Polda Kepri di Minta Usut Pengrusakan Hutan Mangrove Lingga
Lingga, Radar Kepri-Terkait maraknya pengrusakan hutan mangrove (bakau) di Lingga, bukan lagi menjadi rahasia umum. Kondisi hutan mangrove Lingga sangat memprihatinkan membuat Drs H Musfar Saleh MM salah satu pendiri ormas Gerakan Mahasiswa Lingga (Gema Lingga) minta Kapolres Lingga maupun Polda Kepri mengusut dan menindak pelaku pengrusakan hutan bakau yang di lakukan oleh korporasi dan terkait penggunaan Hasil Hutan kayu di sinyalir tidak sesuai ketentuan.
Menurut Musfar.”Kita meminta Kapolres Lingga mengusut pembabatan hutan mangrove Lingga yang di lakukan oknum pengusaha di Lingga dan mengusut Dinas terkait yang lalai melakukan pengawasan terkait izin yang telah di keluarkan pemda Lingga, sehingga menyebabkan kerusakan hutan.”ungkap H Musfar, Rabu (25/03).
Apalagi, menurutnya pembabatan Hutan Lingga, terutama hutan Mangrove sudah sekian lama sehingga, sangat tidak mungkin dinas intansi terkait tidak mengetahuinya. Apalagi fungsi pengawasan melekat di lakukan bahkan kendaraan oprasional pengawasaan Hutan dan anggaran pengawasan hutan ratusan juta rupiah di anggarkan melalui APBD Kabupaten Lingga.
Dirinya menduga, ada permainan sehingga praktek tersebut dapat berjalan lancar dan sampai saat ini terus terjadi.”Sangat mustahil pengrusakan hutan tersebut tidak di ketahui, berapa besar pulau Lingga ini dengan anggran ratusan juta rupiah. Sehingga sangat tidak mungkin tidak dapat di awasi.”ungkapnya lagi.
Begitu juga halnya, Erik Kurniawan, salah satu Pengurus LSM Lentera, menilai Dinas Kehutanan Kabupaten Lingga dan Pemerintah daerah Kabupaten Lingga di anggap tidak menjalankan fungsinya.

Photo citra satelit yg menunjukan kerusakan hutan mangrove di sepanjang hutan desa Kudung Teluk dan Dungun
Apalagi belum adanya peraturan Daerah yang mengatur mengenai penggunaan Hutan Mangrove. Dan dinas terkait di nilai lalai sehingga pencurian dan pemanfaatan Hutan mangrove Lingga tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.”DPRD Lingga hanya sebatas barisan pembela kepentingan oknum dan tidak berfungsi sesuai dengan harapan masyarakat yang telah mempercayainya dalam menduduki jabatan di parlemen.”ungkap Erik, Rabu (25/03).
Dirinya menilai Eksekutif Legislatif dan aparat penegak hHukum terkait di nilai tidak melakukan apa-apa terkait persoalan yang terjadi. Hanya menunggu protes dan aksi masyarakat baru mau bekerja. Sementara itu Polres Lingga “takut “ mengusut persoalan yang di duga melibatkan oknum pengusaha dan oknum pejabat terkait. Padahal jelas dalam penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, semua berkedudukan sama di hadapan hukum.
Sehingga akibat kelalain dan di duga keterlibatan oknum pengusaha dapat di pidanakan, bahkan pejabat terkait yang lalai menjalankan tugas terkait pengawasan pengrusakan hutan dapat di pidanakan sesuai dengan Undang-Undang nomor 18 tahun 2013.
Dengan Dalih, Surat Keputusan Menhut Nomor. 368/Menhut-II/2010 tanggal 21 juni tentang Pencadangan Areal Untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat Seluas 12.195 Ha di Kabupaten Lingga. Yakni pencadangan areal pembangunan Hutan Tanaman rakyat dengan pola sivikultur. Sistem Silvikultur sebagaimana di maksud dalam Sistem silvikultur adalah system budidaya hutan atau system teknik bercocok tanaman hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai menanam, memelihara tanaman dan memanen. Sebagaimana di maksud Pasal 1 ayat 21 PP No.6 Tahun 2007, bahwa, sebagaimana di maksud Pasal 1 ayat 21 PP No.6 Tahun 2007. Sistem silvikultur disinyalir tidak pernah di lakukan dan bakau yang di ambil pengusaha arang bisa di lakukan uji laboratorium Forensik sebagaimana pembuktiaan usia kayu yang di gunakan pengusaha panglong arang, hal ini terkait usia mangrove yang di jalankan dengan sitem silvikultur sangat tidak masuk akal, hanya belum 4 tahun sudah bisa di panen, padahal mangrove perlu di ats sepuluh tahun kalau pun tumbuh normal baru bisa di panen.
Apalagi pengunaan arang bekas lokasi yang lama, jelas dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Dirjen Planologi departemen Kehutanan pada tahun November 2006 terhadap pengusaha panglong arang saat itu yang melakukan aktifitas panglong arang pun oleh orang yang sama saat ini, sehingga sebagian pengusaha yang sama dan panglong arang yang sama pula.
Atas izin yang di keluarkan kala itu oleh Dinas Sumber daya alam atas nama bupati Lingga Tidak sesuai dengan ketentuan. Begitu juga halnya, kejanggalan bahwa mangrove yang di ambil pengusaha arang berasal dari pembangunan HTR sebagaimana di maksudkan, salah satu masyarakat teluk. Zool Ali melalui akun media sosialnya menymapaikan. Bahwa Hutan Mangrove yang dipergunakan pengusaha arang ddi wilayah Hutan Desa Teluk dan sekitarnya Bukan Merupakan hasil Penanaman namun sedari dulu tumbuh dengan sendirinya secara alami sehingga pengusaha panglong arang tidak melakukan penamanan sebagaimana ketentuan, sehingga Penggunaan Hasil kayu arang oleh pengusaha panglong arang di duga hasil pembabatan hutan mangrove secara ilegal sejak beberapa tahun belakangan ini. Pemanfaatan hasil mangrove sebagaimana mekanisme dan prosedur sebagaimana peraturan menteri kehutanan pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf b dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya.
Pasal 40 ayat 2 PP No.6 Tahun 2007), sementara itu, tata cara Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTR dalam hutan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman,pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. (Pasal 40 ayat 3 PP. No. 6 tahun 2007). Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Rakyat dalam HutanTanaman yang selanjutnya disingkat IUPHHK-HTR adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh perorangan atau koperasi untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. (Pasal 1 ayat 2 Permenhut P.23/Menhut-II/2007).
Bahwa, Koperasi Untuk Hutan tanaman Rakyat yakni adalah atas dasar kelompok masyarakat setempat atas rekomendasi Kepala desa sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 9 Permenhut No P.23/Menhut-II/2007 terkait Persyaratan permohonan yang diajukan oleh koperasi, yakni Keterangan dari Kepala Desa yang menyatakan bahwa Koperasi dibentuk oleh masyarakat setempat. nyatanya Koperasi yang membabat hutan Mangrove di Kabupaten Lingga Bukan berasal dari Koperasi masyarakat setempat namun atas kelompok pengusaha panglong arang terkait. Sehingga ada indikasi manipulasi data keberadaan masyarakat setempat di desa bersangkutan sebagaimana di maksud.
Sehingga, akibat dari pada itu, selama ini di taksirkan ratusan ton Kubik kayu bakau yang di babat oleh pengusaha panglong arang lingga, bahkan sudah puluhan hektar Hutan mangrove lingga mengalami kerusakan. Namun sejauh ini penegakan Hukum terkait kerusakan Hutan tersebut tidak pernah di lakukan, padahal kasat Reskrim Polres Lingga tedahulu, pernah menyampaikan akan mengusut peroalan ini. Namun sejak di ganti Kasat Reskrim saat ini, penindakan terkait pengrusakan Hutan mangove di Lingga belum terlihat di lakukan. Anehnya lagi, dalam hal penindakan pengrusakan Hutan sebagaiman amanat undang-Unndang tentang Pencegahan dan Pemberatasan Pengrusakan Hutan, hanya menyentuh masyarakat kecil dengan kapasitas kayu di bawah 10 Ton Kubik saja dan penangkapan terhadap masyarakat kecil, sementara Itu Ratusan Ton kayu Mangrove Lingga dan Puluhan Hektar Hutan bakau Lingga Dibabat. Aparat kepolisian di Lingga terkesan Tutup mata. (amin)