Abdul Kadir Ibrahim, Birokrat Tulen dan Budayawan Nasional
Dalam parade baca puisi penyair pada Festival Bahari Kepulauan Riau, di pentas halaman Gedung Daerah Tanjungpinang, Selasa (26 Oktober 2016) lalu, penyair nasional, atau lebih sering disebut sebagai penyair Indonesia modern, Abdul Kadir Ibrahim membaca dua puisinya yakni “Cincin Akik” (Agate Ring) dan “Gerhana Matahari” (Solar Eclipse). Di samping Akib juga tampil Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, dan penyair senior dari Kepulauan Riau Rida K Liamsi, Hoesnizar Hood dan Suryatati A Manan.
Tampil juga baca puisi waktu itu, Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun dan Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau, Arif Fadillah. Penyair Akib, panggilan akrab Abdul Kadir Ibrahim, putra Natuna tampil malam itu begitu atraktif, sugestif dan memukau penonton. Berikut puisi Abdul Kadir Ibrahim yang berjudul “Cincin Akik” (Agate Ring) dan “Gerhana Matahari” (Solar Eclipse), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penyair Indonesia, Agus R Sarjono.
Doa Mekar Cinta Mekar Laut Mekar Langit
Puisi: Abdul Kadir Ibrahim
Cincin Akik
(22)
jemari lentik
kiri-kanan
cincin akik
kilau beragaman
di
kau
pandangkan
sejadi menggilakan
bukan nama sembarang diberikan
cincin akik dinamakan
ada blue safir, delima, metior natuna, sulaiman
firus, sungai dareh, kecubung, giok, kalimaya, intan
topaz, zamrud, spritus, raflesia, pancawarna, bacan
dan sekaliannya
kus semengat cinta rasanya gila-nana
bertapuk-himpun segalanya ada hingga gaib
merabung aura menjura wibawa
pancarpancar lawa jelita pesona semesta
harum wangi sepenjuru awan
angin dan hujan daratan dan lautan
langit tegak
kiri-kanan cincin akik
kacak-kasih embun subuh
matahari semuka pagi buta
rembulan tertawa malamnya pula
dedaunan condongkan
kayu-kayan jura-jurakan
segala nyawa manusia, dan haiwan
sepukau segila serindu takkan tahan
kepadaku empu nya badan
cincin akik
apa bernyawa semua bernama
makhluk allah ‘azawajalla
di bumi dan langit
tampak ataupun ghaib
aku berakik
akik kugilik
hanya aku menarik
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
semarang-yogyakarta, 2015
Puisi: Abdul Kadir Ibrahim
Gerhana Matahari
(58)
gerhana matahari>>arus terhenti>>haiwan sekalian di lautan>>
sembunyi sepi>>awan tersentak>>diri serasa sedebu sawi>>
jantung gedebar segoda dewi>>akal sehenyak>>
kuasa allah ianya jadi>>kaki langit tibakan cinta>>
mata tercenau ladonan taqwa>>ugui>>remis>>kima>>
like-lena zikirkan ilahi>>layar sampan kundangkan zaman>>
sempurna kata>> sealir salam>>merindu segala jadi>>
jadi mendekap pasti>>pasti mengeja mati>>mati sedekat ini>>
gerhana matahari>>sujud shalat di sajadah>>airmata mengaji>>
rembulan dan matahari bertangkup>>bumi gelap menyungkup>>
segala ta’jub>>gerhana matahari>>ini>>hamba tak hendakkan>>
sepi kembali>>kemilau pelangi>>ya rabbi>>
trikora, bintan, 2016
The Prayer of the Blooming Sky, Ocean and Love
Puisi: Abdul Kadir Ibrahim
Agate Ring
(22)
Tapering fingers
Left and right
Agate ring
Luminous colors
in
your
sight
are maddening.
The agate ring bears
not just any given name
Blue Sapphire, Pomegranate Meteorite,
Solomon’s Natuna, gemstone of the river of blood,
jade, Amethyst, Kalimaya, Diamond,
Topaz, Emerald, Spritus Rafflesia,
Pancawarna, Bacan, etc.
My spirit soars, love-strucked,
all is gathered and then vanished.
The tidal aura, the humbling charisma,
exuding graceful charm, enchanting the universe.
Fragrant clouds, wind, rain, the land and the sea,
The vertical sky
Left and right are the agate rings
The dashing-love of the dawn’s dew
The morning Sun shows its face.
At night, the Moon laughs,
the leaves lean towards the swaying tree branches,
all souls, human’s and animal’s
are captivated by yearnings,
they’re yearning for The Owner of the agate body.
Does all that have names have souls too?
All God’s creatures, in earth and heaven,
visible or unseen, see my agate body,
I rub the agate
it blends inside me
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Semarang-Yogyakarta, 2015
Puisi: Abdul Kadir Ibrahim
Solar Eclipse
(58)
Solar eclipse >> the current stops >> all animals in the oceans >>
hide themselves quietly>> the cloud is shocked>> I feel small like the dust>>
This heart thumps so loud as if it was teased by a goddess’s>>
the mind is numbed>> By the power of God it arrives>>
the horizon brings love>> the eyes shuts in devoted religious chants>>
fast>> moderate>> silent>>
ecstatic in reciting His names>> the boat’s sail flutters an era>>
Perfect words>> friendly greetings>> longing to all beings>>
Nestling to each other>> spelling a certainty of death>> death this close>>
solar eclipse>> bowing on a prayer mat >> the tears are reciting holy scriptures>>
the moon and the sun overlap>> the dark earth glooms>>
all is in awe>> of this>> solar eclipse>>
O, God>> please do not let>> this shining rainbow>>
disappears>>
Trikora, Bintan, 2016
Penampilan Akib baca puisi pada Festival Bahari Kepulauan Riau malam itu, benar-benar membuat para penonton menyaksikan pembacaan puisi yang berbeda dibandingkan dengan penyair lainnya. Berbeda dimaksudkan bukan hanya dalam penampilan, tetapi puisi yang dibacakannya bolehjadi belum ada yang menulisnya, yakni Batu Akik. Kontan saja para penonton, termasuk para jurnalis terpukau menyaksikannya, dan membuat ada perasaan tersendiri di kalangan penonton, karena sebagian dari mereka memakai cincin akik. Cincin akik telah menjadi perhiasan khas dan umum yang dipakai oleh masyarakat, baik di Kepri, Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Beragam nama batu akik yang disebutkannya, di antaranya adalah batu akik dari tanah kampungnya sendiri, Natuna, yakni batu akik meteor.
Abdul Kadir Ibrahim (Akib) adalah seorang sastrawan nasional, khususnya penyair Inonesia modern (mutahir), yang menurut Harian Kompas (26 Oktober 2016) adalah penulis Indonesia sebagai “Penerus Raja Ali Haji dari Natuna”. Karya-karyanya sudah dibahas ratusan penulis secara nasional dan internasional. Diundang dalam berbagai perhelatan sastra (sastrawan) nasional dan internasional, baik sebagai sastrawan (penyair) ataupun sebagai narasumber ataupun moderator. Kata Penyair Ramon Damora, yang juga dikenal sebagai Ketua PWI Provinsi Kepulauan Riau, sehingga saat ini belum ada seorang penyair pun dari Kepulauan Riau dan Riau yang dapat memecah rekor Akib dalam menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal dalam usia termuda, yakni kurang dari 25 tahun. Sebagian besar penyair di Riau-Kepulauan Riau menerbitkan buku dalam usia di atas 25 tahun dan bahkan 30 tahun.
Tentang kepenyairan Akib digelar sebagai penyair Indonesia modern (mutakhir) dapat dibaca dalam buku Abdul Kadir Ibrahim Penyair Cakrawala Sastra Indonesia (Penyelenggara: Joni Ariadinata, Akar Indonesia, Yogyakarta, 2008). Beberapa pakar bahasa-sastra, sastrawan berpendapat tentang puisi-puisi Akib, antara lain Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, pakar bahasa Indonesia dalam pengantarnya untuk buku Tanah Air Bahasa Indonesia, Komodo Books, Depok, 2013, mengatakan kiprah budayawan Abdul Kadir Ibrahim (Akib)—yang karya kreatif dan kepeduliannya mewakili kejayaan masyarakat Melayu abad ke-20 dan ke-21. – priode yang bersambung ke masyarakat Indonesia modern. Karya-karyanya, membuktikannya menjalankan perannya sebagai eksponen kedua priode kebudayaan itu.
Sedangkan Rida K Liamsi sebagaimana dipublikasikan harian pagi Riau Pos, Pekanbaru, 9 November 2013, menjelaskan ketunakan Akib sebagai pengarang lebih dari separuh hidupnya. Katanya, Anugerah Sagang kategori Seniman Serantau tahun 2013 ditabalkan kepada Abdul Kadir Ibrahim (Akib) adalah sebagai bukti atas keseriusan dan ketunakannya berkarya sejak masih di Pekanbaru dalam tahun 1980-an hingga di Tanjungpinang, Kepri, yang meskipun setelah masuk dalam jajaran birokrat di pemerintah Kota Tanjungpinang, namun kiprahnya di bidang seni budaya tak luntur. Meskipun dia sudah menjadi pejabat, tetapi tetap melahirkan karya-karya yang besar maknanya bagi kemajuan seni budaya Melayu, dan Indonesia.
