; charset=UTF-8" /> Revitalisasi Budaya Politik Dalam Pilkada Serentak 2020 - | ';

| | 544 kali dibaca

Revitalisasi Budaya Politik Dalam Pilkada Serentak 2020

Oleh : AJ Suhardi
Pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada), tidak lain adalah momentum politik yang menjadi sarana aktualisasi bagi rakyat Indonesia dalam menggunakan haknya sebagai warga negara
(selaku civil society). Pemilu maupun Pilkada secara konseptual merupakan sarana implementasi kedaulatan rakyat.
Melalui Pemilu Legitimasi Kekuasaan rakyat diimplementasikan dengan “penyerahan” sebagian kekuasaan dan hak mereka kepada wakilnya yang berada di parlemen.
Dengan mekanisme tersebut, idealnya sewaktu-
waktu rakyat dapat meminta pertanggungjawaban kekuasaan kepada
pemerintah (Fajlurrahman Jurdi, 2018:1).
Sedangkan Pilkada merupakan sarana pelaksanaan demokrasi pada tingkatan lokal. Seperti halnya Pemilu, momentum Pilkada digunakan juga dalam melakukan literisasi atau seleksi pemimpin pada tingkat daerah.
Sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan Pemilu maupun Pilkada harus senantiasa dijunjung tinggi.
Tahun 2020 merupakan tahun politik di Indonesia. Setidaknya terdapat 224 (dua ratus dua puluh empat) kabupaten, 37 (tiga puluh tujuh) kota dan 9 (sembilan) provinsi di seluruh Indonesia yang akan ikut dalam Pilkada serentak bulan Desember tahun 2020 mendatang.
Seandainya masing-masing daerah tersebut mengusung 2 (dua) pasangan bakal calon (balon) saja, maka terdapat 540 (lima ratus empat puluh) pasangan balon kepala daerah yang akan berkompetisi.
Jumlah balon ini hanya akan menjadi sebuah ‘dagelan’ tanpa partisipasi masyarakat
dalam menyukseskan Pilkada 2020.
Sebagai derivasi dari pendapat di atas, maka dapat diketahui bahwa politik pada hakikatnya sangat erat kaitannya dengan budaya yang
ada di tengah-tengah masyarakat. Klasi6kasi tipe budaya politik secara universal dapat dibagi dalam beberapa bentuk, antara lain yaitu:
Pertama, budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi masyarakat masih sangat rendah.
Dalam tipe ini tidak ada peran politik masyarakat yang bersifat khusus.
Kepala suku, kepala kampung, ulama/kiai atau dukun, yang merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis, adat maupun agama.
Kedua, budaya politik kaula (subject political culture), yaitu budaya politik yang lebih maju bila dibanding dengan tipe budaya parokial. Meskipun masih relatif pasif, masyarakat dalam tipe politik kaula ini mulai berpikiran
maju, baik secara sosial maupun ekonominya. Namun masih membutuhkan penggerak yang dapat menggugah keterlibatannya.
Ketiga, budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik dan partisipasi yang sangat tinggi. Selain aktif dalam proses politik, masyarakat mampu beropini terhadap berbagai hal. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai sistem politik, baik tentang peran pemerintah, kebijakan, konspirasi, penguatan dan lain-lain.
Fakta yang terjadi di Indonesia menurut data dari beberapa lembaga, diantaranya seperti data Lembaga Indikator Politik Indonesia (LIPI)
memberikan uraian bahwa partisipasi politik daerah di Indonesia pada tahun 2018 tidak dapat dikatakan tinggi.
Hal tersebut dapat dilihat dari partisipasi pemilih di daerah-daerah yang besar, yang jumlah pendudknya signifikan menentukan hasil kemenangan kandidat, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Sumartera Utara, Sulawesi Selatan dan lain-lain.

Di Jawa Timur, partisipasi pemilih hanya berada pada angka 62,23 persen dengan margin of error 1,33 persen. Demikian juga halnya di Jawa Barat, 67,83 persen, Sumatera Utara, 68,54 persen dan Sulawesi Selatan, 74,43 persen (LIPI. 2018).
Lembaga lain seperti Lembaga Survei The Republic Institute yang melangsungkan quick count tahun 2018 mengemukakan bahwa target Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum tercapai dalam pemilihan 2018. Penyebabnya adalah sosialisasi kepada masyarakat kurang maksimal.
Sedangkan data partisipasi masyarakat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019 yang dirilis oleh KPU menunjukkan angka yang cukup signifikan yakni 81 % (delapan puluh satu persen) (Sumber: nasional.kompas.com).
Meskipun terjadi peningkatan angka partisipasi tersebut, namun hal itu tidak menjadi jaminan bahwa dalam Pilkada serentak tahun 2020 nanti akan terjadi peningkatan pula. Rasa-rasanya masih dibutuhkan sebuah technical approach yang tepat, agar melahirkan solusi yang relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini (yang progresif dan solutif).
Setidaknya ada beberapa faktor penyebab belum optimalnya partisipasi politik masyarakat di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat pinggiran, antara lain:
Pertama, minimnya sosialisasi kepada masyarakat lapisan bawah, terutama di desa-desa. Masyarakat desa tergolong memiliki kepekaan politik yang masih lemah dan membutuhkan sentuhan. Tidak heran kalau dalam setiap Pemilu maupun Pilkada, hak pilih masyarakat yang sangat potensial ini terkadang disia-siakan atau tidak digunakan.
Kedua, adanya sikap skeptis terhadap politik.
Skeptis selalu dimaknai sebagai rasa kurang percaya atau ragu-ragu. Keraguan dan kurang percaya kepada para politisi atau calon politisi itu disebabkan karena masyarakat terlanjur banyak mendengar dan menyaksikan perilaku menyimpang yang dilakukan para politisi.
Sikap semacam ini akan menjadi faktor penghambat terciptanya iklim politik yang sehat, di tengah-tengah masyarakat. Maka dibutuhkan sosialisasi, pendekatan dan pendidikan yang inten dan serius, agar tumbuh kembali kepercayaan masyarakat terhadap politik, proses politik maupun kepada para politisi/calon politisi.
Ketiga, faktor kepentingan pragmatis dalam Politik.
Kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi lebih dominan daripada kesadaran politik secara batiniah. Dalam hal ini tujuan utamanya adalah kepentingan terhadap keuntungan individu, dimana seorang pemilih akan lebih cenderung mengedepankan keuntungan material dalam pemilihan tersebut.
Sehingga pemilihan dalam Pemilu maupun Pilkada bukan lagi menjadi kesadaran hati nurani masyarakat, melainkan hanya kepentingan pragmatis yang menjadi orientasi masyarakat. Keadaan tersebut menyebabkan hilangnya budaya politik, yang sifatnya partisipatif dan berdasarkan kesadaran hati nurani.
Berkenaan dengan hal tersebut, dapat dikerucutkan bahwa permasalahan utama yang memengaruhi kemajuan politik di Indonesia adalah tingkat pemahaman politik masyarakat yang masih lemah. Apabila pemahaman masyarakat terhadap politik rendah, maka akan berimbas pada kesadaran politik tingkat pelajar, mahasiswa, masyarakat desa dan sebagainya.
Perlu diingat bahwa masyarakat desa, mahasiswa maupun pelajar (SMA dan Sederajat) merupakan masyarakat yang multikultural dan pusat peradaban di masa depan. Bahkan masih ada yang hidup berlandaskan pemikiran-pemikiran tradisional, yakni memandang politik bukanlah hal yang baik dan meneganggap politik hanya tempat menghabiskan uang rakyat.
Sehubungan dengan hal di atas, maka diperlukan suatu cara yang solutif untuk membendung terjadinya permasalahan politik di Indonesia ini. Salah satu technical approach yang patut dilakukan adalah merevitalisasi budaya politik partisipan pada Pilkada 2020, melalui berbagai program yang dapat meningkatkan kesadaran politik masyarakat.
Program tersebut diharapkan dapat mengembalikan marwah tipe budaya ‘Politik Partisipan’ dalam jiwa masyarakat untuk melahirkan pemilih-pemilih yang cerdas, santun dan berbudaya dalam Pilkada serentak tahun 2020 ini., sehingga pada gilirannya akan menunjang pembangunan demokrasi yang cerdas dan barkualitas.

Asmara Juana Suhardi, ST.,S.IP.,M.Si, adalah Penasehat Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD. KAHMI) Kabupaten Natuna Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Sab 05 Sep 2020. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek