. Rokok, sebotol kopi, dan roti gabin sudah barang tentu turut dibawanya pula.
Dan seperti biasanya, setiap kali melaut, dia selalu membawa seorang teman untuk dijadikannya kawan bercakap dan membantunya selama mencari dan memancing ikan di tengah laut.
Sudah sekian tahun lamanya, dia selalu membawa Ujang sebagai teman mancingnya.
Namun malam itu, Ujang tak dapat ikut turun melaut karena sedang menderita demam panas dan sakit kepala. Oleh karena Ujang tak dapat turun bersamanya, maka si Awangpun meminta Atan tetangga sebelah rumah-nya. Untunglah Atan waktu itu tidak ke luar rumah, sehingga bisa menemani Awang melaut mencari ikan.
Sebelum berangkat melaut, tak lupa pula Awang mengingatkan Timah, agar melihat Ujang sekalian mengantar makan malam dan obat demam untuknya.
Awang dan Bujang sebenarnya tinggal se-atab tetapi tidak serumah. Rumah panggung yang dia dirikan di atas bibir pantai dan dekat hutan bakau, pada awal dibangun, dikerjakan oleh Awang dan Ujang. Oleh karena Awang sudah menikah, sementara Ujang belum maka guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan dan pandangan negative masyarakat disekitar tempat mereka tinggal, maka rumah panggung yang mereka bangun bersama, diberilah jarak selebar lebih kurang 1 meter. Sementara lantai panggung, pelantar rumah, dan atab rumah, mereka jadikan satu. Lorong selebar 1 meter itulah yang membedakan bangunan rumah si Awang dan si Ujang.
Dari sisi usia, antara Awang dan Ujang cukup jauh berbeda, di mana diantara keduanya ber-selisih hamper 7 tahun. Saat ini Awang berusia 30 tahun, sementara Ujang baru berusia 23 tahun. Dan bininya Timah berusia 27 tahun.
Selama ini baik Awang maupun Timah sudah mengganggap Ujang sebagai adik angkat mereka. Apalagi Ujang bukanlah anak asli kampong mereka alias anak rantau. Ujang telah lebih kurang 10 tahun hidup dan tinggal di kampong mereka. Sejak pertama kali dia masuk dan tinggal di kampong nelayan tersebut, Ujang sudah berteman dengan si Awang, bahkan sebelum Awang menikahi si Timah.
Hubungan persahabatan antara Awang dan Ujang sangat baik, selama ini antara mereka boleh dikata tidak pernah bertengkar, bahkan sebaliknya Ujang sangat menaruh hormat pada Awang yang dianggapnya sebagai abang angkat.
Kain Kemban Melorot.
Awang dan Timah baru menikah lebih kurang 2 tahun lamanya, dan sampai hari ini mereka belum juga dikaruniai seorang anak-pun jua.
Oleh karena antara Awang dan Ujang sudah berteman akrab dengan suaminya cukup lama, bahkan sejak sebelum mereka menikah, maka selama ini Timah tidak pernah berpikiran macam-macam tentang si Ujang. Walaupun, terkadang sekali-kali Timah pernah juga beberapa kali memergoki sudut mata Ujang mencuri pandang dirinya. Namun bagi Timah hal itu dianggapnya biasa dan sebuah kewajaran. “Ujang juga kan manusia, yang punya nafsu dan selera………yaaaaaoooooouuuuuu**@@**””???!!….
Suatu ketika pada suatu hari, mata Ujang betol-betol melotot seperti ikan belontok naik ke darat, setelah mendapat peluang tak terduga, tersebab kain kembanan Timah tiba-tiba terlepas, dan kebetulan saat itu si Ujang berada dihadapan dirinya. Hal itu sama sekali tidak disengaja oleh si Timah, kebetulan saja dia sedang mencuci pakaian di bilik mandi belakang rumah panggungnya. Ketika sedang asik dia mengucek-ngucek dan memberos pakaian dalam si Awang, dari arah pintu depan rumah terdengar suara ketokan, sambil memanggil-manggil namanya. Tanpa terlebih dahulu mengetatkan dan membetulkan kembali selipan kain kembannya. Diapun bergegas membuka pintu rumah, ternyata yang mengetuk daun pintu rumah itu adalah Ujang.
