; charset=UTF-8" /> Keberagaman Etnis Dan Agama di Malaysia - | ';

| | 490 kali dibaca

Keberagaman Etnis Dan Agama di Malaysia

Oleh
Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA
Berbicara tentang etnis di Malaysia, tentu tidak bisa dilepaskan bahwa Malaysia dikenal
sebagai sebuah negara yang multi-etnis dengan keberagaman etnis dan agamanya. Sebagai
negara yang multi etnis, Malaysia telah mengatur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khusus bagi pemeluknya masing-masing. Selama ini, Malaysia kita kenal memiliki berbagai macam etnis maupun agama. Keberagaman (heterogen) tersebut memperkaya sikap toleransi diantara masyarakatnya.
Manakala terjadi gesekan-gesekan yang bernuansa SARA dengan cepat segera diselesaikan oleh pihak berwenang, Peristiwa 13 Mei 1969 mengingatkan kembali tragedi
kerusuhan rasial antara etnis melayu dan etnis tionghoa. Peristiwa 13 Mei 1969 merupakan
peristiwa yang membawa memori bagi masyarakat Malaysia umumnya, khususnya dari etnis Melayu dan Tionghoa. Akibat dan dampak kerusuhan tersebut, semakin mendewasakan masyarakatnya akan hidup toleransi dan saling hormat menghormati diantara berbagai etnis dan agama yang ada di Malaysia. Walaupun umumnya tidak ada konflik secara besar dan meluas, namun kerikil-kerikil kecil juga mewarnai hubungan diantara warga berbagai etnis (kaum) tersebut.
Pengalaman peristiwa 13 Mei 1969 lalu sempat membuat Malaysia “lumpuh”, sebagai akibat konflik horizontal dan bersifat rasis yang melibatkan etnis Melayu dan etnis Tionghoa.
Peristiwa yang kelam tersebut, menjadikan Malaysia semakin dewasa dan sangat berhati-hati untuk setiap saat melakukan pencegahan dini agar tidak menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Sebagai akibat konflik horizontal tersebut, Malaysia ketika itu mengalami krisis politik dan ekonomi.
Sebagai negara yang berbilang kaum (keberagaman etnis), Malaysia sangat rentan
untuk terjadinya konflik horizontal antar sesama masyarakatnya, karena masyarakat Malaysia sangat multi-etnis dan agama. Pengalaman sejarah yang telah dilalui oleh masyarakat Malaysia, telah menyadarkan mereka (baca: Malaysia) akan harmonisasi antar etnis maupun agama yang dianut oleh rakyatnya dalam rangka pembangunan ke depan. Praktis sejak Malaya (kini Malaysia) merdeka pada tanggal 31 Agustus 1957, tercatat hanya 1 kali konflik horizontal yang cukup besar dan berbau rasial, agama maupun sentimen budaya yang melibatkan etnis Melayu
dan Tionghoa yaitu dalam peristiwa 13 Mei 1969 lalu.
Apa yang disebut dengan peristiwa 13 Mei 1969 kelabu tersebut, telah menjadi trauma (beban) untuk diingat khususnya bagi masyarakat Malaysia umumnya yang mengalami peristiwa
tersebut. Pasca peristiwa kelabu tersebut, telah menjadikan pemerintah Malaysia ketika itu
melakukan kebijakan “Dasar Ekonomi Baru” yang bertujuan menjaga hubungan kesetaraan
dikalangan etnis-etnis yang ada di Malaysia khususnya dari etnis Melayu dan Tionghoa, tidak terkecuali dari etnis India. Salah satu pecahnya peristiwa 13 Mei 1969 lalu, dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan dan kesenjangan secara ekonomi antara etnis Melayu dan Tionghoa.
Apa yang dirasakan dan dinikmati oleh masyarakatnya dalam pembangunan yang sudah ada sekarang ini merupakan hasil dari harmonisasi dan hubungan yang serasi diantara etnis-etnis dan agama yang ada di Malaysia. Pada tataran kelembagaan, hubungan antar etnis dan antar agama di Malaysia tidak ada masalah dan berjalan secara harmonis diantara penganut antar umat beragama dan antar etnis di Malaysia. Namun, dalam tataran Grassroot (akar rumput), hubungan antar atnis dan antar agama dalam masyarakat Malaysia mengalami pasang surut dan bersifat
semu dan sewaktu-waktu akan menimbulkan konflik horizontal, kalau tidak secara dini
diselesaikan dan diantisipasi dengan baik. Saling curiga harus dihilangkan dan diharmonisasikan dan harus selalu dikomunikasikan secara terus menerus itulah yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengharmonisasikan hubungan antar etnis dan agama.
Untuk menyebut beberapa kasus yang terjadi di Malaysia umumnya dalam hubungannya
dengan harmonisasi antar masyarakatnya yang berbilang kaum (keberagaman etnis) dapat
disebutkan beberapa kasus, namun tidak menimbulkan konflik horizontal yang dapat merugikan pembangunan dan perekonomian negara besar Pertama; Kasus R Moorthy, seorang janda yang beragama Hindu yang mempertentangkan allahyarham suaminya untuk memeluk agama Islam, (ketika akan dimakamkan secara islam) walaupun sebelumnya suaminya tersebut beragama
Hindu. Kedua, Pengadilan Federal Malaysia yang memutuskan bahwa ketiga pemuda melayu tidak dapat mengenakan turban (kopiah) Islam ke sekolah dan ketiga; kutukan umat Muslim Malaysia terhadap kasus Lina Joy yang keluar dari agama Islam (murtad) serta ingin menghapus Islam dari identitas dirinya (Identity Card).
Kasus-kasus yang disebutkan diatas tersebut
merupakan kasus-kasus yang terjadi di Malaysia, namun umumnya dapat diselesaikan dan tidak berpotensi mengganggu hubungan antar etnis dan antar umat beragama di Malaysia umumnya.
Namun seperti diketahui kasus-kasus tersebut bukan menjadi ancaman dalam menjaga
harmonisasi hubungan antar etnis dan antar agama di Malaysia umumnya, karena Malaysia
secara kelembagaan negara sudah mengatur di dalam perundangan negara Malaysia yaitu,
bagaimana hubungan dan harmonisasi antar pemeluk agama dan etnis yang ada. Kasus-kasus yang disebutkan diatas tersebut, telah membuat Malaysia mengantisipasi secara dini, agar tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar lagi dikemudian hari. Proses hukum menjadi hal yang diutamakan dalam penegakan harmonisasi hubungan antar etnis dan agama di Malaysia.
Dalam perkembangan dan kehidupan sehari-hari, harmonisasi antar etnis dan pemeluk
agama di Malaysia merupakan pondasi utama dalam hal menjaga kestabilan politik dan
kemakmuran ekonomi yang dirasakan oleh rakyat Malaysia hingga hari ini. Tanpa adanya
harmonisasi antar masyarakatnya, kestabilan politik dan kemakmuran ekonomi tidak akan
pernah dirasakan oleh masyarakatnya. Harmonisasi merupakan hal yang mutlak untuk diwujudkan dalam masyarakat yang berbilang etnis (kaum) tersebut.
Dalam Perlembagaan Persekutuan (Konstitusi Negara) Malaysia, menyebutkan bahwa
agama Islam merupakan agama resmi negara”. Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa “tiap-
tiap orang berhak menganut dan mengamalkan agamanya dan tidak menyebarkan kepada orang yang beragama Islam, namun sebaliknya rakyat tetap bebas menganut agama selain agama Islam.
Dalam Perlembagaan Persekutuan Malaysia juga disebutkan bahwa, kebebasan menganut agama dibebaskan dengan mempertimbangkan aspek toleransi beragama. Bagi penganut agama bukan Islam (non-muslim) dilarang menyebarkan agama dikalangan umat Islam serta setiap perayaan agama resmi di Malaysia, dinyatakan sebagai hari libur nasional. Wassalam.
Penulis adalah Alumni IKMAS UKM, Malaysia

/Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Riau
Tahun 1996 hingga tahun 2001 bermastautin di Kajang Malaysia.
Ditulis Oleh Pada Sel 26 Feb 2019. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek