Sosok seorang Daw Aung San Suu Kyi yang seorang Buddhis dan sebagai tokoh sentral dalam memperjuangkan iklim Demokrasi dan Penegakan HAM di negaranya, Myanmar sangat
kontradiktif dengan apa yang terjadi di negaranya. Sebutan ”Daw” merupakan panggilan hormat buat perempuan Myanmar. Diamnya Suu Kyi dan adanya pelanggaran terhadap penegakan HAM di Rakhine telah membuat Amnesty Internasional mencabut penghargaan Ambassador of Conscience atau duta besar hati nurani. Aung San Suu Kyi pada tahun 2009 menerima penghargaaan tersebut. Apa yang dilakukan Suu Kyi tidak mencerminkan seorang yang menerima penghargaan tersebut. Sebelum adanya kekerasan di Rakhine, Myanmar Suu Kyi
dikenal sebagai Tokoh perjuangan Hak Asasi Manusia di negaranya.
Penolakannya terhadap rezim Militer hingga tahanan rumah yang diterimanya merupakan salah satu perjuangannya. Kiprahnya yang telah diakui oleh dunia internasional sebagai tokoh yang dapat membawa perubahan di negaranya, namun pada sisi lainnya ”diamnya” Suu Kyi dan tidak adanya komentar
sedikitpun dari mulut tokoh pro demokrasi tersebut terhadap masalah etnis Rohingya di
negaranya sangat disayangkan oleh dunia internasional khususunya oleh Amnesty Internasional.
Melalui pernyataan resminya, Sekretaris Jenderal Amnesty International, Kumi Naidoo
menyebut Suu Kyi telah melakukan pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang pernah dibelanya yaitu perjuangan HAM. Dalam pernyataannya, Naidoo mengekspresikan kekecewaan Amnesty International atas kenyataan bahwa walaupun telah mencapai separuh dari masa jabatannya dan
setelah delapan tahun dibebaskan dari tahanan rumah, Suu Kyi tidak menggunakan otoritas
politik dan moralnya untuk menjaga HAM, menegakkan keadilan dan kesetaraan di negaranya.
Naido menyebut Suu Kyi telah menutup mata terhadap kekejaman militer Myanmar dan
meningkatnya serangan terhadap kebebasan berekspresi di negara tersebut khususnya di Negara Bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh.
Sebagai seorang Ambassador of Conscience, Amnesty International berharap Suu Kyi
melanjutkan otoritas moral untuk menentang ketidakadilan di manapun termasuk di Myanmar
sendiri kata Naidoo dalam surat yang ditujukan ke Daw Aung San Suu Kyi. Amnesty
Internasional sangat kecewa terhadap perilaku dan tindakan Suu Kyi yang tidak lagi mewakili
simbol harapan, keberanian dan pembela Hak Asasi Manusia. Amnesty International tidak
mempunyai alasan untuk tetap mempertahankan status Suu Kyi sebagai penerima penghargaan
Ambassador of Conscience yang telah diterimanya sejak tahun 2009.
Pencabutan penghargaan yang selama ini diberikan ke Suu Kyi telah menimbulkan
interpretasi yang negatif dan buruk terhadap peran Suu Kyi selama ini yang dikenal sebagai
seorang tokoh yang berperan sebagai tokoh pemersatu di negaranya khususnya dalam hal
menegakkan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Suu Kyi selama ini dianggap sebagai
perempuan Asia yang dapat menjadi pelopor tidak saja bagi negaranya, namun juga bagi dunia internasional.
Siapa Aung San Suu Kyi?
Sebagai seorang tokoh pro demokrasi, apalagi sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 1991, peran dan pengaruh Suu Kyi dalam masalah Rohingya sangatlah diharapkan dan memiliki nilai yang positif bagi negara-negara yang peduli dan prihatin terhadap masalah Rohingya tersebut. Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) telah mengutuk dan mengecam pemerintah Myanmar yang tidak dapat mencegah dan melindungi etnik Rohingya terhadap pembunuhan, pemerkosaan dan pembersihan etnis di Myanmar. Mesir
dan Arab Saudi secara terbuka mengecam Myanmar terhadap pembersihan etnis muslim
Rohingya.
Daw Aung San Suu Kyi selama ini dalam perjuangannya selalu menekankan konsolidasi
politik dari berbagai macam etnis yang ada di Myanmar. Bagi Suu Kyi, masalah yang
dihadapinya terutama masalah Rohingya sangatlah dilematis. Disatu sisi dia akan berhadapan dengan pihak militer yang selama ini telah memenjarakan dia dan menjadi tahanan rumah, namun disisi lainnya, dia harus bertindak dan sekurang-kurangnya menghimbau kepada penguasa Myanmar untuk menjadi konsolidasi politik di negaranya tersebut. Akibat tekanan-tekanan internasional yang menyorot masalah Rohingya di negaranya, akhirnya Suu Kyi buka
suaranya juga. Seperti diberitakan oleh BBC London, Daw Aung San Suu Kyi menghimbau
kepada penguasa militer Myanmar untuk dapat melindungi etnis minoritas dan memberikan
kesetaraan dengan etnis-etnis yang ada di Myanmar.
Secara pribadi, Daw Aung San Suu Kyi yang lama bermukim di luar negeri dan
bersuamikan seorang warganegara Inggris, mendiang Michael Aris, sosok Suu Kyi tentunya
sangat menghargai pluralisme dan perbedaan yang ada. Hal tersebutlah yang diharapkan oleh
dunia internasional peranan dan ketokohannya tersebut dalam menyelesaikan masalah Rohingya di negara bagian Rakhin. Ketokohan seorang Suu Kyi telah menginspirasi sutradara Prancis, Luc Besson menggarap film yang bercerita tentang perjuangan seorang perempuan dan sekaligus ikon demokrasi Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi. Film yang di beri judul ”The Lady”, menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh perempuan Myanmar, Aung San Suu Kyi sejak kembali ke negaranya, tahun 19988. Bersama suaminya, Michael Aries seorang warga negara Inggris, Daw Aung San Suu Kyi tidak pernah surut dalam memperjuangkan demokrasi di
negaranya. Inti dari Film ”the Lady”, menceritakan keseharian Daw Aung San Suu Kyi selama masa- masa dalam tahanan di negaranya dalam dua dekade terakhir. Dalam Film ”the Lady”, sosok Daw Aung San Suu Kyi diperankan oleh aktris Hollywood asal Malaysia, Michelle Yeoh dan sosok Michael Aris, diperankan oleh aktor Prancis, David Thewlis. Film ”the Lady” yang baru diluncurkan tersebut telah mendapat simpati dan dukungan internasional dalam pemutaran
pertamanya di Roma, Italia. Memang sosok Daw Aung San Suu Kyi tak akan dapat dipisahkan
dalam perjuangan demokrasi, penegakan HAM dan konsolidasi politik di Myanmar.
Di penjara dan menjadi tahanan rumah selama lebih kurang 20 tahun ia jalani dalam
memperjuangkan tegaknya demokrasi di negaranya. Atas perjuangannya tersebut, Daw Aung San Suu Kyi dianugerahi hadiah Nobel perdamaian tahun 1991. Daw Aung San Suu Kyi
merupakan perempuan Asia pertama yang memenangkan hadiah Nobel perdamaian tahun 1991.
Akibat dipenjara oleh rezim militer Myanmar, Suu Kyi tidak dapat menghadiri penyerahan hadiah Nobel Perdamaian tersebut kepadanya. Suami beserta kedua anaknya yang tinggal di
Inggris yang mewakilinya dalam penyerahan hadiah Nobel Perdamaian tersebut.
Daw Aung San Suu Kyi mendapatkan aspirasi tersebut ketika ia belajar di India, ketika
ibunya Daw Khin Nyunt menjadi duta besar di New Delhi, India. Diharapkan dengan posisi dan ketokohan Suu Kyi tersebut, ia dapat berperan dan mengambil posisi dalam menyelesaikan masalah konflik antar etnis di Myanmar terutama sekali yang mendapat sorotan oleh dunia internasional.
Namun semua penghargaan yang selama ini diterima oleh Suu Kyi telah banyak
mengecewakan dunia internasional khususnya Amnesty Internasional yang menganggap Suu Kyi tidak banyak berbuat bagi perlindungan Hak Asasi Manusia dan penderitaan etnis Rohingya di negara Bagian Rakhine. Sebagai pemimpin de fakto dan menteri luar negeri, perannya sangat berpengaruh untuk dapat bertindak dan menghentikan pemusnahan dan penderitaan etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine. Myanmar, negara multi-etnis dan Rohingya ada didalamnya
Selain etnis Burma yang mayoritas di negara tersebut, juga terdapat etnis-etnis lainnya seperti Bamar, Karen, Kayah, Rohingya, Kachin, Chin, Arakan, Naga, Mon dan Shan (Siam dalam
bahasa Thailand). Etnis Rohingya menempati wilayah di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat. Saat penjajahan Inggris, etnis-etnis yang ada di Burma berjuang untuk satu tujuan yaitu mencapai kemerdekaan dari koloni Inggris, tidak terkecuali dari etnis Rohingya. Burma merdeka pada 4 Januari 1948 dari jajahan Inggris. Namun setelah kemerdekaan, etnis Burma yang menguasai baik Sumber Daya Alam maupun Sumber Daya Manusia lebih berperan dan menimbulkan kecemburuan sosial dari etnis-etnis yang ada tersebut, akibat ketidakmerataan ekonomi dan politik. Menurut versi pemerintah Myanmar yang berkuasa, etnis Rohingya tak diakui sebagai
salah satu etnis yang sah di Myanmar, walaupun sebelum kemerdekaan Burma (Myanmar), etnis Rohingya juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan negara tersebut.
Sejarah perjuangan Myanmar mencapai kemerdekaan, etnis Rohingya juga memiliki
andil yang cukup besar terutama ketika berhadapan dengan penjajahan Inggris. Kendati telah bermukim di wilayah Myanmar, jauh sebelum perang dunia kedua, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Barangkali perbedaan kultur dan kepercayaan yang menjadikan etnis Rohingya tidak diakui sebagai warganegara Myanmar yang sah.undang-undang kewarganegaraan yang berlaku sejak 1982 tak mengakui etnis Rohingya yang muslim tersebut sebagai warga negara.
Di lain pihak, akibat dominasi dari etnis Burma terhadap etnis-etnis yang ada di Myanmar, telah menimbulkan konflik dan pemberontakan-pemberontakan seperti halnya
pemberontakan dari etnis minoritas Karen yang menginginkan otonomi khusus dan tidak
didominasi oleh etnis Burma. Walaupun etnis Karen dan etnis Burma memiliki kepercayaan
terhadap Buddha, namun akibat dominasi etnis Burma terhadap sumber daya alam menjadikan
etnis Karen memberontak dan mengangkat senjata dan hingga kini terus memperjuangkan
otonomi yang khusus dan memiliki kontrol sendiri terhadap rakyat dan wilayahnya tersebut.
Perjuangan dari etnis minoritas seperti Karen ini lebih bertumpu disepanjang perbatasan antara Thailand dan Myanmar.
Dalam perkembangan sejarah modern Myanmar (Burma), etnis Rohingya bukanlah etnis yang baru mendiami wilayah Myanmar Barat (penduduk illegal seperti pengakuan dari
pemerintah Myanmar). Etnis Rohingya menempati di negara bagian (Provinsi) Rakhine, Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala Bangladesh dan dipisahkan oleh sungai Naf yang memisahkan antara negara Myanmar dan Bangladesh. Secara kultural, etnis Rohingya berasal dari India dan Bangladesh yang umumnya beragama Islam, berbeda
dengan etnis mayoritas Burma yang beragama Buddha. Etnis Rohingya tidak memiliki sejarah
membeontak terhadap pemerintah pusat di Rangoon. Berbeda dengan etnis-etnis lainnya seperti halnya etnis Karen yang selalu menentang pemerintah pusat dan hingga kini masih terus berjuang dengan mengangkat senjata serta menginginkan otonomi khusus dan tidak didominasi oleh etnis Burma yang mayoritas.
Etnis Rohingya di Myanmar termasuk etnis yang tidak pernah menuntut otonomi khusus,
apalagi menginginkan kemerdekaan terpisah dari pemerintah pusat di Rangoon, ibu kota lama Burma (sekarang Naypyidaw). Berbeda dengan etnis-etnis lainnya, katakanlah seperti etnis Karen, Kachin yang minoritas dan selalu mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi khusus maupun kemerdekaan dari pemerintah pusat. Konsistensi pemerintah Myanmar yang dikuasai oleh militer tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Salah satunya adalah penggantian nama negara dari Burma menjadi Myanmar salah satunya adalah didasarkan
kepada adanya faktor etnisitas dan politik konsolidasi. Perubahan nama negara tersebut agar etnis non-Burma yang merupakan etnis minoritas di negara tersebut akan merasa menjadi bagian dan tidak terpisahkan secara utuh. Etnis Burma berasal dari Tibet-Mongolia. Semoga kekerasan
terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine dapat segera dihentikan, semoga.
Catatan : Penulis merupakan Alumni Ekonomi-Politik Internasional IKMAS, UKM, Bangi
Malaysia/Sebagai Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Riau.