Etnis Uighur : Dimana Posisi Indonesia ?
Dimana Posisi Indonesia dalam menyikapi etnis Uighur yang tertindas oleh rezim Tiongkok?.
Selama ini Indonesia selalu aktif dan berperan sebagai negara yang selalu memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Indonesia selalu aktif dalam masalah Palestina serta masalah
kemanusiaan etnis Rohingya di Myanmar. Masalah etnis Rohingya di Myanmar telah menjadi masalah Internasional ketika rezim militer Myanmar menindas etnis minoritas tersebut di negara bagian Rakhine. Ketika etnis Uighur di tindas oleh Tiongkok, posisi Indonesia belum secara aktif mendukung upaya menghentikan kekerasan terhadap etnis Uighur tersebut. Kalau dikatakan bahwa masalah tersebut merupakan masalah dalam negeri Beijing, bagaimana halnya dengan
masalaah etnis Rohingya?. Bukankah itu masalah dalam negeri Myanmar sendiri. Negara-negara lain tidak perlu ikut campur terhadap tragedi kemanusiaan di negara bagian Rakhine tersebut.
Tentu masalahnya bukan demikian. Masalahnya ini menyangkut masalah kemanusiaan yang merupakan masalah universal yang telah diakui oleh dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. (PBB) sebagai kejahatan kemanusiaan.
Sebagai negara yang menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, seyogyanya
Indonesia mendukung terhadap penyelesaian masalah tersebut. Indonesia dapat menekan Beijing untuk menghormati Hak Hak Sipil etnis Uighur dan mengakhiri penahanan sewenang-wenang terhadap etnis Uighur tersebut. Negara-negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Prancis, Swedia, Bela Rusia, Belgia, dan Kanada telah meminta Beijing menghentikan penindasan dan penahanan terhadap etnis Uighur tersebut. Beijing berdalih bahwa pergerakan etnis Uighur mengarah kepada radikalisme dan ekstremisme. Pertanyaannya di mana posisi politik luar negeri Indonesia terhadap penindasan etnis Uighur tersebut?.
Dalam hal kontribusi dan pemikiran yang telah diambil oleh Indonesia dalam penerapan
arah dan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tersebut telah dibuktikan dengan keikutsertaan Indonesia dalam mendukung perjuangan negara Palestina dengan mengajak dunia internasional memberikan bantuan baik dukungan moril maupun materil kepada warga Palestina yang terus diserang oleh rezim zionis Israel. Namun terhadap penindasan etnis Uighur oleh Beijing, dukungan Indonesia belum secara tegas dan aktif memperjuangkan hak hak
sipil tersebut. Politik luar negeri bebas aktif selalu mengedepankan nilai nilai kemanusiaan dan prinsip keadilan. Mayoritas penduduk Indonesia yang muslim dapat kiranya memainkan peran yang cukup berpengaruh dalam menjembatani kekerasan terhadap etnis Uighur di Xinjiang.
Dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB dalam hal catatan tahunan Hak
Asasi Manusia (Universal Periodic Review) yang digelar di Jenewa, Swiss November lalu,
sejumlah negara seperti Malaysia, Australia, Spanyol merekomendasikan Beijing untuk
menjamin kebebasan beragama dan berkebudayaan oleh etnis minoritas Uighur di Xinjiang yang terletak di bagian barat Cina tersebut. Wilayah Xinjiang berbatasan langsung dengan negara Pakistan dan Afghanistan. Wilayah Xinjiang sudah lama bergolak dan ingin memisahkan dari pengaruh Beijing. Walaupun Xinjiang sebagai daerah otonom, namun perlakuan Beijing terhadap etnis Uighur berbeda dengan etnis etnis lainnya. Etnis Uighur selalu ditindas oleh militer dalam hal kebijakan politik, ekonomi dan sosial-budaya. Pembatasan serta larangan memelihara janggut, memakai jilbab, serta mendistribusikan Alquran terjadi bagi etnis Uighur.
Oleh sebab itu, Etnis Uighur ingin memisahkan diri dari pengaruh Beijing. Sementara
Pemerintah Beijing mengklaim bahwa etnis Uighur menjakankan idiologi dan gerakan
ektremisme dan terorisme?.
Dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Indonesia tidak mengeluarkan
rekomendasi apapun terhadap masalah etnis Uighur tersebut. Apakah posisi Indonesia yang
sangat dilematis menyikapi persoalan etnis Uighur tersebut. Apa yang menjadi halangan
mengapa Indonesia tidak bisa tegas terhadap Beijing mengenai persoalan etnis Uyghur yang
telah ditindas dan dirampas kebebasan hak hak sipil. Posisi Malaysia lebih tegas lagi dengan
tidak menghiraukan permintaan Beijing untuk mengektradisi beberapa etnis Uyghur yang di
tahan di Malaysia karena menyalahi prosedur keimigrasian. Malaysia menolak untuk mengekstradisinya dan mengembalikannya ke Turki yang oleh mereka (Uighur) sebagai warga
negara Turki. Arab Saudi sebagai negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) meminta Beijing tidak menghalang-halangi etnis Uighur untuk melaksanakan ibadah haji.
Reaksi dari ICMI. Di dalam negeri Indonesia sendiri, Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI) sebagai wadah cendekiawan Muslim yang memiliki kepedulian terhadap perjuangan umat muslim di dunia khususnya apa yang terjadi di Xinjiang merasa prihatin terhadap penindasan etnik Uighur
tersebut. Ada beberapa sikap yang diambil oleh ICMI terhadap kekerasan terhadap muslim
Uighur diantaranya pertama; meminta kepada Pemerintah Indonesia, Organisasi Konferensi
Islam (Organization of the Islamic Conference) dan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk
mengambil langkah-langkah diplomatik mengatasi masalah di Xinjiang tersebut. Kedua;
Mendesak duta besar Tiongkok untuk Indonesia agar memberikan keterangan sejelas jelasnya
kepada warga negara Indonesia tentang kondisi yang sebenarnya terjadi di wilayah Xinjiang dan ketiga; meninjau kembali kerjasama strategis antara Indonesia dengan Tiongkok sebelumĀ Tiongkok berhasil menyelesaikan masalah yang dialami saudara-saudara muslim di Xinjiang tersebut. Oleh sebab itu, tuntutan-tuntutan yang disuarakan oleh ICMI tersebut merupakan terobosan agar penyelesaian kekerasan di Xinjiang dapat segera diselesaikan tanpa mengganggu hubungan diplomatic antara Indonesia dan Tiongkok.
Penulis : Alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS UKM, Malaysia/Widyaiswara
Ahli Madya BPSDM Provinsi Riau.
Ditulis Oleh Radar Kepri
Pada Jum 21 Des 2018. Kategory Cerpen/Opini, Terkini.
Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0.
You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.