Seperti biasanya setiap pulang melaut, Ujang terlebih dahulu akan mampir ke rumahnya untuk memberikan ikan hasil tangkapan mereka buat dijadikan lauk pauk mereka sehari-hari. Sementara laki-nya si Awang, masih tinggal di pasar menjual hasil tangkapan ikan mereka kepada Toke Atai, yang sudah bertahun-tahun lamanya menampung ikan hasil tangkapan Awang. Kemudian seperti biasanya pula, sebelum pulang, Awang selalu berbelanja segala keperluan rumah tangga mereka, mulai dari beras, minyak tanah, minyak makan, gula, telur, indomie, garam, bawang, cabe, dan sebagainya, sesuai dengan kebutuhan hidup mereka.
Oleh karena Timah tadi terburu-buru ditambah lagi kain kembanannya bagian bawah basah kuyub karena terendam air sehingga menjadi lebih agak berat, dan disaat dia buru-buru membuka pintu depan rumahnya, dengan seketika pula dan tanpa diduga dan tanpa sama sekali disengaja olehnya, tiba-tiba kain kemban yang menutupi tubuh polosnya yang putih mulus melepak itu, seketika melorot ke bawah, celakanya saat itu dihadapannya sudah berdiri si Ujang, dan dengan reflex pula Timahpun menjerit tertahan karena terkejut dan merasa malu. Sementara Ujang, sesuai dengan kodratnya sebagai seorang laki-laki normal dan masih muda belia, dengan seketika pula ternganga dan melotot tajam memandang keindahan tubuh polos si Timah. Untung saja pada saat itu Timah masih mengenakan celana dalamnya yang berwarna biru muda, kalau tidak mahkota terindah miliknya terlihat pula oleh si Bujang ting-ting, bukan Ayu Ting-Ting yaaaaaa.
Singkat cerita, sejak terjadinya peristiwa yang tidak disangka-sangka itu, baik si Ujang maupun Timah sepertinya merasa serba salah dan berusaha untuk saling menjaga jarak. Hubungan mereka tidak lagi seakrab dan sehangat seperti hari-hari biasa sebelum terjadinya peristiwa tersebut.
Biasanya Ujang maupun Timah, baik ada ataupun tidak ada Awang, mereka selalu bercanda dan bersenda gurau, bahkan terkadang Ujang selalu diolok-oloki oleh Timah, misalnya seperti bertanya “Kapan lagi engkau mau menikah Jang. Nanti keburu tua, jadi betul-betul Bujang telajak”, gurau Timah kepada si Ujang.
Kalau sudah ditanyai tentang nikah, maka dengan seketika pula, Ujang teringat pula sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Datok S.M. Salim, penyanyi kesohor dari negeri Seberang, judul “APE NAK JADI”.
Ape nak jadi…..ape nak jadi. Sudahlah tue tak kawin lagi. Ape nak jadiiiii…..
Bahkan Timah juga terkadang berbicara suka ceplos ceplos dengan si Ujang, misalnya, “Jang…. kalau dah kawin, makan, tidur, mencuci pakaian, dan sebagainya sudah enak. Apalagi kalau malam ada yang menemani, ditambah lagi hujan…..uuuuaaahhhhh…..suasananya semakin mantaaabbb….dan romantiiiisss. Makanya, rugilah, kalau engkau tak kawin-kawin”, tutur Timah dengan semangat, seraya memanasi si Ujang. Lalu melanjutkan khotbahnya pada si Ujang, “Dara, Joyah, Minah, Ayu, Santi, Monika, Maryam, Aling, Chensia, tinggal engkau pilih saja. Aku lihat, mereka semua ada menaruh minat sama engkau”, sambil meyakinkan dirinya.
Mendengar olok-olokan dari si Timah, biasanya Ujang akan membalas olokan tersebut sambil bergurau, “Kalau begitu, kak Timah dan bang Awang enaklah….. ya. Tapi kok belum dapat anak juga. Mungkin, kak Timah selalu menolak memberi jatah kepada bang Awang ya. Kalau saya lihat, bang Awang itu, orangnya kuat…..pasti kak Timah tak sanggup berlaga tandeng dengan bang Awang…..hahahahahahahahahaha”, sindir Ujang sambil tertawa terkekeh…kekeh…..
