
Bintan, Radar Kepri-Penanganan kasus dugaan pengeroyokan terhadap Lelo Polisa Lubis, aktivis lingkungan dan Koordinator ICTI-Kepri, yang terjadi pada Rabu (2/7) di Kampung Budi Mulya, Kelurahan Kijang Kota, Bintan Timur, hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Keterlambatan proses hukum ini menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi dan keseriusan aparat dalam menangani kekerasan terhadap warga sipil.
Korban mengaku dikeroyok setelah menegur iring-iringan sekitar 10 mobil yang melaju ugal-ugalan di kawasan permukiman warga. Salah satu kendaraan kemudian berhenti, dan seorang pria tak dikenal turun dari mobil dan langsung memukul wajah Lelo sembari mengancam dengan kalimat, “Mau ku lobangi kaki kau!” Pelaku juga tampak merogoh pinggangnya, diduga hendak mengintimidasi dengan senjata.
Akibat serangan itu, Lelo mengalami lebam pada pipi dan mata, serta pusing berat. Namun yang lebih mengkhawatirkan, Lelo menyebut mengenali salah satu mobil dalam rombongan tersebut sebagai kendaraan dinas Kanit Intel Polsek Bintan Timur. “Saya hafal betul mobil itu, termasuk nomor platnya,” ujar Lelo, mempertanyakan keberpihakan aparat dalam peristiwa ini.
Lelo menduga kuat bahwa rombongan tersebut merupakan bagian dari kunjungan investor dan perwakilan bank yang tengah meninjau lokasi proyek galangan kapal senilai Rp4 triliun. Jika dugaan ini benar, maka muncul persoalan serius terkait etika investasi dan keterlibatan aparat negara dalam mengamankan kepentingan modal dengan cara intimidatif.
Kapolsek Bintan Timur, AKP Khapandi, menyatakan pihaknya tengah menyelidiki kasus dan mengejar pelaku. Namun Lelo menegaskan belum ada tindak lanjut berarti, bahkan hingga kini ia belum dipertemukan dengan pelaku. “Saya hanya mendapat janji. Belum ada pertemuan atau pemeriksaan lanjutan,” kata Lelo kecewa.
Ketua ICTI-Kepri, Kuncus, mendesak penegakan hukum yang transparan dan menolak kekerasan sebagai pendekatan terhadap kritik warga. “Ini bukan hanya penganiayaan. Ini soal bagaimana negara memperlakukan warganya yang menyuarakan kepedulian lingkungan,” tegasnya.
Senada, Ketua LSM Gebrak, Sholikin, menegaskan bahwa investasi berskala besar tidak boleh dilakukan dengan cara-cara represif. “Siapa pun yang membawa uang ke daerah harus menghormati warga, bukan mengintimidasi mereka. Etika harus lebih utama dari nilai proyek.”
Pernyataan keras juga datang dari OKK Persatuan Batak Bersatu (PBB), Pilma Pardede, yang meminta pengusutan tuntas atas keterlibatan oknum aparat dalam insiden ini. “Jika benar aparat terlibat, ini sangat mencoreng institusi kepolisian. Tidak boleh ada perlindungan terhadap pelaku kekerasan,” tegasnya.
Insiden ini mencerminkan kerentanan masyarakat sipil ketika berhadapan dengan kekuatan modal dan diduga dibekingi kekuasaan. Ketiadaan kejelasan hukum memperkuat dugaan adanya impunitas dan perlindungan terhadap pelaku, terutama bila mereka berkaitan dengan proyek bernilai jumbo.
Redaksi mencoba mengonfirmasi perkembangan kasus ini ke Kapolres Bintan, AKBP Yunita Stevani, S.I.K., M.Si., melalui Kasatreskrim Polres Bintan, Iptu Fikri Rahmadi. Melalui pesan singkat pada Rabu (16/7), Fikri menuliskan:
“Waalaikumsalam bg, silahkan dikomunikasikan di Polsek ya bg, karena untuk perkaranya Polsek yang menangani. Terima kasih bg.”
Menindaklanjuti hal itu, redaksi menghubungi Kapolsek Bintan Timur, AKP Khapandi. Namun, Kapolsek juga enggan memberi penjelasan langsung dan hanya menyarankan konfirmasi ke Kanit Reskrim.
“Tanya sama Kanit aja, Pak,” jawabnya singkat melalui pesan WhatsApp.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan dari pihak Kanit Reskrim maupun klarifikasi dari pihak bank dan investor yang disebut-sebut terlibat. Redaksi masih terus berupaya mendapatkan informasi lanjutan dari semua pihak terkait.
Kasus ini tidak boleh dibiarkan mengendap tanpa kejelasan. Negara harus hadir dan berpihak pada keadilan, bukan tunduk pada tekanan kekuatan ekonomi. Bila dibiarkan, preseden ini dapat membungkam suara-suara kritis dan memperburuk iklim demokrasi di daerah. (aliasar)