Pantauan Radar Kepri di lapangan, ruko tersebut berdiri megah di depan Masjid Darul Hikmah, dekat Kantor Pegadaian Sawin Daek, Kabupaten Lingga. Pembangunan tampak berlangsung tanpa papan proyek yang biasanya wajib terpasang sebagai bentuk transparansi.
Sejumlah warga Daek yang ditemui menyebut, bangunan itu memang milik Safaruddin. Ada pula yang menyebut aset tersebut atas nama istrinya, Maya, yang kini menjabat Ketua DPRD Kabupaten Lingga.
“Orang bilang ini punya Safaruddin, ada juga yang bilang atas nama istrinya, Maya. Tapi kan sama saja, mereka suami-istri,” ujar seorang warga yang enggan identitasnya dipublikasikan.
Kontras dengan Kondisi Ekonomi Masyarakat
Fakta ini memunculkan tanda tanya besar. Saat masyarakat berjuang menghadapi kenaikan harga bahan pokok dan penurunan daya beli, seorang pejabat publik justru terlihat menambah pundi aset dengan membangun ruko bernilai miliaran rupiah.
Langkah itu bukan hanya menimbulkan kecemburuan sosial, tetapi juga memantik pertanyaan mendasar: dari mana sumber dana pembangunan tersebut? Apakah sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)? Ataukah justru ada indikasi penyalahgunaan jabatan dan praktik tidak etis lainnya?
Ketiadaan plang proyek juga memunculkan kekhawatiran soal legalitas: apakah bangunan tersebut mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) dan sesuai tata ruang wilayah?
Rekam Jejak Kasus yang Mandek
Nama Safaruddin bukan kali pertama dikaitkan dengan dugaan penyimpangan. Beberapa kasus yang menyeretnya justru terkesan jalan di tempat tanpa ada kejelasan penanganan hukum.
-
Kasus pengadaan bonsai, yang juga menyeret nama istri Bupati Lingga, Maratusholeha.
-
Dugaan penyalahgunaan wewenang APBD, dengan kuitansi fiktif untuk pengadaan perumahan di Lingga.
-
Dugaan penyelewengan dana Bansos 2020–2021, yang hingga kini tak kunjung tuntas.
-
Kasus pengancaman terhadap Kabiro Radar Kepri, Aliasar, yang sudah dilaporkan ke Polda Kepri, namun mandek dengan alasan bukti belum lengkap.
Meski beberapa kali diperiksa, hingga kini Safaruddin tidak pernah ditahan. Kondisi ini memunculkan dugaan publik bahwa ia “kebal hukum” berkat kedekatan dengan aparat penegak hukum (APH).
Publik Minta Transparansi dan Penegakan Hukum
Situasi ini mempertegas pentingnya peran APH untuk bertindak transparan, independen, dan tanpa pandang bulu. Masyarakat menuntut kejelasan sumber dana pembangunan ruko tersebut, serta komitmen aparat dalam menuntaskan berbagai kasus yang menyeret nama Safaruddin.
Jika dibiarkan berlarut, kasus ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan DPRD Lingga, sekaligus memperkuat persepsi bahwa praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan masih marak di daerah.
Presiden RI sendiri sudah menegaskan komitmen memberantas korupsi dan praktik premanisme politik. Namun di Kepulauan Riau, fakta di lapangan justru menunjukkan dugaan pelaku masih bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum.
Pertanyaannya: sampai kapan aparat hukum membiarkan hal ini terjadi ?. Hingga berita ini dimuat, upaya konfirmasi dan klarifikasi masih diupayakan media ini, namun belum berhasil.(red)








