Mereka menilai berbagai sistem digital yang diterapkan pemerintah daerah, seperti SILAT, SIMANJA, hingga sejumlah aplikasi pelaporan lainnya, justru menambah beban kerja akibat tumpang tindih dan ketidakselarasan antarplatform.“Ironinya, sistem digital yang seharusnya menjadi alat efisiensi birokrasi malah berubah menjadi sumber distraksi. Hampir setiap minggu muncul instruksi baru dengan format berbeda dan tenggat waktu mendadak, tanpa koordinasi maupun panduan yang jelas,” ujar Tedi Maembong, salah satu PPPK Kepri, kepada Radar Kepri.
Menurut Tedi, energi dan waktu para PPPK kini banyak tersita bukan untuk melayani masyarakat, melainkan untuk menyesuaikan diri dengan sistem pelaporan yang rumit dan tidak terintegrasi.“Ini mencerminkan lemahnya tata kelola digital ASN di daerah. Banyak aplikasi, tapi tanpa arsitektur data yang terpadu. Akibatnya, birokrasi justru makin lambat dan penuh pekerjaan semu yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik,” tambahnya.
Tedi mengingatkan, jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul kelelahan administratif (administrative fatigue) yang berujung pada turunnya motivasi dan semangat kerja di kalangan PPPK.
Ia mendesak pemerintah daerah, khususnya BKD dan Biro Organisasi, segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pelaporan ASN dan PPPK.“Teknologi seharusnya mempermudah, bukan membelenggu pegawai dalam rutinitas administratif yang absurd. Kami menuntut adanya rasionalisasi — satu data, satu platform, dan satu arah kebijakan,” tegasnya.
Lebih jauh, Tedi juga menyoroti keberadaan sejumlah aplikasi proyek perubahan yang dinilai tidak terintegrasi dan justru menguras anggaran, baik dari APBD maupun APBN.“Banyak proyek aplikasi hanya jadi simbol inovasi, tapi tanpa manfaat nyata. Ini pemborosan,” ujarnya menutup percakapan.
Hingga berita ini diterbitkan, upaya konfirmasi kepada pihak BKD Provinsi Kepri dan Biro Organisasi Setda Kepri masih terus dilakukan oleh Radar Kepri.(Aliasar)







