; charset=UTF-8" /> MATI SURI - | ';

| | 1,789 kali dibaca

MATI SURI

H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP2

Oleh: H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP

Malam kian memekat. Bebintang enggan tersenyum. Angin berhembus lembut. Rerintik hujan bertandang ke bumi. Dingin menyelimuti kawasan itu. Beberapa jamaah Masjid Agung Baitul Mujahidin mengurungkan niatnya untuk keluar rumah. Hanya beberapa jamaah yang memiliki kendaraan roda empat saja yang memenuhi jalan poros pusat kota Kabupaten Gulung-gulung menuju masjid megah berarsitek Timur Tengah itu. Seperti biasa, setiap sepertiga pertama malam Jumat, di masjid agung diadakan shalat tahajud dan shalat witir berjamaah. Seperti biasanya pula, setiap sepertiga malam Jumat, masjid agung selalu dipenuhi jamaah untuk melaksanakan shalat sunah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah tersebut. Tapi, untuk kali ini, masjid agung agak sepi dari jamaah. Selain karena cuaca yang kurang ramah, jamaah masih berada dalam suasana berkabung atas meninggalnya kembali Kiyai Muhsin Ahmad bin Ahmad Muhsin, kiyai yang dulu pernah meninggal dan hidup lagi setelah satu bulan terkubur di liang lahat.

Sebelum berpulang ke rahmatullah untuk kedua kalinya, kehadiran Kiyai Muhsin ke bumi setelah terkubur selama satu bulan itu, meninggalkan kesan yang sangat berarti bagi masyarakat Kabupaten Gulung-gulung, khususnya jamaah Masjid Agung Baitul Mujahidin. Setelah masyarakat kabupaten yang kaya dengan minyak dan gas alam ini beberapa lama terjebak dalam euforia maksiat akibat ceramah Kiyai Solehudin Salam yang liberal dan paham leburnya dosa bersama jasad dari H. Mad Din, Kiyai Muhsin hadir bagaikan Imam Mahdi untuk menyelamatkan umat dari kekacauan akhir zaman akibat propaganda sesat Sang Dajal.

Kiyai Muhsin berusaha meluruskan kekeliruan sporadis yang diakibatkan ceramah Kiyai Salam yang terlalu berani merambah wilayah kekuasaan mutlak Tuhan, dan paham H. Mad Din yang terlalu berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa berpegang pada kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati oleh seorang penafsir kitab suci. Dan kenyataannya, memang H. Mad Din bukan orang yang berlatar belakang pendidikan tafsir Al-Qur’an. Jangankan berpendidikan tafsir Al-Qur’an, ilmu agama lainnya pun tidak pernah dia dalami. H. Mad Din mendapatkan sedikit pengalaman belajar ilmu agama hanya melalui jamaah-jamaah yang sering datang ke kampungnya yang mengaku ahli Al-Qur’an dan berasal dari negeri seberang. Dengan mendapatkan ilmu agama yang setengah-setengah itulah, H. Mad Din merasa memiliki cukup kemampuan untuk menafsirkan Al-Qur’an dan membuat paham  agama sendiri yang paling diyakininya sebagai paham yang paling benar.

Kiyai Muhsin tidak pernah gentar menghadapi kelompok-kelompok hedonis-materialistis yang terlanjur dijustifikasi dan didukung oleh Kiyai Salam dan H. Mad Din yang kini sudah jadi konglomerat. Kendatipun Kiyai Muhsin sering mendapat siksaan fisik dari mereka, tapi kiyai yang sudah sejak dulu terkenal zuhud dan keras dalam memegang prinsip ini, tidak pernah sedikitpun mundur dari perjuangannya untuk meluruskan akidah dan amaliah masyarakat Kabupten Gulung-gulung dan membersihkannya dari paham liberal Kiyai Salam dan paham ekstrim kiri H. Mad Din.

Setelah perjuangan yang banyak menyita tenaga, pikiran dan harta para pendukungnya yang tidak seberapa, Kiyai Muhsin pelan-pelan kembali diterima oleh mereka yang pernah tenggelam dalam paham Kiyai Salam dan paham H. Mad Din. Mereka yang dulu waktunya lebih banyak dihabiskan di tempat-tempat hiburan berbasis maksiat, kembali menyibukkan diri dengan beribadah di masjid agung. Mereka yang dulu enggan shalat, berinfaq, berpuasa, berzakat dan berhaji, berbalik arah mendadak menjadi orang yang sangat saleh secara individual maupun sosial. Malaikat Jibril yang kembali mendapatkan perintah perjalanan dinas ke Kabupaten Gulung-gulung, yang dulu gusar, lantas tersenyum karena perubahan positif yang dialami masyarakat salah satu kabupaten terluar di Republik Pura-pura Makmur ini.

Malaikat Jibril yang merasa puas dengan kondisi ini, langsung terbang ke hadirat Tuhan untuk memberikan laporan. Inti laporannya adalah, masyarakat Kabupaten Gulung-gulung sudah kembali normal seperti sediakala bahkan lebih baik daripada sebelum Kiyai Muhsin Ahmad bin Ahmad Muhsin dibangkitkan kembali ke muka bumi. Selain itu, yang terpenting untuk dilaporkan oleh Malaikat Jibril adalah perubahan gaya hidup Kiyai Muhsin yang sebelum meninggal untuk pertama kalinya yang cuek dengan kondisi masyakarat sekitar, yang kerjanya cuma beribadah di masjid saja, mengasah kesalehan individual tanpa peduli dengan kesalehan sosial, telah berubah menjadi orang yang selalu menyeimbangkan antara ibadah individu dan ibadah sosial. Karena itu, setelah kematiannya yang kedua, Kiyai Muhsin tidak perlu dihidupkan kembali ke dunia. Kiyai Muhsin sudah membuat pilihan untuk masuk dalam pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Dalam pertarungan itu, Kiyai Muhsin telah memenangkan kebaikan atas keburukan. Karena itu pula, Kiyai Muhsin layak dimasukkan ke surga.

***

Meskipun cuaca tak kunjung ramah, jamaah yang kebetulan diberikan rezeki kendaraan roda empat, terus berduyun menuju masjid agung. Dalam duyunan kendaraan roda empat itu, tampak Ustaz Zainullah Hasan, imam besar Masjid Agung Baitul Mujahidin, yang dengan sigapnya mengayuh sepeda motor bebeknya yang mulai menua dimakan usia, menembus kegelapan malam, bersaing dengan rerintik hujan yang terus bertamu ke bumi. Jubah putih yang biasa dikenakan untuk mengimami jamaah, terus melambai-lambai mengiringi perjalanannya menuju masjid agung.

Beberapa jamaah sempat kasihan dengan nasib imam besar yang sering kehujanan di saat para jamaahnya berlindung enak di balik mobil kebanggaannya. Tapi apa boleh buat, mereka tidak punya kuasa apa-apa untuk membantu sang imam besar. Menurut cerita yang didengar beberapa jamaah, pernah diajukan usulan kepada Pemerintah Kabupaten Gulung-gulung agar masjid agung diberikan kendaraan operasional yang bisa dipinjam-pakaikan kepada imam besar dan beberapa bidang lain yang ada di masjid termewah di Propinsi Ombak Laut ini, tapi belum juga mendapat respon positif dari pihak yang memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan tersebut. Sementara itu, banyak sekali mobil-mobil dinas bekas yang kini berkarat karena dianggurkan di salah satu sudut kota Kabupaten Gulung-gulung. Kalau dipikir-pikir, apa salahnya kalau salah satu dari mobil dinas bekas itu dipinjam-pakaikan untuk kendaraan operasional masjid agung.

Entah apa sebabnya, kenapa usulan yang baik ini belum juga ditanggapi oleh pihak yang berwenang mengambil kebijakan di Kabupaten Gulung-gulung? Mungkin beliau-beliau sedang sibuk dengan hal-hal lain yang menurut mereka lebih penting dari sekedar mengurus masjid agung. Apalagi hanya mengurus imam besar dan imam-imam lain serta pengurus masjid yang menurut para pembesar itu seharusnya mereka tidak memikirkan kenikmatan dunia. Semestinya mereka cukup memikirkan akhirat saja. Sudah untung dikasih honor. Janganlah memikirkan yang lain-lain. Begitulah desas-desus komentar para pembesar di negeri Gulung-gulung tentang para petugas urusan akhirat akhir-akhir ini yang beredar di masyarakat. Beberapa jamaah yang punya perhatian lebih terhadap imam yang memandu mereka bermunajat kepada Tuhan merasa sedih dengan kondisi seperti itu.

