Miris, Lingga Jadi Kabupaten Termiskin di Kepri: 9,99% Warga Hidup di Bawah Garis Kemiskinan

Inilah bangunan ruko yang diduga tanpa IMB milik eks sekwan Lingga.

Radar Kepri, Lingga – Kabupaten Lingga kembali mencatatkan “prestasi” yang ironis. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), Lingga menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Per Maret 2025, tercatat 9,99 persen penduduk Lingga atau sekitar 9.020 jiwa hidup di bawah garis kemiskinan, dengan batas pengeluaran minimum Rp 562.906 per kapita per bulan. Angka ini menempatkan Lingga jauh tertinggal dibandingkan kabupaten/kota lain di Kepri.

Kontrasnya, pejabat daerah justru hidup dalam kemewahan. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan Bupati Lingga memiliki kekayaan mencapai Rp 3,37 miliar. Ketimpangan ini kian menegaskan jurang antara elite pemerintahan dengan masyarakat di “Bunda Tanah Melayu”.

Menariknya, meski angka kemiskinan tinggi, tingkat pengangguran terbuka Lingga relatif rendah, hanya 3,52 persen—lebih baik dibanding rata-rata provinsi yang mencapai 6,8 persen.

Akar Masalah: Anggaran Tak Pro Rakyat

Pengamat kebijakan publik sekaligus dosen UMRAH, Dr. Wayu Eko Yudiatmaja, menilai akar persoalan ada pada tata kelola keuangan daerah.

“Pendapatan asli daerah (PAD) Lingga tergolong kecil. Ketergantungan pada dana transfer pusat sangat besar, sementara alokasi anggaran lebih banyak tersedot untuk belanja pegawai, bukan pembangunan masyarakat,” jelasnya.

Data Kementerian Keuangan (DJPK) per September 2025 memperlihatkan realisasi PAD Lingga baru Rp 23,76 miliar, jauh dari target Rp 184,97 miliar. Sebaliknya, transfer pusat mencapai Rp 370,80 miliar, atau 88 persen dari total pendapatan daerah. Ironisnya, belanja pegawai menyerap Rp 270,03 miliar—sekitar 58 persen belanja daerah.

Lebih Sibuk Gelar Pesta daripada Bangun Daerah

Kritik juga datang dari masyarakat. Pemerintah dinilai lebih sering menggelar acara seremonial dan hiburan ketimbang fokus pada pembangunan jangka panjang.

“Anggaran terlalu banyak dihamburkan untuk acara-acara. Kemarin ada maulid, lalu kenduri budaya, sebentar lagi ulang tahun kabupaten pasti ada acara besar lagi,” ujar Is, warga Daik.

Menurutnya, hajatan-hajatan tersebut hanya menjadi pengalihan isu. “Acara seperti itu mungkin untuk menutupi kinerja buruk. Tiap tahun ulang tahun kabupaten dirayakan dengan dalih syukuran. Syukur apa, kalau hidup kami masih jauh dari sejahtera?” tegasnya.

Potret Buram Lingga

Dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, PAD yang minim, serta belanja daerah yang tak berpihak pada rakyat, Kabupaten Lingga menghadapi dilema serius: bagaimana membangun daerah jika sebagian besar anggaran hanya habis untuk membiayai aparatur dan pesta seremonial?

Pertanyaan itu kini menggantung di benak masyarakat Lingga, menunggu jawaban nyata dari para pemimpin daerah yang seharusnya bekerja untuk menyejahterakan rakyat, bukan sekadar mempertontonkan kemeriahan sesaat. (Farhan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *