Kejati Kepri Hentikan Dua Perkara Kekerasan Anak dan KDRT di Anambas Lewat

Tanjungpinang, Radar Kepri-Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) kembali menuai sorotan setelah menghentikan dua perkara pidana kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kabupaten Kepulauan Anambas melalui mekanisme restorative justice (RJ).

Keputusan ini dipaparkan Wakil Kepala Kejati Kepri, Irene Putrie, bersama jajaran Pidana Umum Kejati Kepri dan Kejari Anambas dalam ekspose kasus yang digelar secara virtual di hadapan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Prof. Asep Nana Mulyana, Senin (29/9).

Kronologi Kasus
Kasus pertama melibatkan dua tersangka, Roni Ardianza Lasut dan Hazman alias Nanda, yang diduga memukul seorang anak berusia 13 tahun, M. Davi Alzani, di Desa Tarempa Timur, Kecamatan Siantan, pada 16 Mei 2025. Keduanya dijerat Pasal 80 UU Perlindungan Anak.

Kasus kedua menjerat Yulizar alias Botak, ayah kandung korban yang sama, karena memukul sang anak di sebuah warung kopi sehari sebelumnya. Ia dijerat Pasal 44 UU Penghapusan KDRT.

Pertimbangan Penghentian
Meski menyangkut tindak pidana terhadap anak, Jampidum Kejagung menyetujui penghentian penuntutan dengan alasan perkara memenuhi syarat RJ sesuai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15/2020, di antaranya:

Ada kesepakatan damai antara pelaku dan korban.

Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.

Ancaman pidana di bawah lima tahun.

Tidak ada kerugian materiil.

Korban memaafkan pelaku.

Kepala Kejari Anambas akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dalam waktu dekat.

Catatan Kritis
Kebijakan RJ ini kerap menuai pro dan kontra. Di satu sisi, pendekatan damai diyakini mampu menjaga keharmonisan sosial dan mencegah kriminalisasi berlebihan. Namun di sisi lain, publik mempertanyakan efektivitasnya, terutama dalam kasus kekerasan terhadap anak yang rawan menimbulkan trauma jangka panjang.

Kejati Kepri menegaskan penghentian perkara tidak berarti memberi ruang impunitas. “Restorative justice bukan pengampunan untuk mengulangi perbuatan, melainkan upaya mengembalikan keseimbangan antara korban, pelaku, dan masyarakat,” kata Irene Putrie.

Kejati juga berkomitmen memperluas penerapan RJ untuk perkara dengan kerugian kecil dan ancaman pidana ringan, dengan tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat.(Red/hum)

Pos terkait