Jangan Memilih Untuk Tidak Memilih
Oleh : Muthmainnah Ridwan, S.IP.
17 April 2019 akan menjadi momentum bersejarah bagi demokrasi Indonesia. Pasalnya, pesta demokrasi yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang biasanya digelar terpisah, tahun ini digelar secara serentak di seluruh Indonesia. Pemilihan Umum (Pemilu) yang digelar 17 April 2019 mendatang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR-RI, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan anggota DPD.
Meski digelar secara serentak, namun semarak pilpres tentu yang menjadi bagian yang paling menyita perhatian publik, menjadi sorotan utama hampir semua media akhir-akhir ini. Terlebih setelah beberapa rangkaian debat capres dan cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Salah satu isu yang selalu mengemuka jelang pemilu adalah pemilih yang memilih untuk tidak memilih alias golput. Golput adalah fenomena yang tidak pernah abstain di setiap suksesi kepemimpinan pada pemilihan umum di republik ini atau bahkan dibeberapa negara yang mengaku paling demokratis sekalipun. Penyebabnya tentu beragam, mulai dari sikap apatis pemilih, masalah administrasi, masalah ideologi, ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pemilih, sampai pada masalah yang paling krusial yaitu krisis kepemimpinan di tubuh figur atau para caleg dan partai-partai peserta pemilu yang menyebabkan pemilih akhirnya enggan dan muak dengan calon-calon yang ditawarkan.
Menurut data KPU jumlah pemilih Golput mengalami tren peningkatan setiap pemilu setidaknya dalam kurun tiga tahun terakhir. Angka golput pada pilpres tahun 2004 putaran pertama sebesar 21,80 persen dan meningikat di putaran kedua menjadi 23,40 persen, tahun 2009 angka golput berada pada 28,30 persen sementara pada pemilu tahun 2014 sebanyak 29,01 persen. Adapun golput pada pileg tahun 2004 adalah 15,90 persen, tahun 2009 mencapai 29,10 persen sementara tahun 2014 sebesar 24,89 persen dari total pemilih yang terdaftar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dari masa kemasa kian menurun, indikasinya adalah tingkat kepercayaan kepada proses demokrasi (pemilu) yang juga menurun.
Memilih untuk Tidak Memilih
Memilih untuk tidak memilih atau golput adalah salah satu bentuk ekspresi politik dan hal ini tentu tidak dilarang, sebab dalam UUD 1945 Pasal 28 e ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pikiran, sikap, yang sesuai dengan hati nuraninya. Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 juga mengatur jaminan kepada setiap orang untuk menentukan keyakinan, pandangan, serta sikap politik yang sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini mempertegas bahwa setiap orang bebas menentukan ekspresi politiknya, termasuk memilih untuk tidak memilih atau golput tadi.
Meskipun demikian, ada dua hal yang sekiranya bisa dijadikan pertimbangan agar jangan sampai kita memilih untuk tidak memilih. Pertama, dengan atau tanpa kita memilih, suksesi kepemimpinan itu akan terus terjadi. Hasilnya adalah pemimpin baru atau wakil rakyat siapapun ia yang terpilih nantinya. Pemimpin baru atau wakil rakyat inilah yang akan menjadi penentu kebijakan, yang akan mewakili aspirasi rakyat, yang akan mengontrol dan mengendalikan keberlangsungan pemerintahan selama lima tahun kedepan.
Dengan demikian, sebagai negara hukum, mau tidak mau, suka tidak suka, siapapun kita yang pada kartu tanda penduduk (KTP) nya tercatat sebagai warga negara Republik Indonesia, tentu akan tetap tunduk dan patuh pada aturan yang ditetapkan oleh pemimpin tersebut, sekalipun jelas itu bukan merupakan pilihan kita tentunya.
Akan menjadi aneh, bila diawal kita menolak untuk terlibat dari sebuah proses pemilu, lantas pada proses atau produk dari hasil pemilu tersebut malah kita mengambil andil didalamnya. Jika yang menjadi alasannya adalah persoalan ideologi, maka hal ini barangkali masih bisa diterima, mengingat pilihan jelas dilakukan atas dasar kesadaran politik pemilih, bentuk sikap kritis yang seyogyanya menjadi reminder bagi pemerintah. Tetapi jika kemudian alasannya hanya karena apatisme, karena sudah muak dengan figur dan kepemimpinan kandidat, atau karena alasan tidak ada kandidat yang representatif mewakili harapan perbaikan bangsa sehingga membuat pilihan kita jatuh pada tidak memilih, ini tentu keliru.
Tidak ada sosok manusia sempurna di bumi indonesia, memilih yang cukup baik kalau merasa tidak ada yang baik misalnya adalah solusinya. Bukan malah menyerahkan proses politik pada mekanisme sikap abai dan menghilangkan tanggung jawab politik kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, jika Warga Negara Asing (WNA) saja dengan sangat antusias membuat KTP untuk ikut memilih, masa iya kita sebaga WNI malah abstain?
Kedua, manipulasi surat suara rawan terjadi. Hak suara kita rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini karena satu suara sangatlah berharga. Kasus yang terjadi pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Jombang Tahun 2018 lalu misalnya, di TPS 1 Desa Tambar, Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS 1 Desa Tambar sebanyak 497 orang. Dari jumlah tersebut, 308 orang diantaranya datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Namun saat dilakukan penghitungan suara, jumlah surat suara yang telah dicoblos di dalam kotak suara sebanyak 333 lembar. Artinya, terdapat 25 surat suara yang sengaja ditambahkan ke dalam kotak tersebut dengan memanfaatkan surat suara dari pemilih yang memilih untuk tidak hadir pada hari pencoblosan. Jangan sampai kita memberi ruang bagi pihak tak bertanggungjawab itu melancarkan aksinya.
Dengan pertimbangan kedua hal tersebut, sejatinya tidak akan mendatangkan keuntungan bila kemudian kita memilih untuk tidak memilih alias golput pada pemilihan umum. Hal ini karena taruhannya adalah nasib masa depan bangsa. Baik buruknya kehidupan bangsa lima tahun mendatang ditentukan oleh pilihan pemimpin dan wakil-wakil rakyat kita hari ini.
Karena itu, sekali lagi, jangan sepelekan pemilihan umum, karena disitulah arah perjalanan bangsa ditentukan, pergunakanlah hak suara anda sebagai bentuk paling sederhana untuk berkontribusi nyata dalam upaya perbaikan bangsa. Perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana bukan? Untuk itu, gunakan hak suaramu, untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
TENTANG PENULIS
Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S2 program studi Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan penerima Beasiswa LPDP Kementerian Keuangan RI. Sebelumnya menamatkan diri program studi Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Makassar.