“Begitulah, para petugas urusan akhirat selalu dinomor-duakan bahkan dianak-tirikan. Mungkin ini sudah menjadi hukum di Kabupaten Gulung-gulung. Kalau saya dijemput Malaikat Izrail untuk kedua kalinya menghadapkan Tuhan, masalah ini akan menjadi agenda prioritas utama dalam laporan saya. Saya akan meminta kepada Tuhan agar Dia mengingatkan pemerintah negeri yang kaya dengan kekayaan alam ini agar lebih peduli dengan para pengurus masjid, imam dan lain-lain yang berhubungan dengan tempat ibadah umat Islam. Jangan hanya kepala dinas, kepala badan, kepala bagian, camat dan kepala desa saja yang diperhatikan kesejahteraannya, tapi orang yang mengurus masalah keagamaan umat juga perlu diperhatikan. Apalagi orang yang mengurus masjid agung-Nya. Mudah-mudahan Tuhan mau mendengarkan permohonan saya. Kalau Tuhan belum mau mendengarkan permohonan saya, dan jika amal saleh saya berupa ajakan kepada  masyarakat kabupaten ini untuk beribadah kepada Allah setelah dikelirukan oleh paham liberal Kiyai Salam dan paham ekstrim kirinya H. Mad Din diterima di sisi-Nya, saya akan bertawassul dengan amal saleh saya itu,” ujar Kiyai Muhsin suatu ketika kepada jamaah dalam sebuah pengajian di masjid agung.

Penggunaan tawassul dalam berdoa kepada Allah oleh Kiyai Muhsin ini pernah didebat oleh salah seorang jamaah yang pernah mengikuti pengajian Ustaz Iqbal Rahman di sebuah masjid yang berlokasi kurang lebih tiga kilo meter dari Masjid Agung Baitul Mujahidin. Jamaah fanatis Ustaz Iqbal ini mempertanyakan dasar hukum tawassul dalam Islam. Untung saja Kiyai Muhsin sudah mempersiapkan referensi yang cukup banyak untuk menjawab pertanyaan jamaah Ustaz Iqbal yang biasa dipanggil Umarudin itu.

Mengutip Al-Imam Taqiyuddin As-Subki dalam Syifa’ As-Saqaam,  Kiyai Muhsin menguraikan secara singkat soal tawassul. “Tawassul memiliki makna dan hakikat yang sama dengan istighatsah, isti’anah dan tawajjuh. Tawassul adalah memohon datangnya manfaat,  kebaikan, atau dihindarkan dari marabahaya, keburukan, dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya. Selain itu, bertawassul juga bisa dilakukan dengan amal saleh seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa orang bersahabat yang terperangkap di sebuah gua. Mereka berdoa dan bertawassul dengan amal saleh mereka masing-masing agar pintu gua dibukakan. Dan dengan izin Allah, pintu gua pun terbuka.”

Mendengar penjelasan itu, Umarudin masih belum puas. Kiyai Muhsin pun melanjutkan penjelasannya, “Memang sebagian kalangan memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudarat kepada seorang nabi atau wali atau amal saleh dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfaat secara hakiki adalah seorang nabi atau wali atau amal saleh tersebut. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menghakimi orang yang bertawassul sebagai orang kafir dan musyrik. Ide dasar tawassul adalah sebagai berikut. Allah telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan dunia ini berdasarkan hukum kausalitas, sebab-akibat. Sebagai contoh, Allah sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun. Namun, kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya.”

Kemudian Kiyai Muhsin membacakan Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45 dengan suaranya berat, “Minta pertolonganlah dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” Untuk lebih menguatkan argumentasinya, Kiyai Muhsin juga membacakan Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 35, “Dan carilah hal-hal yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah.”

Kiyai Muhsin menambahkan, “Ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Dia Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah telah menjadikan tawassul dengan para nabi, wali dan amal saleh sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan seorang hamba. Jadi, tawassul adalah sebab syar’i yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba itu. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Tawassul dengan amal saleh juga diperbolehkan. Nabi, wali dan amal saleh hanyalah sebab dikabulkannya permohonan seorang mukmin. Secara hakiki, hanya Allah yang memberikan manfaat dan mudarat, bukan nabi, wali atau amal saleh. Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah. Keyakinan yang benar dari orang yang sakit itu, pencipta kesembuhan adalah Allah, sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah sebab ‘aadi, maka tawassul adalah sebab syar’i. Seandainya tawassul bukan sebab syar’i, maka Rasulullah tidak akan pernah mengajarkan orang buta yang datang kepadanya agar bertawassul dengannya.”

Kiyai Muhsin kemudian menceritakan, “Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah. Orang tersebut ingin diberikan kesembuhan dari butanya. Akhirnya, dia disembuhkan dari kebutaannya oleh Allah di belakang Rasulullah, tidak di majelis Rasulullah, dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadis ini dan mengamalkan isinya. Para ahli hadis juga menuliskan hadis ini dalam karya-karya mereka seperti Al-Hafizh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan Al-Mu’jam Ash-Shaghir. Hadis ini sahih. Hadis ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi baik saat masih hidup maupun di belakangnya atau tidak dihadapannya. Hadis ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup, tetap berlaku selamanya dan tidak ada yang me-nasakh-nya,” jelas Kiyai Muhsin panjang lebar.

Sejak mendengar penjelasan Kiyai Muhsin tersebut, Umarudin, mulai lebih banyak berada di majelis Kiyai Muhsin ketimbang berada di majelis Ustaz Iqbal Rahman. Bagi Umarudin, meskipun Ustaz Iqbal bersikeras mengecamnya karena mulai mengamalkan tawassul dalam setiap doa, bertawassul itu adalah tetap menjadi pilihannya. Silakan Ustaz Iqbal menolak tawassul. Itu pilihan dan keyakinan dia. Yang terpenting adalah, amalkan apa yang kita yakini, sejauh itu ada dasar hukumnya.

***

Sejak mengamalkan tawassul.

Suatu malam Umarudin bermimpi. Dalam mimpinya, dia diajak bepergian oleh seorang pemuda tampan yang berjubah putih bersih dan berkilau. Pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Malaikat Jibril. Dengan berkendaraan mirip Buraq, kendaraan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang penuh hikmah, Umarudin diajak terbang melintasi laut dan  gurun pasir nan luas. Kemudian, Umarudin bersama Jibril melesat menuju langit ke tujuh. Inginnya Umarudin bertemu Tuhan di Mustawa. Tapi dilarang. Karena Umarudin belum saatnya bertemu Sang Pencipta alam. Umarudin hanya dibolehkan berkeliling bersama Jibril di sebuah taman yang diciptakan sebagai kediamaan abadi para hamba Tuhan yang bertakwa. Itulah surga yang luasnya seluas semesta.

Umarudin benar-benar terpesona oleh pemandangan yang teramat indah itu. Dalam perjalanan bersama Jibril di taman surga, tak henti-hentinya Umarudin mengucapkan tasbih, memuji, mentauhid dan mengagungkan kebesaran Allah. “Subhanallah! Walhamdulillah! Walaa ilaaha illalaah! Wallaahu akbar!

Tidak puas hanya memandang surga dari kendaraan mirip Buraq, Umarudin meminta izin kepada Jibril untuk turun dari kendaraan. Jibril pun mengizinkannya. Umarudin lalu turun dari kendaraan. Dengan sepatu kaca berwarna putih perak, satu persatu Umarudin melangkahkan kakinya di halaman surga. Di halaman surga, Umarudin bertemu dengan banyak penghuni yang sedang bergembira dengan kenikmatan yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka tertawa riang dan tersenyum bahagia. Mereka saling menyapa satu sama lainnya.

Sampai pada satu saat, Umarudin tertegun dan begitu terharu melihat teman-temannya yang dahulu berdebat tentang tarawih, doa qunut, dan tawassul ternyata semuanya masuk surga. Mereka yang shalat tarawih 20 rakaat, berdoa qunut dan bertawassul, saling bersapa dengan  mereka yang shalat “tarawih” delapan rakaat, tidak membaca doa qunut dan tidak bertawassul.

Alhamdulillah, kita sama-sama masuk surga,” ujar laki-laki yang dikenal Umarudin sebagai Nikmatul Huda. Ketika hidup, dia termasuk pengamal tarawih 20 rakaat, doa qunut dan tawassul.

Alhamdulillah, saya bersyukur sekali,” ujar laki-laki yang dikenal Umarudin sebagai Habib Rahman. “Meskipun “tarawih” saya cuma delapan rakaat, tidak berdoa qunut dan tidak bertawassul, tetapi tetap bisa berjumpa dengan teman-teman pengamal tarawih 20 rakaat, doa qunut dan bertawassul. Ternyata, tuduhan teman-teman kita yang anti tarawih 20 rakaat, doa qunut dan tawassul itu keliru. Buktinya, kita sama-sama masuk surga. Sekali lagi, alhamdulillah.”

Umarudin yang dari tadi memperhatikan kedua sahabat yang ketika di dunia berseberangan pendapat dan amaliah itu, tertarik untuk ikut bergabung.

Assalamu’alaikum, teman-teman!” ujar Umarudin meminta tanggapan dari kedua sahabat lamanya itu.

Wa’alaikumussalam!” jawab Nikmatul Huda dan Habib Rahman serempak.

Subhanallah! Kita bisa berjumpa lagi! Meskipun saya dulu pernah menuduh pelaku tawassul sebagai orang kafir dan musyrik, tapi saya bertobat dari semua tuduhan itu. Ini semua karena izin Allah melalui wasilah Kiyai Muhsin.”

“Hah! Kiyai Muhsin yang mana?” tanya Habib Rahman kaget. “Kiyai Muhsin Ahmad bin Ahmad Muhsin yang pernah ditolak masuk surga dan neraka itu? Lalu kemudian dikembalikan ke dunia?”

“Iya, Kiyai Muhsin yang mana lagi,” jawab Umarudin.

“Kasihan Kiyai Muhsin. Saya masih ingat dengan jelas, waktu itu saya sedang mengantri di belakang Kiyai Muhsin untuk masuk ke surga. Tapi tiba-tiba Kiyai Muhsin disuruh pergi ke neraka. Alasannya, karena surga tidak mau menerima Kiyai Muhsin. Dengan sedih, malaikat penjaga surga menyampaikan berita itu. Apa boleh buat, itu keputusan Pemilik surga. Saya sempat kaget. Masa kiyai sebaik itu mau diceburkan ke neraka. Selang beberapa bulan, melalui seorang teman yang mengantri di pintu neraka bersama Kiyai Muhsin, saya mendapatkan informasi yang lebih mengherankan. Teman saya itu mengirimkan informasi lewat komunikasi telepati karena di sini tidak ada telepon seluler atau media komunikasi yang bisa digunakan untuk menelepon, ber-SMS, BBM, twitter, ber-facebook atau lainnya. Dengan komunikasi lewat telepati itu, teman saya mengabarkan bahwa Kiyai Muhsin juga ditolak masuk neraka, dan kemudian dikembalikan ke dunia dengan alasan yang pada waktu itu tidak sempat dijelaskan oleh teman saya itu, karena dia buru-buru diceburkan ke neraka,” cerita Habib Rahman sedih.

“Tapi kehadiran Kiyai Muhsin kembali di dunia justru membawa kebaikan yang cukup banyak, khususnya bagi Kabupaten Gulung-gulung,” ujar Umarudin. “Kiyai Muhsin justru menjadi Imam Mahdi-nya kabupaten yang kita cintai itu. Banyak perubahan positif dalam kehidupan keagamaan yang dibawa Kiyai Muhsin. Paham liberal Kiyai Salam, paham ekstrim kiri H. Mad Din dan paham ekstrim kanan Ustaz Iqbal Rahman bisa diredam oleh Kiyai Muhsin. Bahkan sejak  saya mendapat penjelasan yang panjang lebar dari Kiyai Muhsin, tentang tawassul yang pernah saya kecam, saya kemudian justru menjadi pengamal tawassul. Dan ternyata benar keputusan saya tidak keliru untuk menjadi pengamal tawassul. Buktinya, sekarang kita bisa  kembali bersama di surga. Saya berharap, teman-teman kita lainnya yang mengecam para pengamal tawassul juga bisa bersama kita di sini. Amin!

Amiiiiin!!” jawab Nikmatul Huda dan Habib Rahman kembali serempak.

Di saat mereka sedang asyik membicarakan Kiyai Muhsin, Kiyai Salam dan H. Mad Din, tiba-tiba Ustaz Iqbal Rahman muncul dari kerumunan para penghuni surga.

Assalamu’alaikum, ya Ikhwan!” seru Ustadz Iqbal Rahman gembira.

Wa’alaikumussalam!” jawab Umarudin, Nikmatul Huda dan Habib Rahman serempak.

“Maaf, saya terlambat bergabung. Karena saya mendapat pemeriksaan yang ketat dari penjaga pintu surga, terutama tentang tuduhan-tuduhan saya terhadap para pengamal tawassul sebagai orang kafir dan musyrik. Saya sudah mencoba memberikan argumentasi berdasarkan kitab-kitab muktabar ulama kalangan kami sebagai alasan untuk menyebut para pengamal tawassul sebagai orang kafir dan musyrik. Namun, tetap saja saya dianggap bersalah. Jadi, apa boleh buat, saya harus menerima resiko tertunda masuk surga karena tuduhan-tuduhan saya itu. Tapi, alhamdulillah, akhirnya saya bisa berjumpa dengan teman-teman di sini,” ujar Ustaz Iqbal.

“Sudahlah, Ustaz. Jangan persoalkan itu lagi. Yang penting sekarang kita sudah berada di surga,” ucap Umarudin sopan kepada mantan gurunya itu.

“Benar sekali. Lupakan masa lalu. Nikmati keindahan surga yang diberikan Allah kepada kita!”  seru Nikmatul Huda bersemangat. Dan para penghuni surga itu pun tertawa gembira. Kiyai Salam yang akhirnya berhenti dari menyebarkan paham liberalnya kepada penduduk Gulung-gulung pun ikut menyaksikan mereka bergembira di taman surga. H. Mad Din yang baru saja tiba, usai dibersihkan dari dosanya, ingin bergabung tapi malu-malu. Dia malu karena pahamnya tentang leburnya dosa bersama jasad itu keliru. Lagi pula, di neraka, jasadnya yang dulu hancur bersama tanah dihidupkan kembali oleh Allah. Dan H. Mad Din pun terpaksa diceburkan ke neraka, agar jasad dan ruhnya suci dari dosa. Sehingga dengan kesucian itu, H. Mad Din pun layak masuk surga.

Kiyai Muhsin yang baru saja kembali dari kehidupan dunia untuk kedua kalinya, dari jauh menyaksikan para penduduk surga yang dikenalnya itu tertawa gembira. Melihat Kiyai Muhsin yang berdiri di kejauhan, Umarudin berusaha  mendekatinya. Umarudin kemudian menyalami Kiyai Muhsin dan mencium tangannya penuh hormat. Dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan, secepat kilat Kiyai Muhsin menarik tangan Umarudin serta  menempatkannya di atas kendaraan mirip Buraq yang di punggungnya Jibril duduk dan siap mengantarkan Umarudin kembali ke alam dunia. Dan Umarudin pun terbangun dari mimpi.

Terbangun dari mimpinya, Umarudin langsung mendatangi rumah Kiyai Muhsin dan menceritakan apa yang dialami dan disaksikannya dalam mimpi itu. Kiyai Muhsin hanya mengangguk, tersenyum, dan kemudian memeluk Umarudin dengan penuh sayang. Umarudin pun dianggap sudah seperti cucunya sendiri.

***

Begitulah Kiyai Muhsin…. Umarudin hanyalah salah satu dari warga Kabupaten Gulung-gulung yang ikut merasakan hikmah dari hidupnya kembali Kiyai Muhsin. Yah…. Perjuangan Kiyai Muhsin untuk melepaskan masyarakat Kabupaten Gulung-gulung dari perngaruh paham liberal Kiyai Salam dan paham ekstrim kiri H. Mad Din, perjuangan Kiyai Muhsin agar pemerintah memperhatikan nasib para pekerja di bidang keagamaan, dan bergabungnya murid Ustaz Iqbal Rahman dengan jamaah Kiyai Muhsin itu, terjadi beberapa bulan, minggu dan hari sebelum kiyai tawadhu’ itu untuk kedua kalinya berpulang ke rahmatullah.

Sepak terjang dakwah Kiyai Muhsin memang pantas diingat. Di saat orang lain tidak lagi memperhatikan nasib ajaran Islam dan nasib para penyeru dan pekerja untuk Islam di Kabupaten Gulung-gulung, Kiyai Muhsin, dengan segala keterbatasannya terus berjuang tanpa lelah dan tanpa amplop layaknya seorang penceramah kondang. Dan di saat Kiyai Muhsin sedang berada di puncak kejayaan dakwahnya, dia kembali dijemput Allah. Meskipun sudah beberapa hari dikuburkan, banyak orang berharap bahwa Kiyai Muhsin hanya mati suri.***

*H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., CP NLP, adalah Narasumber Dialog Interaktif Agama Islam (LIVE) Indahnya Pagi TVRI Nasional, Penceramah Damai Indonesiaku TVOne, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Natuna, Imam Besar Masjid Agung Natuna dan Widyaiswara Muda pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ditulis Oleh Pada Sel 20 Jan 2015. Kategory Cerpen/Opini, Terkini. Anda dapat mengikuti respon untuk tulisan ini melalui RSS 2.0. Anda juga dapat memberikan komentar untuk tulisan melalui form di bawah ini

Komentar Anda

Radar Kepri Indek