Surat “Cinta” Pinem Untuk MA Pada Perkara Pidana CV TKA
Tanjungpinang, Radar Kepri– Empat tahun sudah perjalanan perkara pidana yang melibatkan 3 pengurus inti CV TKA versus Suban Hartono cs, namun perkara ini belum menemukan penyelesaian yang adil dan berdasarkan fakta kebenaran. Detik-detik mencapai final, perkara ini seakan kian terjebak dalam lingkaran keraguan akan menemukan yang bernama keadilan dan kebenaran itu. Upaya hukum dengan melaporkan berbagai penyimpangan dalam perkara pidana yang terjadi mulai dari awal pemeriksaan di kepolisian hingga sampai ketahap Pengadilan, seolah-olah buntu. Seakan-akan hukum hanya untuk orang-orang tertentu, bukan untuk pencari keadilan yang dizalimi oleh para oknum aparat penegak hukum.
Kendati begitu, Jendaita Pinem, masih memiliki sebersit harapan masih ada institusi hukum di Indonesia yang bisa berdiri tegak dan mampu memberi keadilan tanpa memandang siapa orang yang akan diadili. Keyakinan itu ia buktikan dengan terus mendesak Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) dengan surat-surat ‘Cintanya’ demi penegakan hukum.
Surat yang dikirim 14 Januari 2013 ini berisi penyimpangan keputusan PN Tanjungpinang dalam perkara Pidana No.82/PIN.B/2010/PN.TPI, tanggal 19 Agustus 2010 dengan majelis hakim yang dipimpin, Sri Andini, dan 2 hakim anggota masing-masing, Rustiono, dan T Marbun. Dan keputusan MA RI No. 112 K/Pid.Sus/2011 tanggal 23 Mei 2011.
“Saya tidak pernah jenuh memberikan laporan sesuai bukti/fakta terhadap pelanggaran yang dibuat oleh hakim. Dengan harapan agar pelanggaran yang dibuat oleh hakim dapat diluruskan sebagaimana mestinya,” katanya.
Dasar dan pelanggaran yang dimaksud, dituangkan pria berdarah Karo ini dalam beberapa point inti yang diharapkan bisa menjadi masukan maupun petunjuk bagi MA dalam memberikan keputusannya. Agar jangan lagi terjadi penyimpangan hukum yang mengorbankan rakyat kecil yang tak berdaya.
Pertama, laporan polisi No. Pol : LP/B.81/K/IV/2009, yang dipesan Suban Hartono pada hari Selasa, tanggal 21 April 2009 dalam rumusan pasal 362 KUHP yang dikembangkan penyidik menjadi pasal 363 KUHP atau pasal 385 KUHP tentang penyerobotan tanah dan pencurian didasarkan hanya pada fotocopy SHGB No. 00871 yang notabene fiktif.
Kedua, dua peta permasalahan tanah hasil dari pengukuran yang direkayasa oleh oknum BPN bernama Arfani SH, dimana kedua peta permasalahan tanah tersebut diukur oleh Arfani SH dengan alat yang sama dilokasi yang sama dan pada titik kooordinat yang sama. Namun menghasilkan 2 gambar peta permasalahan tanah yang berbeda, yang mana seharusnya menghasilkan 2 peta permasalahan tanah yang sama pula. Sehingga dengan demikian hasil pengukuran yang digambarkan oleh Arfani SH menjadi suatu pertanyaan kenapa bisa menghasilkan 2 peta permasalahan tanah yang berbeda ?
“Tentu jawabnya sangat sederhana, karena Arfani telah merekayasa hasil pengukurannya sesuai dengan pesanan dengan cara mengeser posisi kearah selatan lebih kurang 500 meter dan kearah barat lebih kurang 90 meter,” jelas Pinem.
Ketiga, lanjutnya, Arfani SH, tidak punya kompetensi dibidang pertambangan sehingga tidak satupun ketentuan dalam UU yang memberi kewenangan kepadanya untuk menyatakan telah terjadi penambangan tanpa izin diluar Kuasa Pertambangan (KP). Tanpa adanya koordinasi terlebih dahulu dengan pemberi izin atau dengan inspector pertambangan yang telah diberi kewenangan khusus oleh UU sesuai keahliannya.
Keempat, berdasarkan laporan polisi No.Pol : LP/B.81/K/IV/2009, pada tanggal 23 Mei 2009 oknum penyidik menghentikan seluruh aktivitas pertambangan CV Tri Karya Abadi (TKA) secara sewenang-wenang. Dengan melanggar Peraturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan UU No. 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Minenarl dan Batu bara.
Kelima, apabila penyidik tidak dapat membuktikan tuduhannya dalam laporan polisi No.Pol : LP/B.81/K/IV/2009, kemudian penyidik mengubah tuduhannya dengan begitu saja menjadi Illegal Minning. Dengan cara membuat laporan polisi model A No.Pol : LP/34/VII/2009, tanggal 18 Juli 2009 tanpa berkoordinasi terelebih dahulu dengan ahli pertambangan. Seperti inspector Pertambangan yang telah diberi wewenang khusus oleh UU sesuai keahliannya sebagaimana ketentuan yang termaktub dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Keenam, tidak ada tanda-tanda yang bersesuaian dari alat bukti dan keterangan para saksi dan ahli menunjukkan bahwa para terdakwa telah melakukan penambangan tanpa izin (Illegal Minning).
Ketujuh, keterangan ahli hukum pidana, Dr Chairul Huda SH MH, juga tidak ada menunjukkan tanda-tanda bahwa para terdakwa telah melakukan penambangan tanpa izin (Illegal Minning) selain dari menerangkan defenisi penambangan tanpa izin dan hubungannya dengan tindak pidana. Karena ahli hukum pidana, Chairul Huda, mengakui sendiri didepan hakim dalam persidangan dibawah sumpah bahwa dia belum pernah melihat lokasi yang didakwakan kepada para terdakwa. Selain dari mendengar dari penyidik sewaktu diperiksa oleh penyidik di Polresrta Tanjungpinang.
Kedelapan, ahli hukum pertanahan dan pertambangan Prof. DR. Ir Abrar Saleng SH MH, sebelum memberikan kesaksian dan keterangan didepan hakim dibawah sumpah dalam persidangan terlebih dahulu melihat dan meneliti lokasi yang didakwakan kepada para terdakwa. Dan dalam kesaksiannya secara tegas ia menerangkan dan menyatakan bahwa tidak ada bukti dan tanda-tanda yang menunjukkan para terdakwa telah melakukan Illegal Minning.
Kesembilan, dakwaan JPU dalam surat tuntutannya menyatakan para terdakwa telah melakukan penambangan ditiga titik diluar KP berada pada lokasi tanah milik Suban Hartono (PT Kemayan Bintan), sangat tidak relevan dan suatu pembohongan serta pendustaan. Karena pada saat dilakukan pemeriksaan setempat bersama-sama dengan majelis hakim, JPU disaksikan oleh para terdakwa dan kuasa hukumnya, ahli pertanahan dan pertambangan, Prof. DR. Ir Abrar Saleng Sh MH, beserta wartawan berbagai media, diawasi oleh kepolisian Tanjungpinang, dan warga masyarakat. Ternyata didepan mereka semua terbukti ditiga titik yang didakwakan sama sekali tidak ada aktivitas penambangan. Dan ditiga titik tersebut merupakan tanah milik masyarakat yang disewa oleh CV TKA, bukan berada pada tanah milik Suban Hartono/PT Kemayan Bintan.
Sepuluh, putusan hakim dalam perkara pidana No. 82/PID.B/2010/PN.TPI, selain berpihak juga melanggar UU yang sangat beralasan dan patut diduga hakim telah menerima suap dari Suban Hartono. Karena pengembalian barang bukti berupa 55.000 ton bijih bauksit yang bernilai milyaran rupiah hasil rampasan dari penambangan CV TKA dikembalikan kepada pemilik tanah, yaitu Suban Hartono.
Selanjutnya, Hakim tidak pernah menghadirkan saksi yang menjadi korban atau pelapor kedalam persidangan untuk didengar keterangannya guna mengetahui siapa sebenarnya yang melakukan perbuatan pidana, kapan perbuatan itu dilakukan, dimana terjadinya dan apa akibat dari perbuatan itu. Dalam arti, siapa yang menjadi korban atau siapa yang dirugikan karena UU telah menentukan bahwa tuduhan pidana hanya bisa dijatuhkan kepada seseorang dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut hukum. pasal 160 KUHAP, pasal 183 KUHAP, pasal 184 KUHAP dan pasal 188 KUHAP.
Poin keduabelas, hakim memutus perkara dengan memaksakan dua barang bukti yang cacat hukum sebagai penunjuk. Yaitu foto copy SHGB No. 00871 yang notabene fiktif dan peta permasalahna tanah yang terbukti direkayasa oleh oknum BPN bernama Arfani SH. Hakim menolak permohonan para terdakwa dengan kuasa hukumnya agar laporan polisi No. Pol: LP/B.81/K/IV/2009 tanggal 21 April 2009 dan laporan polisi No. Pol : LP/34/VII/2009 tanggal 18 Juli 2009, kiranya dapat diperiksa dan diadili bersama-sama. Karena secara hukum dipandang kedua laporan tersebut terikat menjadi satu kesatuan sebagai dasar penyidik untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti guna menemukan tersangaknya.
Poin selanjutnya, Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara telah melanggar kode etik dan pedoman prilaku hakim sebagaimana yang diatur dalam keputusan bersama ketua MA RI dan Ketua KY RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009. Karena dalam perkara pidana yang menjadi majelis hakim, Sri Andini, Rustiono dan T Marbun. Dan dalam perkara perdata, majelis hakim dipimpin Rustiono, T Marbun dan Bambang Nur Cahyono. Dengan mengunakan bukti yang sama, dengan demikian Rustiono dan T Marbun, dipastikan memiliki konflik kepentingan dan telah melanggar kode etik.
Terdakwa III, harusnya tidak turut bertangungjawab atas dakwaan dan tuntutan JPU karena hakim telah memiliki bukti otentik dan sah tentang status terdakwa III, yang bekerja sebagai kepala teknik tambang CV TKA. Berdasarkan SK Kepala Dinas KPPKE No. 5 tahun 2009 tanggal 30 Maret 2009. Maka berdasarkan SK tersebut tampak jelas bahwa peristiwa yang didakwakan terhadap terdakwa III telah terjadi jauh sebelum terdakwa disahkan sebagai kepala tehknik CV TKA. Dengan demikian terdakwa III dapat dinayatakan menjadi korban kekejaman konspirasi upaya penegakan hukum.
“Dengan begitu, putusan MA RI No. 112 K/Pid.Sus/2011 tanggal 23 Mei 2011 harusnya turut dinyatakan tidak memiliki hukum yang mengikat dan batal demi hukum. karena merupakan copypasst dari putusan perkara pidana No. 82/PID.B/2010/PN.TPI, yang sarat dengan muatan rekayasa dan keterangan palsu.
Harapan, Pinem, suratnya yang memperjelas berbagai penyimpangan penegak hukum dalam perkaranya tersebut bisa mempermudah hakim MA RI untuk memeriksa dan mengadili serta memutuskan PK-nya dikabulkan.( Lanni)