; charset=UTF-8" /> Mafia Tambang Dibalik Kenaikan BBM - | ';

| | 4,214 kali dibaca

Mafia Tambang Dibalik Kenaikan BBM

Tanki BBM yg di Polres Tg pinang 14-6-2013 (1)

Truk tanki berisi BBM jenis solar yang ditangkap Polresta Tanjungpinang karena membawa solar ke lokasi tambang ilegal di Dompak pada Jumat 14 Juni 2013 lalu.

Tanjungpinang, Radar Kepri-Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis bensin sebesar Rp 2000 atau hampir 50 persen dari sebelumnya, Rp 4500 menjadi Rp 6500 menimbulkan bermacam spekulasi ditengah pengamat dan pemerhati kebijakan publik. Mulai dari kepentingan politis 2014 sampai bargaining elit partai-partai koalis Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II.

Tidak banyak yang menyoroti dan mencermati serta mempertanyakan, mengapa BBM jenis solar hanya naik Rp 1000 saja. Padahal, kerugian penimbunan BBM jenis solar subsidi yang banyak disalahgunakan untuk industry paling banyak terjadi dan sering di ungkap polisi.

Pertanyaan sederhana mucul, mengapa solar subsidi yang sangat banyak disimpangkan hanya naik sekitar 25 persen saja ?. Awalnya harga solar subsidi Rp 4500 sekarang menjadi Rp 5500. Padahal, potensi penyimpangan solar subsidi dipergunakan untuk industry sangat terbuka lebar. Mengapa pemerintah tidak menaikkan harga solar subsidi yang banyak disimpangkan itu sama dengan premium (bensin) ?.

Realita dilapangan, khususnya di Pulau Bintan dan Tanjungpinang, hampir tidak pernah ditangkap dan diungkap oleh kepolisian penimbun bensin subsidi. Yang terungkap kepolisian, justru pelaku penimbunan ratusan ribu liter solar subsidi. Seperti terjadi di enam unit bungker minyak solar di Tanjung Kuku, Sei Enam, Kijang, Bintan Timur, Kabupaten Bintan oleh PT Gandasari Petra Mandiri pada November 2012 lalu. Hal ini membuktikan praktek penyimpangan BBM subsidi ternyata untuk jenis minyar solar, bukan bensin yang dinaikkan harganya Rp 2000 per-liternya.

Timbul asumsi, jika solar subdsidi naik hingga 50 persen akan memukul bisnis para pengusaha tambang yang selama ini dengan “nyaman” memakai solar subsidi untuk operasional perusahaannya. Beberapa parpol koalisi KIB jilid II diketahui memiliki beberapa perusahaan raksasa yang bergerak di sektor tambang. Mulai dari tambang biji besi, tambang bauksit dan tambang batu bara. Jadi, tidak mengherankan jika partai koalisi setuju dengan kenaikan harga BBM jenis bensin menjadi Rp 6500 dan solar Rp 5500 saja.

Di Tanjungpinang saja, setiap harinya diduga terjadi penyimpangan solar subsidi sebanyak 210 ton. Dimana, solar subsidi itu lebih banyak mengalir ke belasan penambang bauksit illegal berkedok cut and fill. Ratusan alat berat, mulai dari truk, dumptruk. Loader, excavator dan bulldozer tidak satupun yang memakai bensin. Semuanya alat berat yang beroperasi di daerah tambang (industry) itu memakai solar

Meskipun ada tiga pengusaha tambang yang mengantongi ijin tambang resmi, yaitu PT Kereta Kencana, PT Lobindo dan PT Harap Panjang. Namun bukan berarti ketiga perusahaan itu menambang dengan solar industry.

Tambang boksit Dompak (7)

Pelabuhan tempat penambang bauksit ilegal di Dompak memuat bauksit untuk dijual ke luar negeri.

Bukti ter-anyar terjadi pada Kamis, 13 Juni 2013 lalu, Kepolisian Resor  (Polres) Tanjungpinang mengamankan sebuah mobil truk tanki PT Kharisma Petro Gemilang berisi 10 ton solar yang diduga minyak subsidi. Truk bermuatan solar  tanpa surat jalan ditangkap ketika hendak menuju lokasi tambang bauksit illegal milik Junaidi di Dompak. Informasi yang diperoleh, bukan hanya 1 truk saja yang “biasa” mengantarkan” solar ke lokasi tambang illegal itu. Namun ada 4 truk lainnya yang “rajin” menyuplai solar yang diduga minyak subsidi ke berbagai lokasi tambang. Namun, pada hari itu, nasib truk dengan nomor polisi (nopol) BP 8432 TB yang dikemudikan Setia dengan knek Agus sedang “apes” karena ketahuan dan ditangkap polisi.

Setia, supir truk mengaku sudah dua kali sukses mengantarkan solar yang diduga minyak subsidi itu ke lokasi tambang dengan upah Rp 1 juta per-trip. Logikanya, jika solar yang dihantarkan itu merupakan solar industry dan resmi dari PT Pertamina. Tentunya, dilengkapi DO (Delivery Order) untuk industry. Tidak perlu distributor atau rekanan PT Pertamina maupun pembeli (penadah) solar itu membayar Rp 1 juta untuk supir per-tripnya. Karena, mengemudikan mobil truk dan mengantarkan pesanan solar sudah merupakan tanggungjawab dan pekerjaan supir truk. Kalau bukan solar “bermasalah” tidak perlu pula mobil tanki truk berwarna putih dengan kombinasi warna biru langit sampai hari masih di tahan di halaman Satreskrim Mapolresta Tanjungpinang.

Perbedaan harga solar subsidi dengan indutri yang mencapai 100 persen lebih, tentu saja “menggiurkan” bagi oknum tertentu untuk menangguk keuntungan. Sebagaimana di ketahui, harga solar industry di patok Rp 9 450 per liternya sedangkan harga solar subsidi hanya Rp 4 500, sebelum naik menjadi Rp 5 500 sekarang ini. Dikabarkan, para pengusaha tambang bauksit, mulai dari yang resmi hingga illegal tidak satupun yang memiliki jatah minyak solar industry karena adanya pemain besar yang “mencuri” minyak subsidi tersebut. Untuk dijual ke panambang dengan harga mulai dari Rp 7 500 hingga Rp 8000. Nilai jual solar subsidi yang masih juah dibawah solar industry ini-lah yang dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggungjawab meraup keuntungan.

Dumptruck makin bebas melintas di jalan umum batu 8 atas kota Tanjungpinang. Foto diambil Senin 26 Juni 2013. (foto by aliasar radarkepri.com)=

Dumptruck makin bebas melintas di jalan umum batu 8 atas kota Tanjungpinang. Foto diambil Senin 26 Juni 2013. (foto by aliasar radarkepri.com).

Fakta diatas merupakan sepenggal cerita ditingkat lokal, betapa penyimpangan BBM jenis solar subsidi masih saja terjadi akibat pemerintah enggan menaikkan harga solar hingga sama dengan harga minyak di pasaran internasional.

Disinyalir, ke engganan pemerintah pusat menaikkan hingga 100 persen harga solar ini karena diduga kuatnya jaringan “mafia tambang” yang sukses melobi politisi di Senayan. Jika solar subsidi dihapus dan harga solar sama dengan harga pasar di Internasional, dapat dipastikan para pemain tambang yang resmi maupun illegal yang selama ini “aman” memakai solar subsidi akan kelimpungan. Bahkan mungkin saja kolaps karena meningkatnya biaya operasional.

Di Tanjungpinang, sebelum kenaikan harga solar subsidi menjadi Rp 5 500, diduga sekitar 210 ton solar subsidi mengalir ke tambang yang seharusnya memakai solar industry. Artinya, satu hari saja kerugian Negara akibat penyimpangan solar subsidi ini mencapai hampir Rp 1 miliar dengan perhitungan 210 ton x Rp (9 450 -4500). Dimana nilai Rp 9 450 merupakan harga solar industry yang harus dibeli para penambang dan Rp 4 500 merupakan harga solar subsidi sebelum dinaikkan pemerintah pada 22 Juni 2013 lalu.

Sekarang-pun potensi kerugian Negara akibat 210 ton minyak solar subsidi mengalir ke industry juga sangat besar, jika di kalkulasikan mencapai Rp 900 juta lebih setiap harinya, dengan perhitungan, 210 ton x Rp ( 9450 – 5 500). Nilai yang cukup besar dan menggiurkan bagi para “pemain” solar subsidi yang dipakai untuk industry.(red)

Ditulis Oleh Pada Sel 25 Jun 2013. Kategory Tanjungpinang, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek