Kekuatan Aliansi Rusia-China

Oleh : Hasrul Sani Siregar, MA
Alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS UKM, Malaysia/
Widyaiswara di BPSDM Riau
Kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Moskow, Rusia dalam rangka menawarkan proposal perdamaian di Ukraina menjadi langkah awal membangun kemitraan di ke-2 negara. Selama ini China menjadi pendukung kebijakan Putin dalam menghadapi Amerika Serikat dengan sekutunya. Kunjungan tersebut membuktikan pengaruh China sangat kuat dalam membangun Aliansi Rusia-China. Disebaliknya pula, kunjungan Xi Jinping ke Rusia oleh Amerika Serikat dilihat sebagai dukungan China terhadap kebijakan Putin dalam konflik di Ukraina. Oleh sebagian pengamat mengatakan bahwa diplomasi Internasional China dapat menyaingi Amerika Serikat khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Diplomasi Internasional China tidak hanya membangun Aliansi dengan Rusia juga dengan Negara-negara yang membutuhkan bantuan dari China. Selain membangun aliansi dengan Rusia, China juga berkepentingan menjaga stabilitas negaranya dari pengaruh Amerika Serikat khususnya dalam konflik di Laut China Selatan (LCS).
Tulisan ini mencoba mengamati aliansi Rusia-China dalam beberapa kasus yang saat ini sedang hangat terjadi khususnya di Ukraina dan Laut China Selatan (LCS) yang juga melibatkan persaingan antara China dan Amerika Serikat. China sangat keberatan dengan penempatan 4 pangkalan militer baru di Filipina yang akan menimbulkan ketegangan di Laut China Selatan. Hingga saat ini China masih bersengketa dengan Filipina di Laut China Selatan. Dan ini menimbulkan kekhawatiran Filipina terhadap kekuatan China. Dan oleh sebab itu pula, Filipina mempersilakan Amerika Serikat untuk membuka 4 pangkalan militer baru menggantikan pangkalan militer Subic dan Clark.
.
Pertemuan Xi Jinping dengan Pemimpin Rusia Vladimir Putin membicarakan proposal perdamaian dan di akhirinya perang di Ukraina. Namun Amerika Serikat dan sekutunya khawatir pertemuan tersebut sebagai membangun Aliansi Rusia-China dalam mengimbangi kekuatan Amerika Serikat dan Sekutunya khususnya di Ukraina. Terakhir Amerika Serikat menolak proposal perdamaian yang diajukan oleh China untuk penyelesaian di Ukraina. Pertemuan Xi Jinping dan Putin tersebut menjadi kekuatan internasional dalam menghadapi dominasi Amerika Serikat dan sekutunya khususnya di negara-negara bekas Uni Sovyet.
Selain membangun Aliansi dengan China, Rusia juga bergabung dengan China dalam kerjasama latihan dan kerjasama militer di wilayah Laut China Selatan (LCS). Dukungan Rusia terhadap China dalam konflik perairan di LCS, memperkuat kekuatan China yang bersengketa dengan beberapa negara seperti Filipina, Taiwan, Malaysia, Vietnam dan Brunai Darussalam. Oleh sebab itu, Aliansi Rusia dan China semakin kuat di kawasan Asia Pasifik. China berhasil mengajak Rusia untuk bergabung dalam kerjasama atau aliansi militer untuk mengadakan latihan dan kerjasama militer bersama di perairan LCS. Aliansi militer Rusia dan China tersebut mengkonsolidasikan dan membangun koordinasi kerjasama strategis secara menyeluruh antara China dan Rusia.
Latihan militer Rusia dan China ini merupakan agenda rutin Beijing dan Moskow yang tidak melibatkan pihak lain selain kedua negara tersebut. Dapat diprediksi bahwa latihan militer antara Rusia dan China tersebut sebagai upaya China untuk mendapat dukungan secara militer yang berhadapan dengan Amerika Serikat di Asia Pasifik. Praktis kekuatan militer Cina tidak akan sebanding dengan kekuatan militer Amerika Serikat, tanpa dukungan Rusia. Dan sebaliknya pula, Amerika Serikat yang melakukan kerjasama militer dengan Filipina dan Jepang sebagai tandingan dalam rangka memperkuat stabilitas di kawasan LCS. Keterlibatan Rusia dalam konflik di LCS tentu akan semakin membuat situasi di kawasan tersebut tidak aman dan kondusif sebagai jalur perdagangan internasional. Kerjasama militer Rusia dan China tersebut semakin memperkuat hubungan ke-2 negara. Selama ini Rusia hanya melakukan latihan militer dengan China di perairan Mediterania dan sekitar perairan Jepang (laut kuning).
Kehadiran Rusia dalam kerjasama militer dengan China di LCS tentunya menjadikan konstelasi politik dan keamanan regional Asia Pasifik semakin dinamis. Aliansi militer yang dibangun oleh China dan Rusia di kawasan LCS tersebut, akan semakin membuat China semakin percaya diri dalam membangun kekuatan militernya khususnya di kawasan LCS yang masih berkonflik diperbatasan.
Keikutsertaan militer Rusia dalam latihan bersama di LCS sudah menjadi isyarat bahwa China dan Rusia sudah mencoba membangun aliasi militer yang berhadapan dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Dan ini semakin menjadikan 2 kekuatan militer yang didukung oleh sekutu sekutunya. Hubungan militer antara Rusia dan China bukanlah kali pertama sejak Uni Sovyet runtuh dan digantikan oleh Rusia sebagai negara yang memiliki kekuataan militer yang cukup kuat. Aliansi militer Uni Sovyet dan Republik Rakyat China telah terbangun semenjak tahun 1950. Tercatat dalam sejarah pada tanggal 15 Februari 1950, Uni Soviet dan Republik Rakyat China, dua negara komunis terbesar di dunia mengumumkan penandatanganan kerja sama pertahanan keamanan. Perjanjian kerjasama militer tersebut dilakukan di Moskow yang dihadiri oleh pemimpin China Mao Zedong dan Perdana Menteri Zhou En-lai dan pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin dan Menteri Luar Negeri Andrei Vishinsky.
Dalam perjanjian tersebut Uni Soviet memberikan bantuan kredit sebesar US$300 juta kepada China untuk membangun kekuatan militernya. Hal tersebut juga mengembalikan pengawasan jalur utama kereta api di Port Arthur dan Dairen di Manchuria dari Uni Soviet ke China. Sebelumnya, jalur tersebut dikuasai pasukan Uni Sovyet menjelang akhir Perang Dunia II. Bahkan, Zhou En-lai dengan bangga mengklaim aliansi tersebut menciptakan sebuah kekuatan yang mustahil untuk dikalahkan. Sudah 66 tahun aliansi tersebut berlalu dan kini Rusia dan China membangun kembali aliansi militer dengan kondisi dan situasi yang berbeda khususnya konflik di Ukraina dan di Laut China Selatan.
Aliansi yang dibangun Rusia dengan China tentu sebagai upaya menjaga stabilitas regional kawasan Asia Pasifik. Vradimir Putin dalam beberapa kesempatan menyebut bahwa aliansi militer yang dibangun dengan China salah satunya adalah untuk mengantisipasi dan mengimbangi strategi Amerika Serikat yang sudah berniat menambah kekuatan maritimnya kawasan di Asia Pasifik. Oleh karena itulah Rusia dan China ingin mempertahankan hubungan dengan membentuk aliansi militer bersama. Rusia dan China menganggap kawasan Asia Pasifik sebagai halaman belakang rumah mereka. Kekhawatiran China terhadap Amerika Serikat sebenarnya juga dilandasi oleh langkah Amerika Serikat yang menyatakan akan mengerahkan 60 persen dari jumlah kapal perangnya di kawasan Asia-Pasifik dan ditambah lagi adanya rencana menambuah 4 pangkalan militer Amerika Serikat di Filipina. Kemudian adanya kerjasama militer Amerika Serikat dengan Filipina dan Singapura membuat China semakin waspada terhadap Amerika Serikat. Oleh sebab itu, China berupaya mencari kawan untuk dapat mengimbangi kekuatan militer Amerika Serikat dengan merangkul Rusia. Rusia merupakan negara yang paling tepat bagi China untuk membangun aliansi militer strategisnya.