BERBAIK SANGKA ATAS KEBIJAKAN TERHADAP ASN/NON ASN
Terlepas dari gonjang ganjing di ‘pasar gelap, baik di forum resmi maupun di kedai-kedai kopi, bahwa tahun depan Pemerintah RI secara tegas akan menghapus status tenaga non-ASN (honorer dan sejenisnya).
Ternyata kalau direnungkan secara cermat dan bijak, ada ‘secuil’ niat baik pemarintah dalam kebijakan tersebut.
Meskipun ini merupakan kabar buruk bagi 410.010 orang tenaga honorer (data Kemen. PANRB. RI. 2021), yang selama ini mengabdi pada instansi-instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah- daerah, namun mari dilihat lebih jernih dari perspektif yang berbeda.
Penghapusan itu merupakan amanat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 49/2018 tentang manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam PP tersebut hanya mengenal 2 (dua) jenis kepegawaian di lingkungan instansi pemerintah, yaitu Pegawai Negeri Sipil
(PNS) dan PPPK.
Katanya amanat PP tersebut justru akan memberikan kepastian status kepada pegawai. Pegawai honorer selama ini belum memiliki status pengupahan yang jelas. Ketika statusnya menjadi PNS atau PKKK, mereka akan memiliki standar penghasilan dan kompetensi yang jelas dan pasti.
Begitupun bagi tenaga honorer yang diangkat sebagai tenaga outsourcing pada suatu perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, sistem
pengupahannya tentu tunduk pada aturan pemerintah.
Paling tidak, perusahaan akan diwajibkan mematuhi ketetapan upah minimum regional
(UMR), jam kerja, aturan lembur, cuti dan sebagainya.
Maka, Kemen. PANRB RI menginstruksikan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di lingkungan kementerian/lembaga, instansi pusat maupun daerah melalui surat nomor: B/185/M.SM.02.03/2022, tanggal 31
Mei 2022 untuk segera melakukan penataan sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku.
PPK diminta melakukan pemetaan pegawai non-ASN di lingkungan instansi masing-masing. Bagi yang memenuhi syarat, dapat diikutsertakan atau diberikan kesempatan mengikuti seleksi calon PNS maupun PPPK. Untuk PPK yang tidak mengindahkan amanat tersebut diancam akan diberikan
sanksi, bahkan akan menjadi objek temuan pemeriksaan.
Selain PP 49/2018, Undang-Undang (UU) 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pun, hanya mengenal istilah PNS dan PPPK. Jika PNS dan
PPPK mendapatkan kepastian, lain halnya dengan tenaga non-ASN yang mendapatkan perlakuan berbeda dari sisi penghasilan dan kompetensi.
Terakhir ada wacana lain dari Pemerintah RI melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang tentunya membuat rasa lega tenaga non-ASN. Penghapusan tenaga non-ASN yang semula ditargetkan 28 November 2023, akan ditunda hingga tahun 2026. Meskipun begitu pendataan dan pemetaannya<terus dilakukan agar bisa segera diselesaikan.
Alasan penundaan itu barangkali ada kaitannya dengan kepentingan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2024.
Jangan lupa bahwa national policy ini akan berdampak signi=kan terhadap politik di daerah-daerah. Apalagi mengingat para kepala daerah diusung oleh partai politik. Tentunya mereka memerlukan dukungan, termasuk dukungan suara dalam pemilihan.
Namun menurut Plt. Kepala<BKN<Bima Haria Wibisana, tidaklah demikian. Akan tetapi bila merujuk keadaan sekarang ini, tentunya sangat
susah untuk mengatasi berbagai persoalan sampai bulan November <2023.
Untuk itu, dibutuhkan solusi<agar waktu penyelesaian bisa<diperpanjang hingga tiga (3) atau empat (4) tahun mendatang.
Bahkan Bima Haria Wibisana mengeluarkan usulan untuk melakukan revisi terhadap PP<49/2018. Revisi ini penting karena menurutnya, tidak mungkin jika langkah yang dilakukan adalah menambah PP. Solusi<yang
ditawarkan secara bertahap adalah melakukan penyelesaian dari aspek jumlah dan dari aspek jabatan.
Misalnya, pada tahun 2022 ini pemerintah menaruh perhatian yang besar pada masalah guru<honorer<dan tenaga kesehatan. Di sisi lain, formasi tenaga teknis terbilang sedikit. Untuk mengatasi masalah tersebut, ada dua
hal yang nantinya bisa dipilih, yaitu penyelesaian bertahap pada aspek
jumlahnya atau pada aspek jabatannya.
Sebetulnya permasalahan ini tidak perlu terjadi dan tidak serumit ini.
Pertanyaannya, mengapa penerimaan tenaga non-ASN di lingkungan instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah-daerah masih saja terjadi (tetap ada), meskipun terkadang dengan cara ‘siluman’ (tidak formal/tidak
terbuka). Padahal rambu-rambu peringatannya sudah ada sejak lama, seiring lahirnya UU 5/2014.
Ada beberapa alasan merekrut tenaga non-ASN, baik pegawai/guru tidak tetap maupun tenaga harian lepas. Motif dan latar belakangnya pun
bermacam-macam. Ada karena faktor sanak famili, ada janji Pilkada, balas jasa, ada juga yang memang merupakan kebutuhan instansi, bahkan ada yang direkrut karena desakan tim sukses Pilkada dan lain-lain.
Kalau begini siapa yang patut disalahkan? Terngiang ditelinga kita ketika, Rocky Gerung menanggapi Ali Muchtar Ngabalin dalam dialog
program Dua Sisi sebuah televisi swasta beberapa waktu lalu. Katanya oligarki yang ada saat ini ‘setengah hati’ untuk berpihak pada ASN.
Menurutnya sejak dulu ASN memang secara nyata menjadi underbow partai
berkuasa yang menjadi pesaing berat oligarki saat ini. Maka tidak heran kalau ASN semakin hari semakin terpojok. Dengan dalih efsiensi, profesionalitas, efektif, transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab dan lain-lain, ASN semakin disudutkan.
Ditambah pula beban tugas yang irasional bahkan kadang-kadang hanya untuk kepentingan administrasi sebuah penilaian.
Sampai-sampai tugas rutin dan pelayanan kepada masyarakat pun terkadang menjadi terbagi untuk urusan personal, baik waktu, konsentrasi maupun tenaganya. Setiap hari ASN dihadapkan dengan aplikasi laporan
hasil kinerja, sasaran kinerja, makalah, jurnal dan lain-lain yang berdampak langsung dengan penghasilan/tunjangannya.
Setiap saat dilibatkan dalam pengisian quisioner berbagai macam survei (baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah), ditambah lagi pengujian kompetensi yang sangat subjektif peruntukannya, secara
periodik diwajibkan membuat laporan harta kekayaan ke KPK, laporan pembayaran pajak penghasilan (SPT Tahunan) dan lain sebagainya,
Alasan subjektif tersebut membuat ASN berada dalam posisi yang serba sulit. Ujung-ujungnya memungkinkan mereka akan tersingkir karena
seleksi alam. Selain itu, ASN produk/angkatan lama yang kurang akrab dengan teknologi, saat ini banyak yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan tuntutan digitalisasi.
Menyimak fenomena tersebut, sangat memungkinkan posisi maupun tugas pokok dan fungsi ASN benar-benar akan digantikan dengan robot, aplikasi ataupun teknologi substitusai yang lain seperti yang diwacanakan
oleh pemerintah selama ini. Uniknya hal ini hanya dialami oleh ASN dan tidak dialami ‘tetangga” yang lain.
“Tetangga sebelah” tidak pernah mengeluh tentang moratorium dalam regenerasi atau penerimaan anggota/pegawai baru. Mereka tidak pernah mengeluh tentang pengurangan jabatan struktural, tidak pula terdengar mereka mengeluh karena dibebani tugas-tugas tambahan yang hanya untuk kepentingan personel atau institusi tertentu.
Kenapa mereka tidak meneluh? Jawabannya tidak lain karena memang masalah tersebut tidak pernah terjadi pada ‘rumah tangga’
mereka. Justru sebaliknya, jabatan struktural mereka semakin dikembangkan sesuai tuntutan kebutuhan zaman, rekrutmen dan pengkaderan tetap rutin dilakukan. Bahkan urusan penganggaran pun mereka berada di zona aman.
Dibalik perbedaan perlakuan tersebut, mari kita berbaik sangka terhadap kebijakan Pemerintah RI. Tidak hanya untuk urusan tenaga non- ASN saja, namun juga terhadap keberadaan PNS dan institusinya. Pastilah
ada ‘secuil’ niat baik pemerintah dalam melakukan kebijakan tersebut.
Selama ini keberadaan ASN dianggap tidak efektif dan tidak efisein dalam menjalankan tugas. ASN dinilai terlalu banyak, tidak sebanding dengan jumlah urusan/tugas yang ada. ASN dianggap sumber pemborosan
dana pemerintah dan lain-lain. Maka Pemerintah RI perlu melakukan penataan kembali demi mencapai efektifitas, efsiansi, tanggungjawab, akuntabilitas, transparansi dan sebagainya.
Dengan demikian diharapkan akan terwujud kesejahteraan yang merata, tidak hanya bagi ASN dan tenaga non-ASN namun juga bagi
masyarakat secara luas. Kecemburuan sosial, kecurigaan bahkan communication barrier terhadap kalangan ASN pun tentunya akan
terminimalisir, sehingga diharapkan adanya kebersamaan tanpa kesenjangan antara ASN dengan masyarakat awam.
Allahualam bissawab.
Asmara Juana Suhardi, S.T., S.I.P., M.Si. adalah Mahasiswa Pascasarjana, Program Doktoral (S-3), Universitas Muhammadiyah Malang.
Ditulis Oleh Radar Kepri
Pada Jum 14 Okt 2022. Kategory Cerpen/Opini, Terkini.
Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0.
You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.