; charset=UTF-8" /> Menunggu Murka Sang Pencipta - | ';

| | 1,536 kali dibaca

Menunggu Murka Sang Pencipta

Dampak tambang bauksit di dompa, foto 8 juni 2013 (18)=

Kehancuran jalan akibat tambang bauksit ilegal di pulau Dompa, foto diambil 8 Juni 2013. (aliasar, radarkepri.com)

Tanjungpinang, Radar Kepri-Setumpuk aturan dan UU tentang pertambang dengan sanksi, mulai dari denda, ganti rugi hingga penjara. Sepertinya hanya “macan kertas” yang garang dan menyeramkan ketika dibaca, namun penerapan dan penegakan terhadap UU yang lebih popular dengan UU Minerba itu terkesan “takluk” ditangan penambang illegal.

Masih segar dalam ingatan warga Kepri, khususnya warga pulau Kemborak Tengah di Kabupaten Bintan. Para penambang illegal dengan leluasa menghancurkan dan mengeruk pulau seluas hanya sekitar 30 Hektar tersebut. Sisa penambangan berupa lautan lumpur dan lubang bekas galian yang menjadi kolam tempat nyamuk bersarang masih terlihat di Pulau Kemborak Tengah tersebut.

Anehnya, sampai hari ini polisi, khususnya Polres Bintan belum juga berhasil membekuk dan menangkap pelaku penambang illegal di kabupaten pimpinan Ansar Ahmad SE tersebut. Padahal, bukti dilapangan ditambah pengakuan para operator dan pekerja lapangan di Pulau Kemborak Tengah itu sudah jelas dan terang benderang menuding dan mengungkap siapa yang menambang di pulau Kemborak tersebut.

Pulau Koyang hancur akibat pertambangan bauksit PT Citra Sahaja Sejati milik Kiki Abdurrahman di Jakarta=

Pulau Koyang di kabupaten Bintan yang hancur akibat pertambangan bauksit ilega diduga dilakukan olehl PT Citra Sahaja Sejati milik Kiki Abdurrahman di Jakarta.

Belum lagi kasus penambangan illegal di pulau Kemborak Tengah terungkap, Minggu (14/07) lalu, tersiar kabar aktifitas tambang illegal di Sei Enam masih di Kabupaten Bintan kembali beraktifitas dengan dalih menghabiskan stokfill yang ada di jeti (pelabuhan). Padahal, biji bauksit yang diangkut ke perairan disekitar pulau Tembeling.

Beberapa waktu lalu, di kabupaten Lingga juga terjadi pengerukan mineral berupa biji besi dengan dalih akan dibangun resort wisata. Untuk pondasi resort wisata itu, pihak pengembang menggali hingga 30 meter kedasar pulau. Sejak awal, pihak penambang memang telah mengincar pulau Baruk di Lingga tersebut yang hanya memiliki luas sekitar 28 Hektar saja. Ijin tambang jelas tidak bisa diterbitkan karena melanggar UU nomor 27 tahun 2007 tentang luas pulau yang diperbolehkan melakukan aktifitas penambangan.

Hampir 3 tahun pasca pengerukan biji besi di pulau Baruk, namun sampai hari ini, belum satu pondok wisata berdiri sebagaimana persetujuan yang di berikan Bupati Lingga, Drs H Daria. Dari sini, jelas terungkap motif penambang illegal di pulau Baruk tersebut yang hanya bertujuan mengeruk jutaan ton biji besi untuk dijual. Disinyalir, dalam kasus penambangan illegal di pulau Baruk ini, Negara dirugikan hampir Rp 1 Triliun mengingat harga biji besi jauh lebih tinggi dibandingkan biji bauksit. Saat itu, harga biji besi dipasaran dunia mencapai 86 Dolar US hingga 100 Dolar US per –ton, sedangkan harga biji bauksit hanya berkisar 25 Dolar Singapura hingga 30 Dolar Singapura saja.

Mungkin merasa tidak mendapatkan sanksi hokum yang tegas, Pemkab Lingga dibawah pimpinan Drs H Daria kembali menerbitkan ijin operasional di pulau Tekoli yang hanya luas sekitar 30 Hektar saja.

Bendera 3 Partai Demokrat di Wacopek=

Aktifitas dumptruk tambang bauksit di Wacopek, Kabupaten Bintan yang bebas melintasi jalan raya..

Penambangan di pulau Tekoli, kecamatan Senayang mulai aktif, padahal pulau tersebut hanya memiliki luas sekitar 70 hektar tersebut tetap di lakukan. Walau sebenarnya banyak masyarakat menantang adanya aktifitas penambangan tersebut, namun aktifitas tambang telah berjalan. Bahkan, jarak pelabuhan tempat penggalian dengan bibir pantai hanya sekitar belasan meter saja.

Pihak PT Tri Dinasti Pratama yang mengantongi ijin menambang selaku penguasaha memiliki alasan untuk tetap melakukan aktifitas penambangan di pulau tersebut. Apalagi pihak perusahaan sudah mengantongi izin operasi produksi oleh Bupati Lingga. Walau sebenarnya aktifitas penambangan di pulau tersebut bertentangan dengan Undang-undang pengelolaan pulau terkecil.

Lihat saja dalam pasal 1 undang-undang nomor 27 tahun 2007, ayat 3 yang menyebutkan, pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sementara pulau tekoli hanya seluas 0,7 Kilometer persegi.

Sehingga, mengacu Undang-Undang tersebut, pulau Tekoli di kecamatan Senayang tidak di benarkan dilakukan aktifitas pertambangan, apalagi pelarangan penambangan di pulau terkecil telah di atur dalam pasal 35 Undang-undang 27 tahun 2007.

Sebagaimana penjelasan pasal 35 hurup (k) Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-PulauKecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil merupakan lex spesialis, yaitu aturan hukum yang spesial dalam menjaga pulau-pulau terkecil, sehingga sudah seharusnya pihak kepolisian melakukan tindakan. Karena hal itu proses penegakan hukum dapat Ddilakukan walau tanpa adanya laporan dari masyarakat. alam pengertian hukum, pelanggaran terhadap penegakan wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil termasuk dalam delik biasa, bukan delik aduan absolut atau tindakan yang dapat dilakukan setelah adanya pelapor, tehadap pelanggaran penggunaan pulau ini.

Anehnya, polisi khususnya Polres Lingga yang berwenang mengusut, menangkap dan memenjarakan pelaku penambangan di Pulau Tekoli karena melanggar UU nomor 27 tahun 2007. Ternyata terkesan “gentar” untuk bertindak tegas dan mengambil langkah pencegahan sebelum pulau Tekoli itu bernasib sama dengan pulau Baruk yang terancam tenggelam.

Tambang (8)=

Aktifitas tambang memuat biji bauksit di jembatan Engku Hamidah, Sei Carang, Tanjungpinang.

Di kota Tanjungpinang, aktifitas tambang bauksit illegal berkedok cut an fill juga semakin marak bahkan nyaris menghancurkan ekosistem laut dan pesisir pantai, tempat para nelayan tradisional selama ini mencari nafkah. Semakin parah, demikian sepenggal kalimat warga Tanjungpinang yang melihat dan menjadi saksi, ketika satu persatu dumptruk berisi biji bauksit dengan leluasa memakai jalan raya melenggang.

Aktifitas tambang bauksit di Tanjungpinang, Bintan dan Lingga bukan hanya merusak lingkungan dan merugikan nelayan tradisional. Aktifitas tambang yang memakai alat berat berupa truk, loader dan eksavator memerlukan bahan bakar minyak berupa solar. Celakanya, hampir semua penambang, baik yang memiliki ijin atau-pun subcon tidak mengantongi Deliver Order (DO) solar non subsidi untuk menambang. Artinya, para pemain tambang ini memakai solar subsidi untuk rakyat miskin dalam mengeruk jutaan ton biji bauksit di Tanjungpinang dan Bintan.

aktifitas tambang di pulau Tekoli yang hanya memiliki luas 70 Hektar saja di Kabupaten Linggga.=

Aktifitas tambang di pulau Tekoli yang hanya memiliki luas 70 Hektar saja di Kabupaten Linggga.

Setumpuk pelanggaran dan tindak pidana terhadap telah dilakukan tambang alias penjual tanah dan air ini, ternyata aturan dan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini tak mampu diterapkan pada para penambang illegal ini. Mungkinkah, perlu hukuman dari sang Pencipta sehingga bencana diturunkan, barulah kesadaran dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah tahu dan menyadari kesalahannya ?.

Sejatinya, peringatan dan signal akan bencana yang akan menimpa telah diberikan Sang Pencipta, mulai dari cuaca panas, sulitnya warga mendapatkan air bersih hingga petir menggelar sejak maraknya penambangan. Padahal, 10 tahun lalu, ketika pulau Bintan ini masih bebas penambangan, tidak pernah penduduknya kekurangan air, cuaca panas terik juga tak sepanas sekarang. Kemudian, sambaran petir, dahulu juga jarang sekali menimbulkan korban jiwa seperti terjadi di Tembeling beberapa waktu lalu.

Mungkinkah pertanda alam itu belum cukup, sehingga azab yang lebih buruk diturunkan sang Pencipta, sehingga para pemegang mandat rakyat dan aparat penegak hukum terbuka mata hatinya. Dan, kompak menutup tambang yang menyengsarakan masyarakat. Entah-lah.(irfan)

Ditulis Oleh Pada Sab 20 Jul 2013. Kategory Tanjungpinang, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek