; charset=UTF-8" /> ANTARA EMOTIONAL INTELEGENCE DAN KEPUTUSAN POLITIS - | ';

| | 284 kali dibaca

ANTARA EMOTIONAL INTELEGENCE DAN KEPUTUSAN POLITIS

Oleh :ASMARA JUANA SUHARDI, ST., SIP., MSi.

 

Maraknya konsep emotional quotient

(EQ) yang dianggap sama pentingnya dengan
intelligent quotient (IQ) membuat para pegawai/karyawan, dari berbagai lapisan mulai
memperhatikan sisi emosional. Sehingga mereka tidak hanya mendewa-dewakan kecerdasan mental semata.
Konsep ini sering dibahas dalam kaitannya dengan kinerja seseorang, baik yang bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta. Lalu, bagaimana dengan kinerja kelompok dalam institusi pemerintah atau swasta tersebut?
Apakah mungkin sebuah kelompok dinyatakan cerdas secara emosional? Apakah mungkin seseorang yang cerdas secara emosional dapat membentuk kelompok kerja yang cerdas pula secara emosional? Dan bagaimana pengaruh
kepentingan politis terhadap institusi ataupun individu tersebut.
Contoh kasus, si A bekerja pada sebuah kantor bagian X di Sekretariat Daerah sebuah Kabupaten/Kota Y, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia berusaha keras agar dapat
disebut sebagai orang yang cerdas emosionalnya.
Mulai dari membaca sejumlah referensi, sampai mengikutisejumlahpelatihanemotional
 intelligence dilakukannya. Ia tidak mau menjadi orang yang kaku dalam berinteraksi.
Usaha si A tidak sia-sia, berkat komitmennya yang tinggi untuk menjadi sosok yang
emotionally intelligent maka ia tampil sebagai seorang yang resilient, tidak mudahf rustasi
menghadapi berbagai kegagalan dan terampil dalam team work. Untuk mendukung penerapan emotionally intelligent yang
mulai berkembang pada diri si A, maka konsep dan metode kerja di lingkungannya diberlakukan secara konsisten, mulai dari menetapkan job descriptions, proyeksi dalam
menjalankan tugas/program sampai pada menetapkan target output maupun outcome
sebuah pekerjaan.
Namun metode kerja ini hanya mendapatkan dukungan dari segelintir pagawai yang orientasi kerjanya belum dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat materi (money oriented)
dan publisitas diri (kebiasaan mengampu dan cari muka).
Pada suatu hari, si A gagal menyelesaikan tugas penting yang dibebankan kepadanya. Saat itu timnya bekerja sama dengan tim lain yang dipimpin si B pada institusi yang sama.
TimAbertindaksebagaipenyediajasateknisdalam
tugastersebut,sedangkantimBmemberikan
back-up perangkat kerasnya. “Parah! Mereka benar-benar tidak bisa bekerja sama,” kata si A dengan kecewa.
Sebenarnya jauh-jauh hari si A sudah mengkhawatirkan hal itu,ketika tim B jarang melakukan lobbying dan menunjukkan sikap yang tertutup sekaligus mengisolir diri terhadap tim A. Namun si A membiarkan saja karena ia percaya bahwa setiap tim punya tugas dan cara sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Apalagi disadari, pekerjaan yang sedang dijalankan itu tidak akan menghasilkan materi secara individu, apalagi publisitas diri. Melainkan akan melahirkan publisitas institusi
yaitu Kantor Bagian X Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota Y.
TUGAS SIAPA ? Menyimak kasus di atas, ternyata orang yang cerdas secara emosional belum tentu dapat membentuk kelompok
kerja yang cerdas pula secara emosional. Ia masih terpaku pada pengembangan emotional
 intelligence secara individual.
Dalam kasus ini, si A belum berupaya mengembangkan groupemotional intelligence, suatu konsep yang dapat mendorong tim mencapai keberhasilan atau mencapai tujuan
bersama yang digariskan oleh institusinya
Tim yang cerdas secara emosional ternyata bukanlah tim yang semua anggotanya memiliki
emotional intelligent tinggi.
Bagaikan seorang individu, sebuah tim juga memiliki kehidupan sendiri yang tidak sama dengan jumlah kehidupan anggotanya.
Untuk mencapai kondisi kelompok emotional intelligent tim tersebut juga perlu secara khusus mendalami tata cara dan kebiasaannya, seperti halnya seorang individu yang perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan perilaku yang cerdas secara emosional.
Meskipun masing-masing tim memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan tugas, kesediaannya untuk merasakan
kebutuhan tim atau mitra kerja pada dasarnya mencerminkan sifat group emotional intelligent.
Seperti halnya karakteristik seseorang yang memiliki emotional intelligent tinggi yaitu harus mampu menyadari perasaan orang lain (
awareness of others). Kesadaran akan perasaan dan kebutuhan tim lain (awareness of other teams) juga perlu dimiliki sebuah tim yang ingin memiliki group emotional intelegence
tinggi.
Misalnya, mencari tahu tentang kendala yang dihadapi tim pendamping atau tim mitra kerja sehingga upaya lobbying dan kerja sama dapat diupayakan. Hal ini tidak saja dapat membantu tim pendamping mengatasi hambatannya,
melainkan juga menjadikan tim kita sendiri sebagai tim yang ‘hidup dan berperasaan’.
Bahkan kalaupun perlu memberi teguran terhadap tim pendamping tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukannya, juga merupakan salah satu wujud prilaku yang group emotional intelligent sifatnya,yaitu berani
mengkonfirmasikan perasaan-perasaan negatif tim pendamping.
Apabila sisi emosional ini sudah berhasil ditumbuhkan, niscaya mutual trust, group identity dan group efficacy sebagai dasar efektivitas dan produktivitas suatu tim dalam
bekerja, baik pada instansi pemerintah maupun swasta, akan dapat tercapai dalam waktu singkat.
Pertanyaan selanjutnya adalah menjadi tugas siapakan pengembangan kelompok emotionalinteligence tersebut?
Jawabnya tentu saja tidak hanya terletak pada siapa pemimpinnya, melainkan justru sangat tergantung dari komitmen seluruh anggota tim dalam melaksanakan tugas pada metode kerja yang diberlakukan sang pemimpin.
Dengan catatan sang pemimpin betul-betul berperan sebagai leadershif
sejati. Memiliki kemampuan teknis
maupun non teknis yang dapat diandalkan. Sekaligus pengemban etika dan budaya kerja yang tangguh.
Komitmen anggota tim itu akan terwujud jika
pemimpinnya (siapapun dia) mampu merubah sikap mental para pegawai/karyawan, dengan mendongkrak kesadaran terhadap tujuan bersama dalam institusi.
Sebaliknya apabila sikap mental tidak berubah maka konsep dan metode apapun yang diterapkan akan menjadi mandul, karena tidak akan sanggup membendung orientasi
kerja yang menyimpang dan negatif bagi tujuan institusi, baik secara materi maupun secara publisitas.
Lebih mengkhawatirkan lagi kalau masalah tersebut sudah merupakan bagian dari budaya kerja yang ada pada institusi tersebut.
KEBUTUHAN MENDESAK
Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sejahtera, cerdas, mandiri, madani, agamis, beiman, berakhlak mulia dan sebagainya, sesuai visi dan misi yang telah ditetapkan, maka kebutuhan terhadap group emotional intelligence dirasakan sangat mendesak.
Tanpa upaya perbaikan yang nyata melalui hal ini, maka pencapaian dari visi-misi akan mengalami banyak hambatan.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan visi-misi yang telah dirumuskan dengan susah payah itu akan menjadi slogan yang tidak dilirik oleh siapapun, bahkan menjadi jargon kosong
tanpa makna.
Tidak dipungkiri, ntukmencapai emotional intelligence dalam budaya kerja yang terlanjur salah orientasi dan pelakunya salah ‘posisi’, tentunya membutuhkan kerja keras,sekaligus menuntut kemampuan manajerial yang teruji.
Terutama dalam hal meluruskan kembali sikap mental yang terlanjur menyimpang sebagai dampak penempatan karyawan, pegawai atau pejabat yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Dalam hal ini group emotional intelligence
harus diwujudkan dalam pendekatan sistemik sekaligus legalistik.
Mengapa pendekatan sistemik diperlukan? Karena tanpa terasa ternyata kebijakan politis yang kurang profesional telah dengan sengaja merusak dan melumpuhkan sendi-sendi
kehidupan institusi terutama dalam dunia birokrasi.
Apalagi kenyataan yang terjadi, kebijakan politis yang terlalu jauh menjangkau ranah birokrasi, dengan mengabaikan profesionalitas, kompetensi dan pengkaderan. Disadari atau

tidak, hal ini telah membuat beberapa institusi seakan-akan berjalan ditempat.
Bahkan mengalamibm banyak kemunduran, karenahanya menjadi tempat belajar,..belajar,..belajar dan belajar,..bagi
karyawan, pegawai maupun pejabat baru yang ditempatkan dari luar kompetensi maupun pengkaderan.
Sampai-sampai ada terdengar anekdot, tidak perlu emotional intelligence dan sebagainya, yang penting pintai ‘çari muka’ atau pintar
‘menjilat’.
Demi melaksanakan keputusan politis, tidak jarang para karyawan, pegawai atau pejabat tersebut tanpa sempat mencoba pengetahuan hasil pembelajaran yang pernah dilakukan. Sehingga pendidikan, pelatihan, bimbingam teknis dan lain-lain terasa sia-sia dan mubazir anggaran.
Catatan, penulis, ASMARA JUANA SUHARDI, ST., SIP., MSi., adalah Mantan
Jurnalis dan Mantan HRD Humpuss Group.
Ditulis Oleh Pada Jum 21 Jun 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek