Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memegang peran vital, mengingat sebagian besar waktu anak dihabiskan di lingkungan sekolah. Namun, berbagai tantangan muncul di lapangan, mulai dari keterlambatan, perilaku menyimpang, hingga kasus perundungan (bullying).
Kepala SMKN 2 Lingga, Ugik Hardjo Sasmito, menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama adalah faktor geografis. “Kedisiplinan siswa kami masih relatif kurang, karena banyak dari mereka tinggal jauh dari sekolah. Saat hujan, mereka datang dengan kondisi basah kuyup karena harus menempuh perjalanan jauh menggunakan sepeda motor. Kami menyarankan agar mereka segera berganti pakaian agar tetap nyaman belajar,” jelasnya.
Namun demikian, pihak sekolah tak tinggal diam. Pendekatan persuasif dipilih sebagai metode utama dalam menangani pelanggaran kedisiplinan. “Kami lebih memilih berdialog langsung dengan siswa, bahkan melibatkan orang tua. Tujuannya agar kami memiliki visi yang sama dalam membentuk karakter anak-anak ini,” tambah Ugik.
Ia menegaskan bahwa pendekatan kekerasan atau hukuman fisik sudah tak relevan lagi. “Anak-anak zaman sekarang memiliki cara berpikir modern. Pendekatan yang keras justru akan membuat mereka semakin menjauh. Kami ingin hadir sebagai teman, bukan hanya sebagai guru,” ujarnya.
Lebih jauh, Ugik menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah. “Masalah ini bukan hanya tanggung jawab sekolah atau orang tua. Lingkungan juga sangat berpengaruh dalam membentuk karakter anak. Namun, solusi bukan berarti memasukkan anak ke barak militer. Pemerintah daerah seharusnya lebih aktif menanamkan nilai nasionalisme dan budaya lokal secara kontekstual,” tegasnya.
Masalah serupa juga terjadi di SMAN 1 Lingga. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Syafni Erida, mengungkapkan bahwa kasus perundungan menjadi tantangan utama. “Yang patut kami syukuri, banyak siswa yang menjadi korban berani melapor. Ini sangat membantu kami dalam menangani kasus-kasus tersebut lebih cepat,” jelas Syafni.
Selain bullying, Syafni menyebutkan beberapa perilaku menyimpang lain seperti bolos sekolah dan merokok. Untuk itu, pihak sekolah menerapkan sistem surat peringatan bertingkat (SP 1 hingga SP 3). “Kami juga rutin mengingatkan siswa soal tata tertib sekolah, baik yang tertulis maupun tidak,” ujarnya.
Guna memperkuat pengawasan di luar sekolah, SMAN 1 Lingga juga menggandeng Satpol PP, Polsek, dan elemen masyarakat. “Kami minta bantuan semua pihak untuk memantau anak-anak di luar jam sekolah. Bila ditemukan perilaku menyimpang, kami harap dilaporkan agar bisa segera ditindaklanjuti,” imbuhnya.
Peringatan Hari Anak Nasional di Lingga kali ini menjadi refleksi penting bahwa pembinaan karakter dan kedisiplinan generasi muda tak bisa dilakukan oleh sekolah saja. Pemerintah daerah harus turun tangan secara sistematis, bukan hanya seremonial. Pendidikan karakter tak cukup di ruang kelas—ia harus menyatu dengan kebijakan publik, lingkungan sosial, dan teladan nyata dari para pemimpin.
Selamat Hari Anak Nasional. Saatnya hadir untuk anak, bukan sekadar hadir saat hari peringatan.(Farlan)