; charset=UTF-8" /> Bangsa Ini Perlu Pendidikan Yang Integratif - | ';

| | 256 kali dibaca

Bangsa Ini Perlu Pendidikan Yang Integratif

Oleh : Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum.

Mengejar angka pertumbuhan ekonomi di atas kertas sudah menjadi tolak ukur eksistensi negara ini. Akibatnya pembangunan saat ini tidak menunjukkan keseimbangan.
Pembangunan yang kita wujudkan terkonsentrasi pada pembangunan fisik atau materi.
Sementara mentalitas dan moralitas kita sangat jauh tertinggal dan bahkan dianggap sebagai
“penghalang” kemajuan.
Di satu sisi kita lihat bagaimana pemerintah mampu memaparkan keberhasilan rasio
pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain sulit bagi pemerintah untuk meredam angka
kriminal. Berita yang sampai kepada kita setiap hari penuh dengan laporan tentang lenyapnya
sopan santun dan rasa aman. Kejahatan telah menjalar ke dalam berbagai sendi-sendi
kehidupan baik di desa hingga kota, dari masyarakat biasa hingga orang yang mempunyai kedudukan tinggi. Seolah tidak ada lagi rambu yang ditaati. Dekadensi moral menjadi marak bersama dengan semakin maraknya kehidupan beragama. Ini adalah sebuah fenomena yang ajaib. Semestinya, bila kehidupan beragama semakin semarak, penyimpangan-penyimpangan moral tidak semakin parah dan tanpa malu.
Tingginya tingkat hunian lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) secara nasional belakangan ini menjadi indikasi meningkatnya tingkat kejahatan di Indonesia.
Semakin tinggi angka kriminalitas menunjukkan bahwa masyarakat semakin tidak aman.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjenpas Kemenkumham), jumlah narapidana (napi) dan tahanan di Indonesia pada 13 April 2019, total napi/tahanan secara nasional tercatat 265.090 orang. Kelebihan penghuni lapas/rutan pun mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan,
yaitu 109 persen. Artinya, jumlah napi sudah menembus dua kali lipat dari kapasitas
lapas/rutan seharusnya.
Sikap tak terpuji pun datang dari para pemimpin bangsa ini. Korupsi, penyalahgunaan
kekuasaan dan perebutan kekuasaan menjadi skema tontonan yang memalukan sekaligus
memilukan. Hampir setiap hari ada saja tokoh atau elite yang ditangkap dan diperiksa
karena kasus korupsi. Tidak peduli hukum, tidak peduli hidup orang lain, tidak peduli
masa depan bangsa, semua dilakukan tanpa rasa malu lagi. Ironisnya masyarakat telah
menganggap korupsi sebagai sesuatu yang wajar dan biasa. Pejabat negara dan masyarakat sipil terlibat bersama-sama melakukan tindak korupsi. Sedangkan masyarakat sipil lain baik
hanya mengetahui atau melihat langsung seolah diam dan menganggap hal tersebut wajar adanya.
Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) aktif melakukan pemberantasan,
korupsi tetap tumbuh subur di Indonesia. Korupsi seolah-olah mejadi bagian dari budaya
yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Maka benar pendapat Bung Hatta bahwa “korupsi telah membudaya”.
Lembaga Survei Indonesia atau LSI dan Indonesia Corruption Watch (ICW) telah
merilis hasil survei nasional pada tanggal 8 hingga Oktober 2018, menunjukkan bahwa 52
persen responden menilai tingkat korupsi meningkat.
Apalagi baru-baru ini skandal kasus korupsi di Depag kembali terjadi. Data Badan
Kepegawain Nasional (BKN) bahkan menunjukkan Kemenag menjadi institusi penyumbang koruptor dari kalangan PNS terbanyak kedua setelah Kemenhub. Kasus itu
makin mencoreng wajah Kemenag sebagai lembaga yang berlandaskan agama.
Lantas kita bertanya, faktor-faktor apa saja yang membuat korupsi masih terjadi
meskipun para pelaku dihukum penjara? Apakah sinyalemen adanya kemudahan-kemudahan di penjara kontraproduktif terhadap pemberantasan korupsi?
Jika pemimpin elite strategis saja tidak mampu memberi teladan, akan lahir split
personality dan berbagai gangguan sosial. Masyarakat menjadi mudah reaktif, mudah
tanggap terhadap segala bentuk penyelewengan; tetapi sekaligus juga menyeleweng.
Kita lihat saja bagaimana generasi muda sebagai andalan bangsa semakin banyak
kehilangan karakter karena nyaris tiadanya teladan sebagai acuan dan panutan. Apalagi
usia remaja merupakan usia untuk mencari identitas. Tanpa adanya tokoh anutan yang aktual,
tak akan dapat para remaja menemukan “kemapanan identitas” yang wajar dan sehat. Proses identifikasi diri mereka menjadi kerdil dan ini membawa pada banyak hal yang
memprihatinkan. Tawaran identitas-identitas baru justru menyebabkan kepribadian remaja
terpecah. Mereka mencari jalan sendiri yang sesat dan tidak menguntungkan remaja itu
sendiri.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Erikson dalam Reza Indragiri (2007:19)
bahwa identitas diri yang tidak berkembang dengan baik akan membuat kaum remaja tidak
mampu dalam memelihara harmonisasi antara dirinya dengan orang lain. Konsekuensinya
remaja akan menjadi asing terhadap dirinya sendiri, dan tidak tercapainya kematangan sosial dan emosional.
Meluasnya teknologi digital saat ini, justru membuat hubungan emosional antara anak
muda dengan gadget-nya melampaui batas rasional. Gadget holic semakin tidak terbendung.
Teknologi komunikasi ini telah memberi peluang kaum muda untuk mencari model karakter bagi dirinya yang labil. Media sosial dianggap sebagai tempat ideal representasi aktualisasi diri remaja. Mereka seolah tak lagi ragu untuk menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah warga. Keleluasaan dalam mengeksplor tanpa batas, membuat remaja “terjebak” dalam lingkaran drama media sosial.
Akibatnya, ketidakmapanan menakar moralitas dalam konten dan konteks media sosial
justru mengakibatkan meluasnya fenomena penyimpangan emosional remaja yang terlihat
pada melonjaknya angka depresi dan tanda-tanda tumbuhnya gelombang agresivitas. Mereka dengan mudah terprovokasi dan gampang marah yang tidak terkendali, sehingga berujung pada tawuran antarpelajar dan mahasiswa. Penyalahgunaan obat-obatan terlarang, seperti narkoba dengan berbagai jenisnya semakin lumrah diberitakan. Stigma eratnya remaja dan pergaulan bebas semakin memperparah jati diri mereka. Prilaku kurangnya hormat remaja kepada orangtua, guru atau dosen, dan tokoh-tokoh masyarakat tersebar luas di masyarakat.
Fenomena bangsa ini dapat dikatakan sebagai ilustrasi anak bangsa yang berada dalam
kondisi split personality, tidak terjadi integrasi antara otak dan hati.
Kalau kita ungkap kasus-kasusnya, tentu tiada habis-habisnya. Dengan demikian jelas
bahwa letak permasalahannya bukan memberantas kasus demi kasus. Yang sudah bobrok berat adalah manusianya. Fokus pembenahan adalah bagaimana memperbaiki akhlak manusia Indonesia. Memang tidak mudah menemukan dari mana dan di mana kerusakan moral itu dimulai. Sebab, jika dikatakan sistem hukumnya sudah benar, moral manusianya ternyata masih rusak. Itu berarti sistem pendidikan telah gagal membentuk manusia yang berkarakter.
Jika demikian halnya, berarti pemimpin bangsa ini telah salah dalam merumuskan konsep
pendidikan untuk anak bangsa ini.
Kita menyadari bahwa untuk mengejar ketertinggalannya, bangsa ini giat melakukan
pembangunan di berbagai bidang. Namun di sela-sela pembangunan fisik, seharusnya secara
paralel dilakukan pembangunan jiwanya. Karena jiwa-lah yang menjadi pijakan sekaligus
pendorong kuat bagi ketahanan mental bangsa ini.
Hal semacam inilah yang membuat bangsa ini lebih mengutamakan materi sebagai nilai
yang paling berharga. Dan persepsi ini juga menjadi pegangan di masyarakat kita. Ukuran
keberhasilan hanya berdasarkan seberapa besar nilai ekonomi atau materi yang dimiliki
seseorang. Berkurangnya angka kemiskinan dianggap sebagai indikator keberhasilan pembangunan ekonomi. Menjadi kaya berarti memiliki jutaan investasi atau aset. Akibatnya, orang berlombalomba untuk meraup materi sebanyak mungkin karena percaya bahwa kepemilikan materilah yang menyimbolkan status mereka.
Pembangunan manusia ketika bersentuhan dengan nilai-nilai materi, maka akan
berubah menjadi pembangunan manusia sebagai produk kebendaan untuk meraih nilai-nilai.
materi. Pendidikan berubah menjadi industri, ilmu dipersonifikasikan dalam bentuk gelar
untuk memenuhi standardisasi mutu tertentu. Akibatnya, apresiasi output pendidikan
terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.
Ketika pendidikan hanya memiliki ide materi, maka terjadi kehancuran nilai-nilai
kemanusiaan.
Pemerintah harus menyadari pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pendidikan bukan saja ditujukan sebagai alat produksi tenaga kerja yang “siap pakai” seiring
dengan terobosan teknologi saat ini. Namun pendidikan harus diorientasikan untuk
membangun manusia seutuhnya dalam berbagai dimensinya seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu, pendidikan bagi pembentukan dan pengembangan diri dan
intelektualitas manusia dan bangsa Indonesia. Inilah yang namanya pendidikan yang
memanusiakan. Di satu pihak harus menjadi sumber kekuatan yang melawan setiap proses
dehumanisasi, di lain pihak menjadi sumber kekuatan yang memungkinkan manusia
mengembangkan segenap potensinya sebagai makhluk yang mulia, yang pada gilirannya
menjadi dasar membentuk bangsa besar yang mulia.
Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara sudah menggarisbawahi bahwa
pendidikan harus bisa memadukan berbagai aspek manusia serta menggunakan media yang
berkaitan dengan wilayah kehidupannya. Hal inilah yang melandasi Ki Hadjar menyelenggarakan sistem pendidikan dengan model paguron atau pawiyatan, yakni suatu
lingkungan dimana siswa belajar bersama gurunya secara padu dalam proses pendidikan
intelektual dan moral-spiritual.
Dengan demikian, sudah saatnya dunia pendidikan saat ini menerapkan secara
konsisten sebuah konsep dan strategi yang integral (integrative learning), yang sejatinya
tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik semata, tetapi
juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spiritual. Sehingga diharapkan akan terbentuk
sumber daya insani yang berkualitas dan bermakna bagi dirinya, bagi lingkungannya, bagi bangsa dan negara. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia.
Ditulis Oleh Pada Sel 23 Apr 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek