; charset=UTF-8" /> STRATEGI MENGATASI KESULITAN BELAJAR - | ';

| | 18,267 kali dibaca

STRATEGI MENGATASI KESULITAN BELAJAR

(Sebuah Pendekatan Psikologis)

DSC000851

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP

Dalam proses pengajaran sebagai bagian dari praktek pendidikan di lembaga sekolah, keberadaan siswa sebagai raw input merupakan faktor yang penting bagi keberhasilan sebuah lembaga pendidikan dalam memproduksi lulusan yang berkualitas. Kemampuan individual siswa yang satu dengan yang lain secara alamiah tidaklah sama. Kondisi kemampuan individual siswa itu kadangkala ada pada taraf apa yang disebut dengan kesulitan belajar. Mengingat pentingnya faktor siswa dalam proses pengajaran, maka diperlukan strategi-strategi tertentu dalam mengatasi kesulitan belajar pada siswa.

 

Pengertian Belajar

            Secara psikologis, belajar merupakan  suatu proses perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, perubahan-perubahan tersebut nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Belajar juga didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar tersebut mempunyai ciri sebagai berikut. Pertama, perubahan itu terjadi secara sadar. Kedua, perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional. Ketiga, perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif. Keempat, perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara. Kelima, perubahan dalam belajar bersifat bertujuan atau terarah. Keenam, perubahan tersebut mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2003).

Berdasarkan pendapat Cronbach, Harold Spears dan Geoch tentang definisi belajar, Sardiman A.M. (2001) menjelaskan bahwa belajar itu merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan, misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Belajar itu akan lebih baik kalau si subjek belajar itu (siswa) mengalami atau melakukannya. Secara umum, belajar dikatakan juga sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia (id-ego-super ego) dengan lingkungannya, yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori. Dalam hal ini terkandung suatu maksud bahwa proses interaksi itu adalah proses internalisasi dari sesuatu ke dalam diri si subjek belajar (siswa) dan dilakukan secara aktif dengan segenap panca indera ikut berperan. Belajar juga menempatkan seseorang dari status abilitas yang satu ke tingkat abilitas yang lain. Perubahan status abilitas ini, menurut Bloom, meliputi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Skinner, seperti dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Pertama, belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Kedua, belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus. Sementara itu Hintzman (1978) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, manusia atau hewan, disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil dari pengalaman.

Reber (1989) dalam kamusnya, Dictionary of Psychology, membatasi belajar dengan dua macam definisi. Pertama, belajar adalah proses memperoleh pengetahuan. Kedua, belajar adalah suatu perubahan kemampuan berekasi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat. Biggs (1991) mendefinisikan belajar dalam tiga rumusan. Pertama, secara kuantitatif, belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Kedua, secara institusional, belajar adalah proses validasi terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah dipelajari. Ketiga, secara kualitatif, belajar adalah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan  dunia di sekeliling siswa.

Bertolak dari berbagai definisi yang diutarakan di atas, Muhibbin Syah (2004) secara umum mendefinisikan belajar sebagai tahapan-tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Dengan demikian, perubahan-perubahan tingkah laku yang timbul sebagai akibat dari proses kematangan fisik, keadaan mabuk, lelah, dan jenuh, tidak dapat dipandang sebagai proses belajar.

Sejalan dengan pendapat di atas, Syaiful Bahri Djamarah (2002) menjelaskan bahwa  belajar adalah suatu kegiatan dengan melibatkan dua unsur sekaligus, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik, tetapi perubahan jiwa dengan sebab masuknya kesan-kesan yang baru. Dengan demikian, maka perubahan fisik akibat serangan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga, penyakit bisul, dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan sebagai hasil dari proses belajar adalah perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang. Selanjutnya Djamarah mendefinisikan belajar sebagai “serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interkasi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor.”

Berdasarkan pendapat-pendapat para pakar di atas, maka dapat dirumuskan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh tahapan-tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif, afektif, dan psikomotor.

Faktor yang Mempengaruhi Belajar

            Secara global, Muhibbin Syah (2004) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa), dan faktor pendekatan belajar. Faktor internal yang mempengaruhi belajar meliputi aspek fisiologis dan aspek psikologis (inteligensi, sikap, bakat, minat, dan motivasi siswa). Faktor eksternal yang mempengaruhi belajar adalah mencakup faktor lingkungan sosial (sekolah: para guru, staf administrasi dan teman-teman sekelas; masyarakat, dan keluarga siswa), dan lingkungan non-sosial (letak gedung sekolah, rumah tempat tinggal siswa, alat-alat belajar, keadaan cuaca, dan waktu belajar).

Slameto (2003) membagi faktor-fakor yang mempengaruhi belajar ke dalam dua kelompok, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh), faktor psikologis (inteligensi, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan, dan kesiapan), dan faktor kelelahan. Sedangkan faktor ekstern mencakup faktor keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan), faktor sekolah (metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas di rumah), dan faktor masyarakat (kegiatan siswa di masyarakat, media massa, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat).

Syaiful Bahri Djamarah (2002) membagi faktor yang mempengaruhi belajar ke dalam empat kelompok, yaitu faktor lingkungan dan faktor instrumental (disebut faktor luar), faktor fisiologis dan faktor psikologis (disebut faktor dalam). Faktor lingkungan mencakup lingkungan alami seperti lingkungan tempat tinggal siswa, dan lingkungan sosial budaya. Faktor instrumental meliputi kurikulum, program, sarana dan fasilitas, dan guru. Faktor fisiologis mencakup kondisi panca indera dan faktor psikologis meliputi minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan kognitif.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan para pakar di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa meskipun mereka sedikit berbeda dalam menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar, namun pada dasarnya mereka sepakat bahwa yang berpengaruh terhadap belajar itu ada dua faktor, yaitu yang berada dalam diri siswa itu sendiri (intern) dan faktor yang berasal dari luar diri siswa (ekstern).

 

Pengertian Kesulitan Belajar

            Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di lapangan ilmu pendidikan, psikologi, maupun kedokteran. Pada tahun 1963, Samuel A. Kirk untuk pertama kali menyarankan nama-nama gangguan anak seperti disfungsi otak minimal, gangguan neurologis, disleksia, dan afasia perkembangan menjadi satu nama, yaitu kesulitan belajar (learning disabilities) (Mulyono Abdurrahman, 2003). Muhibbin Syah (2004) menerjemahkan kesulitan belajar ke dalam bahasa Inggris dengan istilah learning difficulty.

            Definisi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United State Office of Education (USOE) pada tahun 1977, yang hampir identik dengan definisi yang dikemukakan oleh The National Advisory Committee on Handicapped Children pada tahun 1967. Definisi tersebut dikutip oleh Hallahan, Kauffman, dan Lloyd (1985) seperti ditulis Mulyono Abdurrahman (2003) sebagai berikut.

Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kesulitan mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja, atau berhitung. Batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan, pendengaran, atau motorik, hambatan karena tunagrahita, karena gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya atau ekonomi.

            The Board of the Association for Children and Adult with Learning Disabilities (ACALD), sebagaimana dikutip Lovitt (1987), mengemukakan definisi kesulitan belajar sebagai berikut.

Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan, integrasi, dan atau kemampuan verbal dan atau nonverbal.

Kesulitan belajar khusus tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior, yang memiliki sistem sensoris yang cukup, dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya.

Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap harga-diri, pendidikan, pekerjaan, sosialisasi, dan atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut Mulyono Abdurrahman (2003). Pertama, kesulitan belajar diduga disebabkan oleh gangguan neurologis. Kedua, kesulitan belajar dapat berwujud sebagai suatu kekurangan dalam satu atau lebih bidang akademik, baik mata pelajaran bersifat spesifik seperti membaca, menulis, matematika, dan mengeja; atau dalam keterampilan yang bersifat umum seperti mendengarkan, berbicara dan berpikir. Ketiga, kesulitan belajar dapat muncul dalam bentuk penyesuaian sosial ataupun vokasional, keterampilan kehidupan sehari-hari atau harga diri. Keempat, anak berkesulitan belajar memperoleh prestasi jauh di bawah potensi yang dimiliknya. Kelima, kesulitan belajar tidak dapat disamakan dengan tunagrahita, gangguan emosional, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau kemiskinan budaya dan sosial. Keenam, pengertian kesulitan belajar harus disebabkan oleh adanya gangguan fungsi neurologis atau dikaitkan pada dugaan adanya kelainan fungsi neurologis.

Di Indonesia belum ada definisi baku tentang kesulitan belajar. Menurut Mulyono Abdurrahman (2003), para guru umumnya memandang semua siswa yang memperoleh prestasi belajar rendah disebut siswa yang berkesulitan belajar. Syaiful Bahri Djamarah (2002) mendefinisikan kesulitan belajar sebagai suatu kondisi di mana anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam belajar. Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (2004)  memberikan pengertian kesulitan belajar sebagai keadaan di mana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas secara umum dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kesulitan belajar adalah suatu kondisi di mana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya disebabkan adanya gangguan belajar.

Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

            Secara garis besar, menurut Mulyono Abdurramhan (2003), kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Pertama, kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (development learning disabilities) yang mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku. Kedua, kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities) yang menunjuk pada adanya kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan membaca, menulis dan atau matematika.

            Menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002), kesulitan belajar pada siswa dapat dikelompokkan menjadi empat macam. Pertama, dilihat dari segi kesulitan belajar maka kesulitan belajar ada yang berat dan ada yang sedang. Kedua, dilihat dari segi mata pelajaran yang dipelajari, maka kesulitan belajar ada yang sebagian mata pelajaran saja, dan ada juga yang bersifat sementara. Ketiga, jika dilihat dari sifat kesulitannya, maka kesulitan belajar ada yang bersifat menetap, dan ada yang bersifat sementara. Keempat, jika dilihat dari segi faktor penyebabnya, maka kesulitan belajar ada yang disebabkan faktor inteligensi, dan  juga ada yang dikarenakan faktor non-inteligensi.

Dalam pandangan Mulyono Abdurrahman (2003), prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi neurologis. Sedangkan penyebab utama problem belajar (learning problems) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan yang  tidak  tepat.   Berbagai faktor   yang menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar antara lain adalah: faktor genetik, luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen, biokimia yang hilang, biokimia yang dapat merusak otak seperti zat pewarna pada makanan, pencemaran lingkungan seperti pencemaran timah hitam, gizi yang tidak memadai, dan pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak.

            Muhibbin Syah (2004) juga membagi faktor-faktor yang penyebab timbulnya kesulitan belajar ke dalam dua jenis, yaitu faktor intern siswa dan faktor ekstern siswa. Faktor intern siswa adalah hal-hal atau keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi keadaan yang  bersifat kognitif (rendahnya kapasitas intelektual atau inteligensi siswa), keadaan yang bersifat afektif (labilnya emosi dan sikap), dan keadaan yang bersifat psikomotor (terganggunya alat-alat indera penglihatan dan indera pendengaran). Faktor ekstern siswa meliputi lingkungan keluarga (ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya keadaan ekonomi keluarga), lingkungan perkampungan atau masyarakat (wilayah kumuh, dan teman sepermainan yang nakal), lingkungan sekolah (kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat belajar yang berkualitas rendah.

            Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, seperti dijelaskan Muhibbin Syah (2004), ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Menurut Reber (1988) sindrom yang menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri dari: disleksia (ketidakmampuan belajar membaca), disgrafia (ketidakmampuan belajar menulis, dan diskalkulia (ketidakmampuan belajar matematika).

            Namun demikian, siswa yang mengalami sindrome-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ (kecerdasan intelektual) yang normal bahkan di antaranya ada yang meiliki kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi, seperti dikemukakan Lask (1985), dan Reber (1988), mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak.

            Syaiful Bahri Djamarah (2002) membagi faktor penyebab kesulitan belajar ini menjadi tiga, yaitu faktor siswa, sekolah, keluarga dan masyarakat sekitar. Faktor siswa mencakup: inteligensi yang kurang baik, bakat yang kurang atau tidak sesuai, emosional yang labil, aktivitas belajar yang kurang, kebiasaan belajar yang kurang baik, penyesuaian sosial yang sulit, latar belakang pengalaman yang pahit, cita-cita yang tidak relevan, latar belakang pendidikan yang kurang baik, ketahanan belajar tidak sesuai dengan tuntutan waktu belajar, keadaan fisik yang kurang menunjang, kesehatan yang kurang baik, seks atau pernikahan yang tak terkendali, pengetahuan dan keterampilan dasar yang kurang memadai, dan tidak ada motivasi dalam belajar.

            Faktor sekolah yang menyebabkan kesulitan belajar mencakup pribadi guru yang kurang baik, guru tidak berkualitas, hubungan guru dengan siswa kurang harmonis, guru-guru menuntut standar pelajaran di atas kemampuan siswa, guru tidak memiliki kecakapan dalam usaha mendiagnosis kesulitan belajar siswa, cara guru mengajar kurang baik, alat atau media kurang memadai, perpustakaan sekolah kurang memadai, fasilitas sekolah tidak memenuhi syarat kesehatan, suasana sekolah kurang menyenangkan, bimbingan dan penyuluhan tidak berfungsi, kepemimpinan dan administrasi yang kurang kondusif, dan waktu sekolah dan disiplin kurang.

            Faktor keluarga yang menyebabkan kesulitan belajar pada siswa adalah meliputi: kurangnya alat belajar bagi siswa di rumah, kurangnya biaya pendidikan yang disediakan keluarga, siswa tidak mempunyai tempat belajar khusus, ekonomi keluarga yang terlalu lemah, kesehatan keluarga yang kurang baik, perhatian orang tua yang tidak memadai, kebiasaan keluarga yang tidak menunjang, kedudukan siswa dalam keluarga yang menyeihkan, dan siswa terlalu banyak membantu orang tua. Sedangkan yang termasuk dalam faktor masyarakat adalah: media massa yang tidak kondusif, lingkungan yang gaduh dan kotor.

 

Strategi Mangatasi  Kesulitan Belajar

            Strategi dipahami sebagai suatu garis besar haluan bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Djamarah dan Zain, 2002). Dengan demikian, strategi mengatasi kesulitan belajar pada siswa berarti garis besar haluan bertindak dalam mengatasi kesulitan belajar pada siswa dalam rangka mencapai sasaran yang ditentukan, yaitu tercapainya tujuan belajar yang diinginkan. Dalam tulisan ini, penulis membagi strategi mengatasi kesulitan belajar pada siswa ini menjadi dua, yaitu strategi umum dan strategi khusus.

 

Strategi umum

Pada dasarnya, banyak strategi alernatif yang dapat diambil dalam mengatasi kesulitan belajar siswa. Akan tetapi, seperti dijelaskan Muhibbin Syah (2004), sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut. Pertama, menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Kedua, mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan. Bidang-bidang bermasalah dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri; kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua; kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik guru maupun orang tua. Ketiga, menyusun program perbaikan, khususnya progarm remedial teaching (pengajaran perbaikan). Dalam menyusun program perbaikan, sebelumnya guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut: tujuan pengajaran remedial; materi pengajaran remedial; metode pengajaran remedial; alokasi waktu pengajaran remedial; dan evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial. Setelah langkah-langkah tersebut selesai, maka sebagai langkah keempat adalah melaksanakan program perbaikan.

            Secara garis besar, menurut Syaiful Bahri Djamarah (2002), langkah yang perlu ditempuh dalam mengatasi kesulitan belajar pada siswa dapat dilakukan melalui enam tahap sebagai berikut. Pertama, pengumpulan data. Pengumpulan data dapat dilakukan melalui: kunjungan rumah, studi kasus, case history, daftar pribadi, meneliti pekerjaan siswa, meneliti tugas kelompok dan melaksanakan tes IQ dan tes prestasi. Kedua, pengolahan data. Pengolahan data dapat dilakukan melalui langkah-langkah: identifikasi kasus, membanding antar kasus, membandingkan dengan hasil tes, dan menarik kesimpulan. Ketiga, diagnosis. Diagnosis adalah keputusan mengenai hasil dari pengolahan data. Diagnosis dapat berupa: keputusan mengenai berat dan ringan kesulitan belajar siswa, keputusan mengenai faktor yang ikut menjadi penyebab kesulitan belajar siswa, dan keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar siswa.

Keempat, prognosis. Keputusan yang diambil berdasarkan hasil diagnosis menjadi dasar pijakan dalam kegiatan prognosis. Dalam prognosis dilakukan penyusunan program bantuan terhadap siswa yang berkesulitan belajar. Dalam penyusunan program tersebut dapat diajukan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan rumus 5W + 1H. Who, siapa yang memberi bantuan kepada siswa dan siapa yang harus mendapat bantuan? What, materi apa yang diperlukan? Alat bantu apa yang harus dipersiapkan? Pendekatan dan metode apa yang digunakan?  When, kapan pemberian bantuan itu dilakukan? Where, di mana bantuan itu dilaksanakan? Which, siswa yang mana diprioritaskan mendapatkan bantuan lebih dulu? How, bagaimana pemberian bantuan itu dilaksanakan?

Kelima, perlakuan (treatment). Bentuk-bentuk perlakuan yang mungkin dapat diberikan adalah: melalui bimbingan belajar individual, melalui bimbingan belajar kelompok, melalui remedial teaching, melalui bimbingan orang tua di rumah, bimbingan pribadi untuk masalah-masalah psikologis, bimbingan mengenai cara belajar yang baik secara umum, dan bimbingan mengenai cara belajar yang baik sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran. Keenam, evaluasi. Evaluasi di sini dimaksudkan untuk mengetahui apakah treatment yang telah diberikan itu berhasil dengan baik. Jika hasil perlakuan kurang baik, maka perlu dilakukan pengecekan. Secara teoretis langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah: re-ceking, re-diagnosis, re-prognosis, re-treatment, dan re-evaluasi. Jika perlakuan tetap kurang baik, maka pelakuan harus diulang.

 

Strategi khusus

Kesulitan belajar, seperti dikemukakan Mulyono Abdurrahman (2003), paling tidak mencakup kesulitan belajar kognitif, kesulitan belajar bahasa (bahasa ujaran, membaca, dan menulis) dan kesulitan belajar matematika. Mengingat terbatasnya ruang, maka dalam bagian ini hanya akan dibahas strategi khusus mengatasi kesulitan belajar kognitif dan kesulitan belajar bahasa ujaran.

            Kesulitan belajar kognitif adalah salah satu bentuk kesulitan belajar yang bersifat perkembangan  (development learning) atau kesulitan belajar preakademik (preacademic learning disabilities). Kesulitan belajar jenis ini perlu mendapat perhatian karena sebagian besar dari belajar akademik terkait dengan ranah kognitif. Salah satu elemen penting dari kognisi adalah ingatan atau memori. Ingatan atau memori ini memiliki peran penting dalam pencapaian prestasi belajar akademik. Di samping itu, metakognisi juga merupakan bagian yang sangat penting bagi pengembangan motorik.

            Ada dua strategi memori yang sering digunakan oleh siswa yang tidak berkesulitan belajar tetapi tidak digunakan oleh siswa berkesulitan belajar. Kedua strategi memori tersebut adalah pengulangan dan pengorganisasian. Oleh karena itu, siswa berkesulitan belajar perlu dilatih untuk mengulangi dan mengorganisasikan materi yang harus dipelajari agar strategi ini menjadi kebiasaan.

            Metakognisi, menurut Flavell dan Schoenfield, merupakan pengetahuan tentang penggunaan dan keterbatasan informasi dan strategi khusus  serta kemampuan mengontrol dan mengevaluasi penggunaannya. Oleh karena itu, keterampilan meta- kognisi sering disebut juga keterampilan eksekutif, keterampilan manajerial atau keterampilan mengontrol. Siswa berkesulitan belajar umumnya memiliki keterampilan metakognisi yang rendah. Dalam kaitan adanya metakognisi ini, Hallahan, kauffman dan Lloyd merinci adanya metamemory, metalistening, dan metacomprehension. Metamemory berkenaan dengan pengetahuan tentang proses memorinya sendiri dan penggunaannya; metalistening berkenaan dengan pengetahuan tentang proses mendengarkan atau cara memperhatikan suatu pembicaraan yang disampaikan orang lain kepadanya, sedangkan metacomprehension berkenaan dengan pengetahuan seseoang tentang proses memahami bacaan yang dilakukannya sendiri.

            Dalam mengatasi siswa yang mengalami masalah dengan metamemory perlu menggunakan strategi memori seperti penggunaan “jembatan keledai” atau pengorganisasian materi pelajaran yang perlu dihapal hendaknya secara langsung diajarkan kepada siswa yang bersangkutan. Sementara itu siswa yang mengalami masalah dengan metalistening, perlu dibimbing agar mereka berupaya mengumpulkan informasi yang cukup sebelum menjawab suatu permasalahan. Sedangkan siswa yang mengalami kelemahan keterampilan metacomprehension, Hallahan, Kauffman dan Lloyd mengemukakan strategi-strategi: menjelaskan tujuan membaca, memusatkan perhatian pada bagian-bagian penting bacaan, memantau taraf pemahamannya sendiri, membaca ulang dan membaca cepat lebih dahulu, menggunakan kamus atau ensiklopedi.

            Bahasa merupakan suatu komunikasi yang terintegrasi, mencakup bahasan, ujaran, membaca dan menulis. Di sini hanya dibahas tentang kesulitan belajar bahasa ujaran. Menurut Lovitt, penyebab terjadinya kesulitan belajar bahasa adalah kekurangan kognitif yang meliputi memahami dan membedakan makna bunyi wicara, pembentukan konsep dan pengembangannya ke dalam unit-unti semantik, mengklasifikasikan kata, mencari dan menetapkan kata yang ada hubungannya dengan kata lain, memahami saling keterkaitan antara masalah, proses, dan aplikasinya, perubahan makna dan menangkap makna secara penuh; kekurangan dalam memori; kekurangan kemampuan menilai; kekurangan kemampuan produksi bahasa; dan kekurangan pragmatik.

            Strategi mengatasi kesulitan belajar bahasa dapat dilakukan dengan lima macam pendekatan remediasi (Mulyono Abdurrahman, 2003). Pertama, pendekatan proses yang bertujuan untuk memperkuat dan menormalkan proses yang dipandang sebagai dasar dalam memperoleh kemahiran berbahasa dan komunikasi verbal. Proses yang ditekankan pada  jenis remediasi ini adalah persepsi auditoris, memori, asosiasi, interpretasi, dan ekspresi verbal. Tujuan remediasi ditekankan pada peningkatan pemahaman bahasa dan penggunaan modalitas auditoris, menulis, dan bahasa nonverbal. Pendekaan ini sering disebut juga pendekatan psikolinguistik. Kedua, pendekatan analisis tugas yang bertujuan untuk meningkatkan kompleksitas pengertian (semantik), struktur (morfologis dan sintaksis), atau fungsi (pragmatik) bahasa siswa. Pendekaan ini menekankan pada pengembangan arti kata, konsep bahasa, dan memperkuat kemampuan berpikir logis. Ketiga, pendekatan behavioral atau perilaku yang bertujuan untuk memodifikasi atau mengubah bahasa lahir dan perilaku komunikasi. Pendekatan ini secara umum menggunakan prinsip-prinsip operan conditioning untuk memunculkan perilaku yang diharapkan atau menghilangkan perilakuk bahasa yang tidak sesuai. Keempat, pendekatan interaktif-interpersonal yang secara umum bertujuan untuk memperkuat kekemampuan pragmatik dan memngembangkan kompetensi komunikasi. Tujuan lainnya adalah meningkatkan pengambilan peran dan kemampuan pengambilan peran siswa dalam berkomunikasi, mengembangkan persepsi sosial non-verbal, dan meningkatkan gaya komunikasi verbal dan non-verbal. Kelima, pendekatan sistem lingkungan total yang bertujuan untuk menciptakan peristiwa atau situasi yang kondusif, sehingga dengan demikian mendorong terjadinya peningkatan frekuensi berbahasa dan pengalaman berkomunikasi siswa. Pendekaan ini sering disebut juga dengan pendekatan holistik.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, kesulitan belajar adalah suatu kondisi di mana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya disebabkan adanya gangguan belajar. Kedua, banyak faktor yang menjadi sebab munculnya kesulitan belajar pada siswa yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor besar, yaitu faktor intern siswa dan faktor ektern siswa. Faktor intern siswa meliputi keadaan yang  bersifat kognitif seperti rendahnya kapasitas intelektual atau inteligensi siswa, keadaan yang bersifat afektif seperti labilnya emosi dan sikap, dan keadaan yang bersifat psikomotor seperti terganggunya alat-alat indera penglihatan dan indera pendengaran. Faktor ekstern siswa meliputi lingkungan keluarga seperti ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya keadaan ekonomi keluarga, lingkungan perkampungan atau masyarakat seperti wilayah kumuh, dan teman sepermainan yang nakal, lingkungan sekolah seperti kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat belajar yang berkualitas rendah. Selain itu, faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar) yang terdiri dari disleksia, disgrafia, dan diskalkulia.

            Ketiga, strategi mengatasi kesulitan belajar pada siswa penulis kategorikan ke dalam dua bagian, yaitu strategi umum yang meliputi analisis hasil diagnosis, menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran perbaikan), dan melaksanakan program perbaikan; dan strategi khusus yang merupakan pengembangan dari strategi umum identifikasi dan penentuan bidang kecakapan yang memerlukan perbaikan. Dalam strategi khusus ini, strategi mengatasi kesulitan belajar dilakukan sesuai dengan jenis kesulitan belajar yang dialami siswa. Keempat, sebaiknya pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan pendidikan siswa mengetahui lebih jauh tentang strategi mengatasi kesulitan belajar. Penulis berasumsi bahwa di lapangan akan ditemukan bentuk-bentuk kesulitan belajar dengan variasinya yang ada. Oleh karena itu, pengetahuan tentang bentuk dan strategi mengatasi kesulitan belajar pada siswa menjadi penting untuk diketahui. Kelima, perlu dilakukan penelitian lebih jauh dan lebih intensif tentang strategi mengatasi kesulitan belajar pada siswa, terutama penelitian yang bersifat field research yang dengannya diharapkan akan ditemukan lagi strategi-strategi baru yang mungkin saja lebih jitu dalam mengatasi kesulitan belajar pada siswa.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP, adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Penceramah Damai Indonesiaku TVOne, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Sen 10 Nov 2014. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek