Geo-Strategis Kepulauan Natuna
Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA
Wilayah atas Kepulauan Natuna merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Hal tersebut merupakan wujud dari ketegasan Indonesia atas informasi yang
mengatakan bahwa Cina akan dan telah mengklaim sebagian atau seluruh wilayah Kepulauan
Natuna sebagai wilayahnya. Isu dan klaim tersebut muncul seiring ketegangan yang muncul di
kawasan Laut Cina Selatan (LCS) dalam hal memperebutkan wilayah di Gugusan Kepulauan
Laut Cina Selatan dan Gugusan Kepulauan Spartly. Tiongkok bersengketa dengan negara negara
di kawasan ASEAN seperti Vietnam, Brunai Darussalam, Philipina dan Malaysia di satu pihak
dan di pihak lainnya bersengketa pula dengan Taiwan. Seiring dengan ketegangan di wilayah
tersebut, juga memberi dampak terhadap Indonesia khususnya wilayah di Kepulauan Natuna dan
sekitarnya. Potensi dan kekayaan Kepulauan Natuna akan kekayaan Migas dan sumber daya
perikanan telah secara tak langsung memiliki ketegangan dengan Tiongkok.
Tiongkok secara tidak sengaja “mengklaim” wilayah Natuna sebagai wilayahnya. Hal
tersebut diperlihatkan dengan peta Tiongkok yang masih memuat sembilan garis putus putus
(nine dash line) ke dalam peta wilayahnya yang bersentuhan dengan 200 mil wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan berpotensi disengketakan. Persinggungan sembilan
garis putus-putus (nine dash line) tersebut di peta Tiongkok dengan wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) Indonesia menjadi awal dari perselisihan dan perbedaan pendapat oleh kedua
negara tersebut.
Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) pada tanggal 12 Juli 2016 yang
didukung oleh PBB mengatakan bahwa Tiongkok telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut
Cina Selatan (LCS). Filipina sebelumnya membawa sengketa Laut Cina Selatan (LCS) ke.
Arbitrase Internasional karena menentang garis batas yang disebut Tiongkok sebagai Sembilan garis putus putus (nine dash line) yang berdampak pula terhadap Kepulauan Natuna.
Sembilan garis putus putus tersebut yang dihubungkan dari Pulau Hainan tersebut mengklaim wilayah seluas 2 juta kilometer persegi di laut Cina Selatan tersebut sebagai wilayah Cina sehingga akan mengambil kurang lebih 30% laut Indonesia di Natuna, 80% Laut Filipina, 80% laut Malaysia, 50% laut Vietnam dan 90% Laut Brunei Darussalam.
Cina mengklaim tersebut didasarkan
kepada hak historis bahwa pelaut dan nelayan cina pernah menggunanakan laut Cina Selatan.
jika mengacu kepada Hukum Laut Internasional, hak historis tersebut otomatis hilang jika tidak sesuai dengan penetapan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif yang disepakati dalam perjanjian Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dengan melihat perkembangan yang demikian membuat Indonesia khususnya di wilayah
Natuna khawatir dengan klaim sepihak Tiongkok tersebut. Namun bagaimanapun wilayah Kepulauan Natuna menjadi wilayah territorial dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun seiring perkembangan dan dinamika di wilayah Laut Cina Selatan tersebut, pihak Tiongkok telah meyakinkan Indonesia bahwa Kepulauan Natuna milik Indonesia. Secara batas wilayah dan territorial, Indonesia dan Tiongkok sebenarnya tidak memiliki sengketa atas wilayah di Laut Cina Selatan.
Hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Kementerian luar negeri Tiongkok yang
mengumumkan kesediaan Tiongkok untuk mengakui kedaulatan Indonesia atas Kepulauan
Natuna. Kementerian luar negeri Tiongkok sama sekali tidak meragukan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Namun pada prinsipnya Tiongkok mengatakan bahwa Kepulauan Natuna merupakan kedaulatan Indonesia dan garis putus putus (nine dash line) tersebut di luar batas 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Indonesia tidak memiliki klaim atau konflik dengan Tiongkok di wilayah Laut Cina Selatan dan Kepulauan Spratly.
Seperti diberitakan oleh Washington Times sebelumnya, kedua negara Indonesia dan
Tiongkok telah sepakat tidak bersengketa di wilayah dalam area yang diklaim oleh Tiongkok
sebagai Sembilan garis putus putus (nine dash line). Tiongkok secara tegas menyatakan kepada Indonesia bahwa tidak akan meragukan kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Tetapi,mereka sengaja menghindari untuk membicarakan mengenai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang bersentuhan dengan sembilan garis putus putus (nine dash line) yang dimuat dalam peta tersebut.
Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 (The United Nations Convention
on the Law of the Sea = UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, Indonesia diakui sebagai sebuah negara Kepulauan (Archipelagic State). Ini artinya bahwa, Indonesia sebagai negara Kepulauan dibolehkan menarik atau menetapkan untuk pengukuran perairan Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landasan Kontinental. Dan pihak Tiongkok mengetahui bahwa Kepulauan Natuna milik Indonesia yang kalau diukur sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982. Posisinya memang berada jauh dari Gugusan Laut Cina Selatan (LCS) dan Gugusan Kepulauan Spratly yang disengketakan oleh Tiongkok dengan negara negara seperti Vietnam, Malaysia, Brunai Darussalam, Filipina dan Taiwan.
Dalam Bab IV, Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 yang berisikan tentang negara Kepulauan selain mengatur ketentuan-ketentuan yang memperluas kedaulatan dan yurisdiksi suatu negara kepulauan, juga diimbangi dengan kewajiban negara kepulauan untuk mengakomodasikan kepentingan internasional dalam bentuk hak hak lintas yang agak bebas bagi
segala jenis kapal dan pesawat udara asing, termasuk kapal dan pesawat udara militer. Menurut pasal 47 ayat (1) UNCLOS, negara Kepulauan berhak menarik garis pangkal Kepulauan (Archipelagic Base-Line), sebagai dasar oengukuran wilayah perairannya dan titik-titik terluar dan pualu-pulau terluarnya. Penarikan garis tersebut mencakup lebar (batas) Laut Territorial, Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Garis pangkal Kepulauan merupakan garis pangkal lurus yang ditarik menghubungkan titik titik terluar dari pulau-pulau dan karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagian dari negara Kepulauan.
Penarikan garis pangkal lurus Kepulauan dilakukan dengan memperhatikan tatanan letak Kepulauan atau kelompok pulau-pulau yang letaknya berurutan dan bersambungan secara beraturan.
Maka penarikan garis pangkal lurus Kepulauan tidak dapat dilakukan menyimpang dari arah konfigurasi umum Kepulauan. Apa yang dilakukan oleh Tiongkok dengan membuat
sembilan garis putus putus (nine dash line) dan kecenderungannya bersentuhan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sangat tidak beralasan dan klaim tersebut lemah di lihat dari konteks Hukum Laut Internasional tahun 1982.
Oleh sebab itu, informasi yang menyebutkan bahwa Tiongkok memasukkan wilayah
Kepulauan Natuna ke dalam peta wilayahnya sangat tidak beralasan dan sangat lemah di lihat dari Hukum Laut Internasional tahun 1982. Dengan kekalahan Tiongkok di Arbitrase
Internasional pada 12 Juli 2016 yang bersengketa dengan Filipina semakin mengukuhkan bahwa Indonesia berada diluar konflik di Laut Cina Selatan (LCS) dan menegaskan kembali bahwa wilayah Kepulauan Natuna sepenuhnya milik Indonesia dan secara tegas pula menyatakan
bahwa Kepulauan Natuna tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sebagai negara Kepulauan (Archipelagic State), Indonesia memiliki kedaulatan atas Kepulauan Natuna.
Penulis adalah Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Riau/Alumni Ekonomi-Politik
Internasional IKMAS UKM Malaysia
Penulis Buku “Membangun Masa Depan Natuna”
Ditulis Oleh Radar Kepri
Pada Sab 05 Jan 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini.
Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0.
You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.