; charset=UTF-8" /> Energi Alternatif Berbasis Ekologi - | ';

| | 369 kali dibaca

Energi Alternatif Berbasis Ekologi

Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum.

 

Mantan CEO Chevron, David O’Reilly, pada salah satu iklan di Amerika Serikat pernah mengatakan “Energi akan menjadi masalah penentu di abad ini. Satu hal yang pasti, era minyak sudah berakhir. Apa yang akan kita lakukan selanjutnya akan sangat ditentukan oleh bagaimana cara kita memenuhi kebutuhan energi seluruh dunia di abad ini dan abad selanjutnya.”
Kita memang tengah berada di era kehabisan energi. Permintaan global dari seluruh negara akan menghabiskan cadangan energi dalam dua puluh lima tahun ke depan, kecuali sumber-sumber energi baru ditemukan.
Krisis energi dalam beberapa tahun mendatang tentunya juga akan mengancam Indonesia. Penyebabnya, terjadi kesenjangan antara permintaan energi yang tinggi dan pasokan produksi minyak di dalam negeri yang terus menurun.
Apalagi Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama seperti minyak bumi, gas alam, batu bara. Penggunaan energi fosil kian tahun pun terus meningkat seiring pertambahan penduduk, kebutuhan industri dan pembangunan.
Bahan fosil saat ini mendominasi hingga Iebih dari 65 persen dari sumber energi primer dalam bauran energi nasional. Sementara, diversifikasi energi ke sumber energi terbarukan belum berjalan masif.Singkat kata, kita mengonsumsi lebih banyak dari apa yang tersedia saat ini.
Celakanya, dengan tingkat konsumsi energi berbahan bakar fosil (BBM) yang semakin tinggi dari hari ke hari, Indonesia kini harus menjadi negara pengimpor minyak. Makin ke depan tren impor minyak makin besar dan tren produksinya makin rendah.
Ketergantungan minyak luar negeri amat beresiko politik, mahal dan tidak bisa diandalkan sebagai bahan bakar masa depan.
Di sisi lain, adanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah tidak bisa lagi menjadi andalan. Jelas saja adanya subsidi akan semakin membuat masyarakat semakin bergantung dengan BBM.
Tanpa upaya mengurangi pemakaian bahan fosil dan upaya konversinya lewat energi terbarukan, pemanfaatan BBM akan meningkat dengan laju pertumbuhannya, yang diproyeksikan sebesar 6,4% per tahun.

Eksploitasi Energi Fosil dan Krisis Ekologi

Krisis ekologi menjadi isu strategis dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Krisis ekologi telah dan sedang mengancam kehidupan dunia kita.
Masifnya eksploitasi energi fosil memicu krisis ekologi. Lebih dari 50% jejak ekologis manusia di Bumi ini adalah jejak karbon, terutama akibat dari penggunaan bahan bakar fosil, ungkap Jim Leape, Direktur Jenderal WWF Internasional (dilansir dari mongabay.co.id, 27/8/2013).
Secara global, kebutuhan mendesak untuk beralih ke energi nonfosil masih terus diremehkan. Usaha eksploitasi energi fosil terus diarahkan sebagai sekadar komoditas pasar. Negara-negara di dunia terus berinvestasi dalam eksplorasi minyak dan gas, dan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Sebaliknya investasi ini berkontribusi terhadap memburuknya kondisi iklim, seperti pemanasan global. Mitigasi perubahan iklim belum menjadi prioritas utama semua negara. Padahal para ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepakat, jika dunia terus bergantung pada bahan bakar fosil dalam beberapa tahun ke depan, dan emisi di negara-negara berkembang naik ke tingkat yang sama dengan di negara-negara maju, emisi karbon global akan meningkat lebih dari 250 persen, dan berpotensi menimbulkan bencana.
Seperti kita ketahui, emisi adalah sumber segala bencana sekaligus ukuran bencana yang bisa kita takar dan hitung secara matematika. Emisi membuat bumi memanas akibat cahaya matahari yang terpantul dari bumi tak terserap oleh atmosfer karena banyaknya gas hasil pembakaran yang menghalanginya. Panas itu memantul kembali ke bumi yang kerontang karena tumbuhan dan pohon yang berfungsi sebagai penyerapnya makin berkurang.
Bumi akan menjadi neraka jika jumlah CO2 di atmosfer mencapai 550 ppm karena akan menaikkan suhu bumi bertambah 3° Celsius. Sekarang rata-rata suhu bumi sebesar 14° Celsius. Para ahli berhitung manusia masih bisa bertahan jika kenaikan suhu bumi ditekan tak lebih dari 2°, yakni menjaga agar konsentrasi karbon dioksida tak sampai 450 ppm.
Indonesia sebenarnya telah berkomitmen mengurangi ketergantungan terhadap eksploitasi energi fosil, sebab hal tersebut berkontribusi secara signifikan terhadap emisi Gas Rumah Kaca.
Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) yang tercantum dalam Kesepakatan Paris, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional (dikutip dari Indonesia Window 13/12/2019).
Di tingkat nasional, kebijakan pembangunan rendah karbon tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Fakta yang ditemukan menunjukkan ternyata hingga kini pemerintah Indonesia justru mendorong penggunaan energi fosil. Kementerian ESDM menegaskan Indonesia masih akan tergantung pada energi fosil meskipun bauran energi baru terbarukan (EBT) semakin besar dan mendominasi (dikutip dari ekonomi.bisnis.com, 25/9/2019).
Energi berbasis fosil merupakan andalan karena memiliki keunggulan komersial, pasokan tidak terputus, serta lebih praktis. Akibatnya, sektor energi terus terjebak pada sumber karbon intensitas tinggi.
Dengan meningkatnya emisi karbon dari pembangkit listrik, industri, dan transportasi, Indonesia beserta negara G20 diklaim sebagai penyumbang 82 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia.
Polusi dari bahan bakar fosil juga melahirkan risiko-risiko kesehatan publik. Secara historis, hampir semua wabah yang muncul di muka bumi seperti flu Spanyol, flu Asia, ebola, HIV, SARS, flu Timur Tengah (MERS) selalu dikaitkan dengan kenaikan jumlah emisi yang membuat atmosfer rusak sehingga tak bisa menyerap panas matahari dan bumi yang menguap ke sana. Akibatnya adalah suhu bumi naik karena jumlah karbon di selubung bumi itu bertambah signifikan.
Para ahli, sejak Charles Darwin hingga Theodosius Dobzhansky, telah bersepakat bahwa suhu adalah mesin tak terlihat yang memicu mutasi gen jasad-jasad renik dalam proses seleksi alamiah di alam. Virus-virus baru pun muncul seiring kenaikan emisi karbon akibat pembakaran energi fosil setelah Revolusi Industri.

Investasi Energi Bersih untuk Jangka Panjang
Indonesia tidak bisa lagi terlalu bergantung pada energi fosil yang cadangannya semakin menipis serta menimbulkan dampak yang serius terhadap lingkungan. Apalagi Indonesia memiliki target besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari emisi business as usual (BAU) pada 2030. Indonesia juga memiliki target energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dalam bauran energi. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus bertransisi dari penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan.
Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah energi yang berasal dari sumber yang bisa diperbaharui. Misalnya energi dari air, angin, panas bumi, hingga matahari. EBT kerap disebut juga sebagai energi bersih atau ramah lingkungan karena irit emisi karbon dioksida (CO2).
Transisi energi bersih tidak hanya akan bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga anggaran Pemerintah Indonesia.
Bahan bakar fosil adalah investasi yang buruk, bahkan sebelum pandemi dimulai. Ketergantungan pada bahan bakar fosil ini digambarkan sebagai “pemikiran jangka pendek”, yang membuat investor dan pemerintah mengalami kerugian mendadak, karena harga minyak dan gas berfluktuasi.
Mengedepankan gagasan soal energi baru dan terbarukan sebagai alternatif energi dapat menekan defisit neraca perdagangan serta dapat memulihkan ragam sektor yang terdampak pandemi Covid-19. Energi bersih mampu menghasilkan pengembalian ekonomi 3 – 8 kali lebih tinggi dari investasi awal, sebagaimana analisis World Resources Institute (WRI). Di samping itu, energi terbarukan juga dapat menawarkan pekerjaan tiga kali lebih banyak daripada industri bahan bakar fosil.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi terbarukan yang cukup besar. Data Kementerian ESDM menyebutkan (dilansir dari liputan6.com, 10/8/2020) potensi energi baru terbarukan (EBT) Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW). Namun demikian, pemanfatannya masih sangat sedikit, yaitu baru 10,4 GW atau sekitar 2,5 persennya. Potensi ini terdiri dari energi samudera, panas bumi, bioenergi, bayu (udara), hidro (air) dan surya (matahari).
Sejatinya, EBT memiliki masa depan cerah. Teknologinya yang rendah emisi akan sangat menguntungkan bagi lingkungan. Dengan ramah lingkungan, maka akan menekan biaya eksternalitas yang pada akhirnya hitungan jangka panjang menjadi sumber energi yang jauh lebih ekonomis.
Mari kita merangkul peluang besar masa depan energi bersih, dan ini adalah kepentingan semua orang. Membuang-buang uang untuk subsidi bahan bakar fosil dan memberi harga pada karbon dengan tanpa menganalisis risiko iklim justru memberi dampak buruk bagi Indonesia di masa depan.

Ditulis Oleh Pada Sab 29 Agu 2020. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.

Komentar Anda

Radar Kepri Indek