Indonesia Negara Maritim ?
Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan apakah Indonesia itu negara kepulauan atau negara maritim? Malah ada pula yang mempertanyakan apa bedanya dengan negara bahari? Persoalan ini menjadi lebih menonjol karena adanya desakan perkembangan pola pikir agar Indonesia juga mengembangkan
mindset kemaritiman, yang selama ini dianggap terlalu menekankan mindset ke daratan/pertanian/agraris.
Perdebatan tersebut di atas menjadi lebih menonjol setelah pemerintah Jokowi-JK membuat poros maritim menjadi salah satu
pokok kebijaksanaan pemerintahannya.
Menurut Prof. Hasjim Djalal, Pakar Hukum Laut Universitas Indonesia, sungguhnya negara maritim tidak sama dengan negara kepulauan. Apalagi merujuk pada hasil konvensi hukum
laut (Hukla) 1982, Indonesia dinamakan archipelagic state atau negara kepulauan, karena keberadaannya yang memenuhi
kreteria persyaratan yang ditetapkan dalam konvensi tersebut.
Adapun kreteria negara kepulauan yang ditetapkan dalam konvensi Hukla 1982 antara lain;
1. Apabila luas lautan dibending luas daratan tidak kurang dari
1:1 (satu banding satu) dan tidak lebih dari 9:1 (sembilan
banding satu).
2. Jarak antar pulau yang dapat dihubungkan dengan garis pangkal untuk menyatukan wilayah tersebut tidak boleh lebih dari 100 mil laut.
3. Batas toleransi (pengecualian), boleh sampai 125 mil laut maksimal hanya 3 % dari jumlah garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar wilayah tersebut. Negara kepulauan (seperti Indonesia) mempunyai kedaulatan teritorial atas perairan di wilayahnya dan juga kedaulatan atas peraitan pedalaman di dalam perairan wilayah kepulauan tersebut. Di samping itu, negara kepulauan juga mempunyai kedaulatan atas perairan teritorial di luar perairan wilayah kepulauan itu seluas 12 mil laut dari garis pantai yang menghubungkan titik-titik terluar dari negara tersebut.
Kedaulatan yang dimaksud mencakup dasar laut, ruang wilayah lautnya, ruang udara di atas laut tersebut dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Sementara negara maritim, menurut Hasjim Djalal menekankan pada kemampuan suatu negara atas kemampuannya dalam memanfaatkan wilayah lautan. walaupun
negara tersebut tidak mempunyai wilayah laut yang luas. Kreteria negara maritim antara lain; harus mempunyai kemampuan teknologi, ilmu pengetahuan, peralatan dan sebagainya guna mengelola dan memanfaatkan sumber daya
yang terkandung di lautannya (baik ruang, kekayaan, maupun letaknya yang strategis).
Mengacu pada pengertian di atas, maka banyak negara kepulauan yang belum menjadi negara maritim, bahkan tidak boleh menyebut dirinya sebagai negara maritim. Apalagi bagi negara-negara kepulauan yang belum mampu memanfaatkan atau mengekspoitasi kekayaan laut di wilayah kedaulatan dan kewenangannya.
Sebaliknya, banyak negara yang wilayah lautnya sangat terbatas namun mampu memanfaatkan atau mengeksploitasi
sumber daya lautnya secara optimal. Singapura yang wilayah lautnya terbatas mampu menjadi pemasok kebutuhan ikan bagi
kapal-kapal asing yang melintas di wilayahnya, Belanda yang lautannya sangat kecil sanggup memanfaatkan dan menjelajahi Samudra Hindia, bahkan manjajah Indonesia sampai 350 tahun.
Indonesia adalah negara kepulauan yang kini tengah berupaya atau bercita-cita meraih kembali statusnya sebagai negara maritim. Di masa lalu Indonesia pernah menjadi negara
maritim yang tangguh, seperti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit. Di masa itu Bangsa Indonesia malah menjelajah
samudera sampai ke Afrika Timur (Madagaskar) dan ke Pasi=k
Selatan.
Kaitannya dengan harapan Indonesia untuk kembali menjadi negara maritim, Indonesia harus mampu mengelola dan memanfaatkan/mengeksploitasi kekayaan dan ruang laut yang dimilikinya, antara lain:
Pertama, Bangsa Indonesia harus benar-benar mengenal berbagai jenis laut yang berada di wilayah kedaulatan Republik Indonesia dengan beraneka ragam ketentuannya, yaitu perairan
dalam, perairan kepulauan, laut wilayah, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, termasuk hak-hak yang melekat padanya atas laut bebas maupun dasar laut
internasional.
Kedua, Bangsa Indonesia harus mengenal dan menghormati hak-hak Internasional atas perairan Indonesia, seperti hak lintas
innocent passage, transit passage, archipelagic sealanes passage, freedom of navigation and overight, traditional shing rights dan lain-lain.
Ketiga, dapat memahami berbagai kekayaan alam yang terdapat pada berbagai jenis laut tersebut, baik yang berada dalam wilayah kedaulatan maupun di luar wilayah kedaulatan
NKRI. Baik yang sifatnya hidup, yang mati dan lain-lain seperti keadaan arus, angin, gelombang dan kapal-kapal karan, benda-
benda historis dan lain-lain.
Keempat, mampu mempertahankan kedaulatan wilayah, kewenangan, keamanan, keselamatan, kesatuandan persatuan nasional dalam memanfaatkan ruang laut, perhubungan/transportasi laut maupun kekayaannya. Kelima, mampu menghapus illegal shing dan mencegah segala macam bentuk penyeludupan dan pelanggaran hukum di perairan Indonesia, baik di wilayahnya maupun di daerah kewenangannya.
Keenam, mampu memelihara lingkungan laut dan memanfaatkan kekayaan alamnya secara sustainable.
Ketujuh, mampu menetapkan dan mengelola berbagai perbatasan maritim dengan negara tetangga serta menjaga keamanan di wilayah perbatasan tersebut.
Kedelapan, mampu memajukan dan menjaga keselamatan pelayaran yang melewati perairan Indonesia.
Kesembilan, mampu memanfaatkan otonomi daerah yang konstruktif mengenai kelautan.
Kesepuluh, mampu memanfaatkan kekayaan alam dan ruang di luar perairan Indonesia, seperti di laut bebas dan di dasar laut Internasional.
Apabila Indonesia ingin kembali menjadi negara maritim, maka harus mampu memanfaatkan semua unsur kelautan di
sekelilingnya untuk kepentingan rakyatnya dan mempertahankan Indonesia sebagai satu negara kepulauan yang didiami satu
bangsa yang hidup dalam satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Asmara Juana Suhardi, ST.,S.IP., M.Si, adalah Mantan Jurnalis, dosen FISIP UT Pokjar Natuna.