Mendapat jawaban dan serangan balik dari si Ujang, Timah bukannya menyerah, bahkan dia langsung membalas olokan si Ujang, “Engkau salah Jang. Bukan aku yang tak sanggub, tapi bang Awang. Lihat dari muka, memang bang Awang seram dan kuat, tetapi kalau ditempat tidur, dia selalu kalah Jang, baru beradu saja, sudah terkapar, bagaimana mau jadi”, ceplos si Timah tanpa basa basi, sambil tersenyum terkadang disertai jelingan mata manja dan menggoda si Ujang.
Namun biasanya kalau sudah kecoplosan seperti itu, dengan seketika pula si Timah memperbaiki gurauannya kepada si Ujang, “Jang,…..jangan engkau tanggapi betul omongan kakak ya, kakak hanya bergurau saja. Memang kakak yang belum mau punya anak, sebab kalau sudah ada anak, kakak tak bebas lagi, mungkin tahun depanlah kakak buat program dapat anak dengan bang Awang”.
Begitulah biasanya mereka selalu berbicara dan saling bergurau senda, sebagaimana layaknya kakak dan adik, meskipun hanya adik beradik angkat.
Berbeda dengan si Awang, karakter Awang pendiam dan tidak banyak bicara. Bahkan kalau mereka sedang duduk bertiga baik di luar maupun di dalam rumah, yang banyak omong hanyalah Timah dan Ujang. Awang hanya bicara jika diajak saja. Itupun yang keluar dari mulutnya hanya satu atau dua patah kata, tidak lebih. Terkadang hidup berdua dengan si Awang memang membosankan. Atau karena dia dari kecil sudah jadi nelayan pemancing ikan.
Ingat kata tok Mat, setiap pemancing pasti tidak banyak bicara, mereka selalu melamun, konsentrasi, sambil menunggu ikan menyentuh dan memakan umpan pancingnya. Kebiasaan selalu memancing ikan pula yang mungkin mempengaruhi watak si Awang……”Buaye atau kataklaaaahhhh…..betol atau tidak…..kitepun tak tauuuuuu?????
Pada saat, Awang sudah berada dalam motor pompongnya, sekali lagi dia ingatkan kembali pada bininya si Timah, “Mah, jangan lupa tengok si Ujang, bawakan dia nasi dan obat, kasihan dia”, pekik Awang seraya mengingatkan bininya kembali agar tidak lupa melihat si Ujang yang sedang terbaring lemah karena terserang demam panas tinggi.
Pergolakan Batin
Karena mendapat perintah dari suaminya, si Timahpun tak berani membantah, dan dengan berat hati pula, diapun mengantar sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya serta membawa obat demam panas buat si Ujang.
Ketika dia masuk ke rumah si Ujang, kebetulan lampu strongkeng rumah-nya bersinar redup, mungkin karena belum dipompa dengan kencang. Karena mengerti dengan kondisi si Ujang yang lagi sakit, tanpa diminta oleh si Ujang, Timah-pun menurunkan lampu strongkeng yang redup itu, lalu memompa lampu itu agar lebih terang, celakanya setelah lampu tersebut memberikan cahaya yang terang benderang, terlihatlah olehnya dengan jelas Ujang sedang terbaring tanpa mengenakan baju dan hanya diselubungi sehelai kain sarung Kalimantan miliknya. Yang mana kain sarung itu tersingkap pula sampai ke batas atas persimpangan pahanya.
Melihat batang kaki dan paha Ujang yang berisi padat, berwarna kuning langsat muda, dan berbulu lebat, dengan seketika mendesir pula darah kewanitaan si Timah. Maklumlah, selama menikah dan selama dia beranjak dewasa, Timah tidak pernah melihat bentuk tubuh lelaki dewasa, yang dipandangnya setiap hari hanya-lah milik si Awang laki terkasihnya.
Hal itu sebenarnya tidak disadari dan diminta olehnya. Namun desiran itu datang seketika dan tiba-tiba. Bahkan sejenak tubuh dan bibirnya sedikit bergetar menyaksikan pemandangan itu. Dan anehnya, untuk beberapa saat matanya yang indah berpupil bulat berwarna coklat tua sedikitpun tidak berkedip menyaksikan sekujur tubuh bidang Ujang yang bertelanjang dada. Entah darimana pula pikiran negatifnya pula timbul sekonyong-koyong, mencoba membandingkan bentuk tubuh Ujang dan lakinya si Awang. Secara fisik baik bentuk tubuh, warna kulit dan ketampanan, antara Ujang dan Awang memang jauh berbeda. Awang sebagai anak asli kampong nelayan memiliki warna kulit gelap, berambut ikal, dan tidak berbulu lebat.
Diakui oleh batin-nya, selama ini Timah memang tidak pernah memperhatikan detail bentuk fisik dan raut wajah si Ujang. Sebenarnya Ujang memiliki bentuk tubuh yang atletis dan raut wajah tergolong tampan. Berdasarkan pengakuan si Ujang, sebenarnya dia berasal dari daerah Sengkawang Kalimantan, beribukan orang Melayu campur Arab, dan bapak keturunan negeri Cina. Makanya bentuk tubuh dan wajah si Ujang mempunyai karakter tersendiri berbeda dengan penduduk kampong nelayan tersebut.
Hanya selama ini, karena bekerja sebagai seorang nelayan, penampilannya tidak pernah diurus, bahkan mungkin sama sekali tak sempat diurusnya. Walau demikian, masih saja banyak anak dara di kampong itu, bahkan beberapa orang janda kembang, menaruh minat kepadanya, seperti yang pernah diucapkan oleh Timah, kakak angkatnya.
Sesaat si Timah masih terkesimak memandang sekujur tubuh Ujang, mulai dari raut wajahnya, dadanya yang berbulu lebat, kaki dan paha-nya. Dan ketika itu pula Ujang berbalik seraya mengangkat kakinya untuk berbalik arah tidurnya, dan tanpa disengaja pula si Timah sepintas sempat melihat parang panjang khas Kalimantan “MANDAU” milik si Ujang yang sedang berdiri tegak menantang langit-langit rumah-nya.
Semakin tersekat dan tertahanlah urat nafas si Timah, yang diiringi naik turun nafas dan detak jantungnya yang semakin kencang.
Untuk beberapa saat tubuhnya terasa ingin melayang dan limbung jatuh kelantai……namun dengan seketika itu pula dia tersadar lalu cepat bangkit berdiri, dengan sigap meletakkan kembali lampu strongkeng ketempatnya semula.
Kemudian dengan cepat pula dia segera mendekati si Ujang, dan tanpa memandang ke arah Ujang, dia mencoba membangunkan sambil menggoncang-goncangkan tubuh Ujang, dengan berkata, “Jang…..Jang …… Jang….. bangun…..bangun…., makan dulu, dan makan obat ini”.
Beberapa saat kemudian, Ujangpun mengerang sambil menggeliat lalu berkata, “Eeeehhhhh……ooooohhhhh……kak Tiimmaaahhh…..ya…..kak…..baik….., Jang bangun, tapi tolong kakak suapkan Ujang makan dan minum obat ya, badan ujang masih lemah dan lemas sekali”, ujar Ujang dengan suara pelan sambil sedikit mengerang menahan sakit kepala yang teramat sangat.
Sebenarnya Timah mau menolak permintaan adik angkatnya itu, tetapi karena merasa kasihan dengannya, dan selama ini Ujangpun sebenarnya tidak pernah bersalah kepadanya maupun kepada lakinya, bahkan sebaliknya ia telah pula banyak membantu keluarganya.
Dan dengan berat hati, dia sanggup-kan juga permintaan si Ujang seraya berkata, “Baiklah Jang, cepatlah bangun dan duduk, biar kakak suapkan engkau makan”.
Dengan berat dan sedikit memaksakan diri, si Ujang berusaha untuk bangun dari baringnya dan duduk ditepi dipan, tetapi seketika itu pula tubuhnya roboh.
Melihat si Ujang sulit untuk bangun dan duduk, maka si Timahpun berkata, “Jang, …., sudahlah, Ujang berbaring saja, dan biar kakak suapkan pelan-pelan”, ujar si Timah.
Dengan penuh perhatian sebagaimana kakak dan adik, Timahpun menyuapkan Ujang makan, sambil sekali-kali memberikan minum air puteh, agar makanan yang dikunyahnya cepat larut.
Selesai menyuapkan Ujang makan, Timahpun segera memberikan Ujang 2 butir obat penurun panas dan obat pengurang sakit kepala.
Memang saat itu, tubuh Ujang masih terasa panas, lalu setelah Ujang diberikannya obat, Timahpun ke dapur mengambil Waskom berisi air dingin dan sehelai handuk kecil. Handuk itu dibasihi olehnya kemudian ditaruhnya di atas dahi kepala si Ujang.
Setelah itu, Timahpun berpamitan kepada Ujang, “Jang, kakak tinggal dulu ya. Ujang istirahat saja dulu.Kalau handuk ini sudah terasa kering, rendam lagi dengan air yang di dalam baskom ini”.
Tanpa terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari si Ujang, Timahpun bergegas kembali ke rumahnya.
Baru saja, dia menutup daun pintu rumahnya, tiba-tiba dari atas langit terdengar suara guruh menggelagar dan diringi kilauan kilat dan suara petir memecah cakrawala dimalam yang gulita itu.
Seorang diri, diapun berkata, “Walaaahhh…..bagaimana ya, mau hujan lebat nampaknya”.
Lalu, diapun secepatnya menutup dan langsung mengunci daun pintu rumahnya tersebut.
Dalam kesendiriannya di atas pembaringan, seketika Timah teringat lakinya Awang yang sedang melaut. Ada juga terbersit rasa khawatir dalam dirinya. Timah takut, kalau lakinya sedang berada ditengah laut dalam kondisi cuaca hujan lebat seperti ini. Dia sangat berharap dan berdoa, semoga lakinya dapat mencari tempat berlindung yang aman.
Awang memang benar-benar nelayan yang memiliki bekal pengalaman yang cukup, Dia sudah menduga akan turun hujan lebat malam ini. Untuk itu, sebelum hujan turun dia segera mencari tempat berteduh yang cukup aman tak jauh dari tempatnya memancing. Kebetulan di sana terhadapat sebuah kelong ikan bilis yang cukup besar. Makanya sebelum hujan turun, dia sudah melajukan pompongnya ke arah kelong tersebut. Belum sempat dia merapat dan menambatkan tali pompongnya, tiba-tiba hujanpun turun dengan sangat lebat diiringi suara gelegar dan kilauan kilat dan petir. Buru-buru Awang dan Atan menambat motor pompongnya lalu bergegas memanjat tangga kayu menuju pelantar kelong belis tersebut. Ternyata di atas kelong tersebut, dia bertemu dengan 2 orang penjaga kelong, dan mohon izin untuk berteduh. Penjaga kelong tersebut tidak keberatan, dan mengizinkan Awang untuk berteduh di sana.
Bacin
Sementara Timah, di atas pembaringannya, terus saja gelisah. Saat ini, dia tidak lagi memikirkan lakinya si Awang, tetapi pikirannya telah pula terbang pada si Ujang adik angkatnya. Tiba-tiba dia merasa kasihan dengan si Ujang yang sedang menderita demam panas. Ada juga terbersit keinginannya untuk menjenguk kembali si Ujang disebelah rumahnya. Namun buru-buru niat itu dikubur olehnya, selain merasa tidak enak, dan suasana diluar yang masih hujan lebat diiringi kilat, guntur, guruh, dan petir yang terus menerus menggelegar membuatnya semakin takut untuk ke luar rumah.
Suasana malam yang disertai hujan lebat dan semilir angin bertiup kencang, menambah kesendiriannya semakin menjerat dan membelenggu dirinya. Apalagi saat ini, pikirannya kembali melayang pada sekujur tubuh Ujang yang sedang bertelanjang dada dan dengan kain sarung tersingkap sampai pada batas pangkal pahanya yang padat berotot dengan senjata khas Mandau Kalimantan-nya yang sedang berdiri tegak mengarah ke atas. Bayangan sosok Ujang terus menerus mempermainkan pikirannya. Apalagi sudah hamper 2 minggu lamanya dia tidak sempat disentuh oleh si Awang. Sementara naluri kewanitaannya menuntut terus menerus untuk mendapatkan belaian dan kasih sayang dari Awang semakin memuncak.
Kualitas nafsu birahinya yang semakin menggeliat dan menggelora seperti gelombang laut China Selatan yang sedang mengamuk dan menggelora menunjukkan keangkuhannya.
Sebagai seorang bini yang setia dan amanah, dia telah berusaha sekuat tenaga untuk mengingat-ingat hubungan kasih asmara dan percintaan dengan suami tercintanya. Namun semakin dia berusaha melambungkan fantasinya dengan si Awang, semakin melonjak pula volume energy panas dirinya. Sementara mahkota Hawa miliknya, terus mengerenyam meminta untuk dikasihani dan diperlakukan secara nyata, tidak hanya setakat ilusi yang semakin menyiksa jiwanya.
Situasi yang demikian semakin membuatnya serba salah, dan tidak tau mau berbuat apa. Sementara suara hujan diluar semakin garang menimpa atap rumahnya. Tiupan angin laut terus bertiup kencang sampai merambah masuk disela-sela lubang angin rumahnya yang terbuat dari dinding-dinding papan, sehingga suasana di dalam kamarnya semakin dingin.
Dalam suasana pergulatan jiwa yang kian gelisah, tanpa disadari olehnya, dia mencoba untuk menuntaskan hasratnya sendiri tanpa dibantu oleh sang suami. Namun usahanya itu sia-sia dan gagal. Sebaliknya jiwa dan urat-urat kewanitaannya terus menerus menekan dirinya dan memberontak untuk diperlakukan secara alamiah sebagaimana lazimnya.
Apakah karena factor kebingungan yang teramat sangat menghadapi dorongan yang semakin kuat mendesak dirinya, atau bermaksud ingin melepaskan diri dari tekanan jiwa yang teramat menyiksa itu, dan atau karena sebab-sebab lainnya, entah mengapa, dia bangkit dari pembaringan dan kegelisahannya, lalu membuka jendela kamar tidurnya.
Sebenarnya dia juga tidak mengerti, untuk apa dia membuka jendela kamar tidur-nya, sementara dia mengetahui malam itu hujan masih mengguyur lebat disertai dengan angin berhembus kencang. Sesaat setelah jendela kamar itu dibuka, seketika siksaan batinnya turut melayang di bawa hembusan angin dan arus hujan yang turun deras.
Ploooooonnnnnnggggggg rasa jiwa-nya, beberapa detik segala tekanan itu lenyap dalam dirinya yang dilanda kegalauan.
Namun sebaliknya, berawal dari membuka jendela ini pula, timbul persoalan baru yang akhirnya membawa dirinya hanyut dihempas garangnya ombak sampai ke tengah lautan tak bertepi, hinggakan ia terkapar lemas tak berdaya.
Timah sangat terkejut, setelah mengetahui rumah si Ujang dalam keadaan gelap dan hanya terdapat setitik berkas cahaya bersumber dari sebuah lampu petromak yang tidak lagi bersinar terang.
Mengingat si Ujang masih dalam keadaan sakit dan belum bisa bangun, dengan reflex diapun langsung bergegas ingin membantu si Ujang.
Hal itu sebenarnya hal yang wajar dan mungkin berlaku untuk semua orang, apalagi hubungan antara dia dan Ujang sudah seperti saudara sekandung. Oleh karenanya wajar pula jika, Timah merasa iba dan kasihan dengan kondisi Ujang saat itu.
Pintu rumah Ujang memang tidak terkunci dan hanya ditutup rapat. Dengan mudah pula Timah membuka pintu, lalu masuk ke dalam rumah-nya. Kembali Timah ingin memperbaiki lampu petromak yang tidak lagi bersinar terang.
“Walaaahhhh, pantasan lampu ini semakin redup, rupanya sudah kehabisan minyak”, ujar Timah seorang diri.
Sesaat Timah dibuat bingung, sebab cadangan minyak tanah yang dimilikinya juga sudah tipis, kemudian kaos sebagai sumbu petromak harus diganti karena telah hangus dan bolong.
Singkat cerita, lampu petromak itu, malam ini tidak bisa digunakan terlebih dulu. Sebagai pengganti-nya dia harus menyalakan lampu cangkok, agar rumah itu tidak gelap gulita. Kasihan si Ujang, jika tidur dalam keadaan gelap gulita, apalagi sedang sakit, “pikirnya”.
Dengan hanya mengharapkan cahaya terang dari kilatan petir di atas cakrawala, lalu Timahpun mendekati tempat pembaringan si Ujang. Tidak sulit bagi Timah menemukan tempat pembaringan itu, karena rumah Ujang tidak memiliki kamar dan hanya berukuran 4 x 5 m saja. Maklumlah rumah anak bujang.
Sesampainya ditempat pembaringan Ujang, Timahpun berusaha membangunkan si Ujang dengan menepuk-nepuk tubuh si Ujang seraya berkata, “Jang…..Jang….Jang…..bangun. Kakak mau nanya, Ujang taruh lampu cangkok di mana?”, kejut dan tanya Timah kepada Ujang.
Mendapat kejutan dan suara yang datang tiba-tiba dan dalam keadaan gelap gulita, Ujang yang saat itu masih tertidur nyenyak, dengan reflex dan sangat cepat menangkap tangan si Timah. Gerakan si Ujang teramat sangat cepat buat si Timah, sehingga Timah tanpa sempat berpikir terjatuh ke dalam pelukan si Ujang.
Beberapa saat dekapan Ujang begitu kuat, membuat Timah sulit untuk bergerak, bernafas, dan bersuara. Dia hanya bisa merintih karena terkejut, dan dengan lirih berkata, “Aduuuhhhh Jang, lepaskan kakak, ini kak Timah….”.
Mengetahui dan mendengar yang didekapnya ternyata si Timah, dan dengan seketika itu pula Ujang melepaskan dekapannya, sambil berujar, “Maaafff kak, maafkan Ujang kak, Ujang tak sengaja, kira Ujang siapa yang menyentuh dan masuk rumah Ujang”.
Berbeda dengan si Ujang yang terkesan penuh dengan penyesalan sambil memohon maaf kepada si Timah, sebaliknya dalam suasana yang gelap gulita, disertai dengan semakin derasnya hujan diiringi pula dengan kerasnya suara Guntur menggelegar, dan kilauan kilat diiringi dentuman petir yang sangat menakutkan, menuntun Timah untuk segera mencari tempat berlindung dan berteduh.
Dan seiring dentuman petir dan gelegar guruh yang kesekian kalinya, Dengan reflex pula Timahpun langsung mendekap si Ujang yang berada disisinya, lalu dengan suara mengeletar setengah berbisik, berkata, “Jang…..jang….kakak….takut. Tolong kakak yaaaa…..”.
Haaaahhhhhh…… Ini yang disebut pepatah “Mana ada kucing menolak ikan”, atau “Mana ada buaya menolak bangkai”, atau “Mata ngantuk disorong bantal”, tanpa panjang lebar lagi jadilah barang tuuuuhhhhh. Aaaiiiiiiyyyoooooiiiiiiiii……matilah guaaaaa……”kata apek kong-kong”…..
Akhirulkalam…..akhirnya ke-2 orang anak cucu Adam dan Hawa yang berlainan jenis dan tidak diijab kabulkan itu diserang oleh pasukan syaitan yang terkutuk. Dengan berbagai macam cara dan metode, para syaitan itu mempengaruhi akal waras mereka, sehingga mereka terjatuh dalam jurang kenistaan yang teramat dalam.
Mereka tidak lagi peduli bahwa apa yang mereka perbuat adalah suatu dosa besar. Mereka juga tidak peduli apa yang mereka lakukan telah melanggar norma-norma agama, hukum, adat, kebiasaan, dan kesusilaan.
Mereka juga tidak lagi memperdulikan Awang yang saat ini sedang merenungi nasib malangnya sebagai seorang nelayan tradisional yang sedang menanti teduhnya hujan di atas sebuah kelong bilis di tengah laut.
Seiiring dengan derasnya hujan, Guntur dan guruh yang terus menggelegar, kilauan kilat dan dentuman petir saling sahut-sahutan, ke dua insane yang sedang dilanda mabuk asmara itu saling mendekap, menyerang, berpautan beradu tanding seperti layaknya singa jalang melampiaskan hasrat yang selama ini terkekang.
Teramat sangat jauh perbedaan dengan si Awang, dihadapan Ujang, Timah dibuat sama sekali tidak berdaya dan tidak berkutik, entah beberapa kali dia menjerit, mengerang, mengejang-ngejang menahan lajunya derasan air alaminya yang selama 2 minggu tak tersalurkan.
2 jam lamanya mereka bertarung, dan akhirnya berakhir seiring dengan rintikan hujan yang mereda.
Aroma kasih sayang yang terlarang tersebut terus berjalan seiring dengan bau busuk – nya kehidupan mereka yang sudah sekian tahun lamanya mereka jaga dengan baik.
Kijang Lama-Tanjungpinang, 14 Februari 2012