; charset=UTF-8" /> Aparatur Sipil Negara (ASN) Harus Netral - | ';

| | 59 kali dibaca

Aparatur Sipil Negara (ASN) Harus Netral

Oleh : Dhimas Prayogo Pangestu.

Sebagai warga negara, ASN (aparatur sipil negara) atau PNS (Pegawai Negeri Sipil) juga memiliki hak dalam politik. Tetapi, ASN hanya mempunyai hak pilih. Seorang ASN dapat mempunyai akses atas hak dipilih apabila ia sudah mengajukan surat pengunduran diri atau pensiun dini dari status sebagai ASN.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN “diperitahkan” untuk netral dalam politik kampanye, bukan dalam pilihan. ASN dianggap memiliki modal simbolik dan kekuatan “birokratik-sistemik” yang sewaktu-waktu bisa saja digunakan dalam politik Pilkada. Oleh karena itu, berbagai undang-undang, peraturan-peraturan, keputusan dan surat surat edaran dibuat untuk “mengkarantina” aktivitas politis ASN.

Semua yang dilakukan itu berdampak baik, demi penjaga penyelenggaraan politik Pilkada yang berkeadilan.konsep netralitas ASN dimaksudkan untuk tetap selalu menjaga performa kinerja, profesionalitas dan efektivitas kerja pelayanan publik. Dengan begitu, masyarakat akan tetap mendapatkan pelayanan yang baik, tanpa ada diskriminasi atas pilihan politik masyarakat tersebut.

Netralitas ini mesti dimengerti sebagai netralitas pelayanan publik. Dalam proses pelayanan publik di pemerintahan, masyarakat tidak akan diperlakukan secara diskriminatif atas pilihan-pilihan politiknya selama dalam tahapan kampanye yang sedang berlangsung. Atau, dalam proses pelayanan publik berlangsung.

Sejauh ini, fungsi netralitas pelayanan publik selalu terjaga baik.Masyarakat sangat jarang mendapatkan dan melaporkan kasus perlakukan diskriminatif dalam proses pelayanan publik. Justru di musim politik Pilkada, terkesan proses pelayanan publik semakin lebih baik, efisien dan efektif.

Cukup berbeda dengan kualitas pelayanan publik, netralitas ASN justru tidak terjadi didalam aspek relasi birokrasi-struktural dalam suatu organasasi perangkat daerah. Gesekan “sistemik” dan perlakukan tidak adil terjadi karena adanya perbedaan pilihan politik. Perbedaan pilihan politik mengakibatkan “block within” didalam suatu instansi. Atas perbedaan itulah, atasan selalu menggunakan otoritas untuk mendiskualifikasi atau mendiskriminasi ASN didalam kebijakan, jabatan dan tugas.

Penggunaan otoritas yang diskriminatif dan cenderung koruptif itu tidak lain disebabkan oleh ikatan psikologis (fanatisme politik) dengan kaeadaan paket politik tertentu. Akibatnya, sang pemangku otoritas akan kehilangan inteligensia dan kemampuan dalam mengambil kebijakan (decisiveness). Bahkan karena saking fanatiknya, seorang ASN yang berbeda dangan atasan (pemangku otoritas) akan diekskusi dari tugas atau suatu jabatan struktural atau fungsional birokrasi.

Dalam menentukan pilihannya dan sudah seharusnya berjalan sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat 1 bahwa “Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Contohnya ;
Dalam sebuah kasus Pilkada dengan figur bupati sebagai petahanan (incumbent), “soliditas” birokrasi ASN tampak sangat kuat, dan kualitas pelayanan publik pun sangat baik. Dalam diskusi-diskusi kecil-nya, mayoritas ASN sudah mempunyai pilihan. Semacam ada “kepatuhan” diam-diam, tanpa harus adanya ekspresi yang berlebihan dalam bersikap dan pelayanan publik. Tak ada soal dengan itu, sebab ASN memiliki hak untuk memilih.
Berbeda masalahnya jika kasus Pilkada yang bupati dan wakil bupati sudah dua kali periode. Apabila wakil bupati yang maju lagi sebagai calon bupati tidak mendapat “dukungan” etis dan politis dari bupati, “soliditas” birokrasi pemerintah tampak terbelah (block within). ASN yang menikmati jabatan melalui SK pengangkatan Bupati akan patuh pada “arah politik” bupati. Kadis (kepala dinas) dan kabid(kepala bidang) pun mengikuti “titah” politik bupati.
Dalam Pilkada, jika bupati dan wakil bupatinya masing-masing mencalonkan diri sebagai kepala daerah, keterbelahan birokrasi ASN akan sangat terasa. Akan ada 2 (dua) loyalitas, meskipun porsi loyalitas terhadap bupati akan lebih besar. Tetapi, dalam keterbelahan loyalitas tersebut tak ada “kamikaze politik”. ASN akan tetap mempertahankan kualitas akan pelayanan publik demi menguatkan citra pemerintahan yang baik. Masing-masing kubu akan mempertahankan kualitas pelayanan publik demi menggaet dan mengambil hati dan simpati publik.

Terlepas dari urusan kualitas pelayanan publik, dengan kuatnya status simbolik ASN, pemerintah merasa harus untuk mengatur sikap dan tindakan ASN ekstra kantor. Surat Edaran Komisi ASN dan Menteri PAN RB dilayangkan untuk menguatkan penjagaan atas aturan netralitas ASN. Aturan panoptik pun dibuat untuk mengatur aktivitas aktivitas ekstra ASN yang mengarah kepada politik praktis.

Atas nama netralitas, negara tenggelam didalam paranoid politik itu sendiri. Netralitas bukan lagi demi untuk memastikan pelayanan publik, tetapi jauh terjebak ada aktivitas mengontrol tubuh dan pikiran ASN. ASN diatur untuk tidak memberikan komentar, like, posting, dll di media sosialnya. Tidak hanya tubuh, pikiran politik ASN pun diatur demi mengabdi pada kata “netralitas” di Pilkada. Padahal, jika Pilpres mulai digelar, pemerintah membuat kebijakan pembukaan CPNS atau menaikan gaji para ASN yang tak peduli risiko inflasi ekonomi.

Tetapi kembali lagi itulah politik. Aturan dibuat untuk politik. Politik merancang aturan demi perpolitikan. Di balik semua aturan problematis dan dilematis di atas, rakyat tetap punya hak dan daulat untuk memilih pemimpin yang terbaik. Dasarnya, rakyat punya rasa, pikiran dan kehendak untuk menilai, menimbang dan memilih pemimpin yang terbaik dari yang hanya sekadar baik. Demikianlah dengan para ASN, mereka lebih dekat dengan kekuasaan. karena itu; mereka tahu pemimpin seperti apa yang pantas jadi atasan.

Akhirnya, kualitas pemimpin yang superlatif akan melahirkan kebijakan yang maksimal pro rakyat!.

 

Penulis adalah mahasiswa STIE Pembangunan Tanjungpinang jurusan manajemen semester V.

Ditulis Oleh Pada Sen 28 Okt 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek