Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Kerjasama ASEAN
Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA
Indonesia sangat mendukung kemitraan dengan Rusia dan Cina. Dalam KTT ASEAN tahun 2018 di Singapura telah memberikan penekanan kepada kemitraan Trans Pasifik. Peran Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya semakin dituntut untuk lebih besar lagi memberikan sumbangan bagi keamanan dan kestabilan khususnya di kawasan regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik umumnya. Pengalaman Indonesia beberapa kali sebagai ketua ASEAN telah memberikan momentum untuk tetap terus memberikan sumbangsihnya bagi kestabilan ekonomi dan politik kawasan regional ASEAN. Tidak hanya untuk tingkat regional ASEAN saja, peran Indonesia dalam menerapkan politik luar negerinya juga dituntut peran yang lebih besar lagi seperti halnya peran Indonesia dalam APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) yang telah dilaksanakan di Papua Nugini. Indonesia telah berupaya memberikan kontribusi yang besar dalam ASEAN maupun di Forum APEC. Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang karena pertumbuhan ekonominya dianggap memiliki peran yang cukup stategis di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar keempat setelah Cina, Amerika Serikat dan India Indonesia dikategorikan memiliki nilai plus untuk dapat memainkan peran yang strategis. Indonesia juga menjadi negara demokrasi baru yang dalam proses konsolidasi menuju negara yang sangat demokratis dan dapat memberikan inspirasi ke negara-negara lain untuk mempromosikan demokrasi dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Secara geografis, posisi Indonesia memiliki posisi yang bertetangga dengan negara-negara yang memiliki posisi stategis seperti berbatasan dengan Australia. Peran yang telah diberikan oleh Indonesia baik dalam forum ASEAN maupun APEC adalah selalu mendorong kepada negara-negara mitranya untuk tetap menghormati Hak Asasi Manusia dan selalu membuka iklim demokratisasi dalam upaya terwujudnya konsolidasi politik di antara komponen-komponen masyarakat di negaranya. Keberhasilan Indonesia dalam ASEAN telah dibuktikan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan antara Kamboja dan Thailand. Penyelesaian konflik perbatasan antara Kamboja dan Thailand telah tercapai dengan tidak mengabaikan peran serta dan komitmen bersama. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan politik luar negeri Indoesia yang lebih mengedepankan kepada dialog dan kerja sama ketimbang pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan setiap permasalahan khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Konflik oleh kedua negara ASEAN tersebut dapat dihentikan dan diselesaikan di meja perundingan. Sekali lagi peran Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut telah terbukti. Penyelesaian pertikaian kedua negara tersebut telah membuktikan bahwa peran Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri masih memiliki kekuatan yang sangat strategis khususnya di kawasan regional, Asia Tenggara. Secara umum, peran yang telah diberikan oleh Indonesia dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul telah berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh negara-negara yang berkonflik. Keberhasilan Indonesia membawa konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja ke meja perundingan dan menghindari konflik militer lebih jauh lagi. Setidaknya peran yang telah diberikan oleh Indonesia tersebut merupakan upaya dalam menerapkan peran Politik Luar Negeri yang bebas aktif khususnya dalam menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
KTT ASEAN di Singapura dan Konflik di Laut Cina Selatan
Sengketa di kawasan Laut Cina Selatan masih menjadi topik utama dalam pembicaraan KTT ASEAN di Singapura tahun 2018. Ketegangan militer antara Filipina dan Cina di Gugusan Laut Cina Selatan telah menjadi keprihatinan negara-negara ASEAN khususnya Indonesia. Indonesia telah mengambil peran dalam menyatukan ASEAN dalam masalah sengketa di kawasan Laut Cina Selatan tersebut. ASEAN sebagai organisasi regional sangat berkepentingan dalam masalah tersebut. Negara-negara anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Brunai Darussalam dan Malaysia memiliki masalah dengan Cina terutama dalam gugusan kawasan di Laut Cina Selatan. Bagi ASEAN, konflik di Laut Cina Selatan secara langsung berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi, politik dan keamanan di wilayah tersebut.
Keterlibatan negara-negara anggota ASEAN dalam konflik di Laut Cina Selatan seperti Filipina, Brunai Darussalam, Vietnam, Malaysia serta Taiwan yang berkonflik dengan Cina telah mengkhawatirkan akan timbulnya konflik terbuka dan luas yang akan berujung kepada perang terbuka. Peran ASEAN yang tetap mengupayakan Deklarasi Kode Etik Konflik di Laut Cina Selatan (Code of Conduct on South China Sea) merupakan salah satu solusi dalam mencegah konflik terbuka. Kode etik konflik di Laut Cina Selatan berupaya membuat aturan larangan berkonflik khususnya bagi negara-negara yang memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan.
Cina mengklaim seluruh wilayah disepanjang Gugusan Laut Cina Selatan sebagai miliknya dan tidak dapat diganggu gugat. Sebaliknya, Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam dan Vietnam (anggota ASEAN) mengklaim sebagian wilayah di Laut Cina Selatan tersebut miliknya. Belakangan ini, muncul ketegangan antara Cina dan Filipina atas wilayah yang dinamakan ”Scarborough Shoal” yang terletak sekitar 230 km dari Luzon, salah satu pulau utama di Filipina, manakala 1.200 km dari ujung pantai barat laut daratan Cina yaitu di Provinsi Hainan. Cina menamai pulau tersebut dengan sebutan Pulau Huangyan. Ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan tidak saja antara Cina dan Filipina, juga terjadi antara Cina dan Vietnam yang melibatkan tentara di ke-2 negara tersebut. Perang terbuka pernah terjadi antara Cina dan Vietnam. Hegemoni Cina atas wilayah di Laut Cina Selatan bukanlah hal yang baru. Kepentingan ekonomi, politik dan pertahanan-keamanan di wilayah tersebut menjadikan agresifnya militer Cina yang mengklaim wilayah di sepanjang Laut Cina Selatan tersebut.
Bagi Cina yang mengklaim gugusan Laut Cina Selatan sebagai miliknya, secara terus menerus memperkuat armada militernya untuk dapat menguasai wilayah di Laut Cina Selatan yang masih dipersengketakan. Kekhawatiran tersebut didukung oleh meningkatnya anggaran militer Cina. Indikasi penguasaan (hegemoni) oleh militer Cina di kawasan Laut Cina Selatan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan di di wilayah tersebut. Peningkatan anggaran militer tersebut membuktikan bahwa Cina serius untuk tetap menguasai di perairan Laut Cina Selatan yang masih dipersengketakan. Tidak hanya negara-negara ASEAN yang mengkhawatirkan hal tersebut, Amerika Serikat juga mengkhawatirkan hal tersebut yang mana Amerika Serikat juga memiliki kepentingan strategis di wilayah tersebut yaitu sebagai jalur internasional. Dan Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk menjaganya.
Dengan jumlah penduduk yang diperkirakan berjumlah 1,5 miliar, Cina berupaya untuk terus menguasai Laut Cina Selatan. Militer Cina telah menunjukkan kemajuan kekuatan tempurnya kepada dunia dengan memamerkan persenjataan baru dan uji terbang jet tempur siluman yang diluncurkan dari kapal induk. Namun bagi negara-negara tetangga Cina seperti halnya Jepang dan Korea Selatan maupun negara-negara yang masih memiliki konflik perbatasan di Laut Cina Selatan, peningkatan anggaran militer Cina tersebut mengkhawatirkan dan sekaligus merupakan ancaman jangka panjang, jika persoalan konflik di sepanjang Laut Cina Selatan tidak diselesaikan melalui meja perundingan. Kekhawatiran tersebut beralasan karena Cina telah menunjukkan kekuatan militer di sepanjang Gugusan Laut Cina Selatan dan Kepulauan Spartly.
Selain diyakini memiliki sumber daya alam berupa minyak dan gas, juga di Laut Cina Selatan tersebut merupakan jalur yang sangat strategis menuju negara-negara Eropa dan dilayari oleh beberapa negara dalam mendukung perekonomiannya. Bagi Amerika Serikat sebagai sekutu Jepang dan Korea Selatan, jalur pelayaran di Laut Cina Selatan merupakan jalur yang utama dan strategis dalam menjaga stabilitas baik politik, ekonomi serta keamanan regional di kawasan Asia Pasifik. Oleh karenanya, Amerika Serikat memandang jalur di Laut Cina Selatan tersebut merupakan jalur yang sangat vital dan strategis dalam mendukung sistem pertahanan keamanannya serta sebagai melindungi sekutu-sekutunya.
Semenjak ditutupnya pangkalan militer Amerika Serikat di Subic dan Clark, Filipina tahun 1992, kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik hanya terletak di Guam dan Jepang. Namun seiring perkembangan yang terjadi di Laut Cina Selatan, Amerika Serikat baru-baru ini telah berupaya membuka pangkalan militernya di Darwin, Australia dengan menempatkan sejumlah personil militernya. Indikasi tersebut memperlihatkan bahwa, Amerika Secara secara tidak langsung tidak menginginkan kekuatan militer jatuh ke tangan Cina khususnya dalam penguasaan di kawasan Asia Pasifik. Sebaliknya Cina menganggap kehadiran militer Amerika Serikat di Australia memiliki kepentingan untuk menguasai jalur di Laut Cina Selatan dan mengamankan pengaruhnya di Jepang dan Australia.
Oleh karenanya, kehadiran militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik khususnya di Laut Cina Selatan amat diperlukan dalam menyeimbangi kekuatan militer Cina yang akhir-akhir ini menunjukkan kekuatannya di kawasan Asia Pasifik. Oleh karena itu, Amerika Serikat sangat berkepentingan dalam hal menjaga stabilitas dan perimbangan kekuatan dengan Cina dalam hal mengamankan di jalur pelayaran Laut Cina Selatan. Walaupun Amerika Serikat tidak mengklaim atas kepemilikan di Laut Cina Selatan, kepentingan dan pengaruhnya di Perairan Laut Cina Selatan sangatlah besar dan tentu sebagai perimbangan kekuatan terhadap Cina yang memiliki kekuatan militer terkuat di Asia Pasifik saat ini. Oleh karena itu, posisi Indonesia sebagai negara terbesar di kawasa Asia Tenggara memiliki peran yang cukup strategis dengan ASEAN dan Forum APEC untuk mengajak Cina dan Amerika Serikat selalu menjadi stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan.
Catatan : Penulis merupakan Alumni Ekonomi Politik Internasional IKMAS UKM, Malaysia/Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Provinsi Riau