Sejalan dengan pendapat Rida, Prof. Dr. Budi Darma (Guru Besar Universitas Surabaya) dalam diskuisi buku Dermaga Sastra Indonesia, Bentara Budaya, Jakarta, Selasa, 29 Maret 2011 yang disiarkan Majalah Sastra Horison, Jakarta, XLV/5/2011, Mei 2011, mempertegaskan tentang keberadaan puisi-puisi Akib. Katanya, puisi Akib menyuarakan puisi-puisi mantara, yang lebih menekankan aspirasi bentuk atau form tidak mungkin diabaikan. Penciptaan bentuk atau form lebih rumit dibanding dengan penciptaan isi atau content. Seseorang yang mampu menciptakan ide tertentu, belum tentu mampu menciptakan bentuk atau form untuk menuangkan idenya dalam karyanya. Akib telah melakukan itu dalam puisi-puisinya.
Sebelumnya, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Guru Besar Universitas Indonesia, sebagaimana dikemukakannya dalam diskuisi puisi-puisi Akib di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2004 yang disiarkan Batam Pos, 17 Oktober 2004 dan Majalah Budaya Sagang, Nomor 74/VI, November 2004, antara berpendapat, puisi-puisi Akib adalah puisi mantra, yang menekankan pada bunyi, tidak ada larik, tidak ada alenia, tidak ada titik dan seterusnya. Tidak menekankan pada makna dan tidak terikat dengan aturan bahasa tulis, karena kembali kepada bahasa lisan. Puisi-puisi Akib yang ditulis seperti itu, tampak pada bagaimana ia memainkan kata-kata dalam menuliskannya. Akhirnya terlihat bentuknya yang unik, dan menjadi penting.
Sejalan dengan pendapat demikian, Prof. Dr. Maman S Mahayana, yang juga Guru Besar UI, dalam http://sastragerilyawan.blogspot.co.id/2008), berpendapat, Akib secara meyakinkan tampil sebagai sosok penyair yang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu, yang di satu pihak, ia menyerap estetika pantun, syair, gurindam, dan mantra, dan di lain pihak, ia berusaha justru melakukan perombakan atas tradisi estetik yang diserapnya sendiri. Ia secara serius tampak berusaha melakukan penggalian dan pencarian model estetik yang hendak ditawarkannya. Di sinilah posisi kepenyairannya seperti telah sampai pada jati dirinya yang khas yang tidak gampang dipersamakan dengan penyair lain.
Jamal D. Rahman, sastrawan yang lama menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison, sebagaimana dalam tulisannya, yang disiarkan Harian Kompas, Jakarta, 4 April 2008 dan Majalah Horison, Jakarta, XLII/4/2008, April 2008, Abdul Kadir Ibrahim alias Akib adalah penyair yang lahir dari rahim sejarah Melayu yang panjang, satu eksamplar dari kebudayaan Melayu-Indonesia modern dewasa ini. Dengan demikian, dia adalah kesinambungan sekaligus perubahan dari kebudayaan Melayu Riau (termasuk Kepulauan Riau, kini) dalam konteks sastra Indonesia modern.
Akhirnya Iwan Kurniawan dalam laporannya di Harian Media Indonesia, Jakarta, Rabu, 15 Januari 2014, menyebutkan kepiawaian Akib dalam kesusastraan Melayu, menjadikan kesusastraan Melayu untuk menambah khazanah budaya Indonesia.
Akib putra Natuna, Kepulauan Riau ini mempunyai pergaulan dan kenalan yang luas dengan para budayawan, sastrawan, sejarahwan dan sebagainya. Dia sudah sejak lama akrab dengan Prof. Dr. Zuhdi Susanto (mantan Dirjen Sejarah Kementerian Kebudayan dan Pariwisata RI), Dr. Mukhlis PaEne (Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia) dan dengan Prof. Dr. Pudentia (Ketua Tradisi Lisan Indonesia).
Akib, yang dikenal sebagai pejabat itu, telah mengabdi kepada bangsa dan negara khususnya pada unit kerja Pemerintah Kota Tanjungpinang, sudah hampir 20 tahun. Atas pengabdiannya kepada bangsa dan negara Indonesia sebagai pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (ASN), maka telah menerima penghargaan, yakni Tanda Jasa dan Kehormatan SATYALANCANA KARYA SATYA X TAHUN dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, tahun 2010 dan SATYALANCANA KARYA SATYA XX TAHUN dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo tahun 2015.
Berkenaan dengan kifrah Abdul Kadir Ibrahim sebagai Pejabat, aparatur sipil negara, dalam pembangunan di daerah yang memberi sumbangan untuk kemajuan nasional, Indonesia, juga telah pula menerima beberapa penghargaan secara nasional, yakni Asean Development Citra Awards 2012-2013, APC (Asean Programe Consultant Indonesian Consortium), Jakarta, 6 Juli 2012. Penghargaan The Best Excekutive Citra Awards 2011-2012, Asean Programme Consultant Indonesia Consortium, Jakarta, 5 Disember 2011. Selanjutnya penghargaan Indonesia Best Executive of The Year 2009 dari Citra Mandiri Indonesia, 18 Desember 2009, dan Indonesian Award ”Man of The Year 2009” dari Yayasan Penghargaan Indonesia, 7 November 2009.
Abdul Kadir Ibrahim, lahir di Tanjungbalau, Kelarik Ulu, Bunguran Utara, Natuna, Kepulauan Riau, 4 Juni 1966 dari pasangan suami-istri H. Ibrahim Bukit dan Hj. Hatijah Naim. Dari pernikahannya dengan Hj. Ermita Thaib, S.Ag dikaruniai tiga orang anak, Tiara Ayu Karmita (novelis anak & remaja, 1999), Safril Rahmat (2002), dan Sasqia Nurhasanah (2006). Abdul Kadir Ibrahim mempunyai 11 saudara, yakni Zaharah, Nafiyah, Rokiah, Siti Maisitah, Tunam, Isa, H Bujang Idrin, Adam, Aisyah, Rosnawati, dan Mariah (Salos), yang keluarga besarnya tinggal di Kelarik, Midai, Serasan, Tuik, Ceruk, Kelanga, Tanjung, Sepempang, Ranai, Pengadah, Teluk Butun, Sedanau, Pulau Tiga dan Air Hiu (Aek Yuk).
Adapun jenjeng pendidikan formalnya, Sarjana (S-1) Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah, Istitut Islam Negeri, Sultan Syarif Qasim, Pekanbaru (1991), dan Magister Teknik (S-2), Program Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro, Semarang (2008), Madrasah Aliyah Negeri Pekanbaru (1987), Madrasah Tsanawiyah Sedanau-Natuna (1984), Sekolah Dasar Negeri Kelarik-Natuna (1981).
Sebagai pejabat di jajaran Pemerintah Kota Tanjungpinang, secara pangkat dan golongan termasuk di antara pejabat yang senior. Adapun jabatan yang telah diduduki oleh putra Hj. Hatijah Na’im dengan H. Ibrahim Bukit, ini dalam masa kerja 20 tahun (1994-2016), pada eselon II sebanyak 6 (enam) jabatan, yakni 1) Sekretaris DPRD Kota Tanjungpinang (Februari 2015-sekarang); 2) Staf Ahli Walikota Tanjungpinang Bidang Ekonomi dan Keuangan (2014-2015); 3) Staf Ahli Walikota Tanjungpinang Bidang Pemerintahan (2013-2014);4) Staf Ahli Walikota Tanjungpinang Bidang SDM (2012-2013); 5) Kepala Badan Kesbangpol Linpenmas Kota Tanjungpinang (2001-2012); dan 6) Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2009-2011). Juga menjabat jabatan eselon II, yakni menjadi PLT Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2007-2008).
Adapun jabatan eselon III yang pernah diembannya adalah 1) Kepala Bagian Humas Sekretariat Daerah Kota Tanjungpinang (2008-2009); dan 2) Kabid Sejarah, Purbakala, Nilai Budaya dan Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2006-2008). Jabatan eselon IV, yakni 1) Kasi Sejarah, Purbakala dan Pemuseuman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2005-2006); dan 2) Kasubdin Kebudayaan pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang (2002-2005). Selama enam tahun menjadi guru, 1) Guru SMP Negeri 4 Tanjungpinang, Kepulauan Riau (1998-2002) dan 2) Guru SMP Negeri Midai, Natuna, Kepulauan Riau (1994-1998).
Dalam rangka penambah dan pengembangkan pemikiran dan wawasan tentang penataan wilayah dan kota serta kebudayaan, Abdul Kadir Ibrahim pernah mengunjungi beberapa negara, antara lain Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Hongkong, Chaina, Macau, Sinzen, dan Zuhei. Pengalamannya menunaikan ibadah haji bersama isteri tercinta, Ermita juga menjadi bagian penting baginya dalam pengetahuan dan pemahaman tentang pengembangan wilayah dan kota, dari apa yang dilihatnya di Madinah, Makah, dan Jeddah.
Oleh : Irfan Atatrik