Kasus Pengancaman Kabiro Radar Kepri di Lingga Mandek di Polda Kepri, Ada Apa?

Aliasar usai memberikan keterangan di Polda Kepri beberapa waktu lalu.

 

Lingga, Radar Kepri – Hampir setahun berlalu, kasus dugaan pengancaman terhadap Kepala Biro Radar Kepri.com di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, tak kunjung tuntas. Penanganan kasus ini oleh penyidik Polda Kepri dinilai lamban dan tidak menunjukkan keseriusan.

Hal itu diungkapkan langsung oleh korban, Aliasar, yang menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja aparat penegak hukum. Ia mengaku mendapat intimidasi dari mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Lingga, Saparuddin, pada Oktober 2024 lalu.

“Saya merasa sangat kecewa. Kasus ini sudah hampir setahun, tapi penyidik belum juga bisa memeriksa semua saksi, bahkan belum ada kejelasan soal alat bukti. Ini menunjukkan penanganan yang setengah hati,” ujar Aliasar kepada Radar Kepri, Senin (28/7/2025).

Surat Resmi, Tapi Minim Progres

Polda Kepri, dalam keterangan tertulisnya yang disampaikan kepada Aliasar, menjelaskan bahwa laporan pengaduan masyarakat Nomor: LPM/X/2024/BINOPS, tertanggal 31 Oktober 2024, masih dalam tahap penyelidikan. Namun, hasil gelar perkara menunjukkan belum cukup bukti untuk meningkatkan status kasus ke penyidikan.

Poin-poin hasil penyelidikan tersebut antara lain:

Tidak ada kesesuaian keterangan antar saksi terkait peristiwa pengancaman.

Tidak ditemukan bukti pendukung seperti rekaman CCTV.

Tidak ditemukan barang bukti yang dapat dikategorikan sebagai alat tindak pidana.

Dengan demikian, menurut penyidik, belum cukup alasan hukum untuk menetapkan peristiwa ini sebagai dugaan tindak pidana pengancaman.

Penyidik Dinilai Tak Serius, Ada Intervensi Kekuasaan?

Aliasar menyoroti lemahnya upaya penyidik dalam menghadirkan saksi. “Alasan bahwa saksi tak mau hadir itu tidak masuk akal. Polisi punya wewenang untuk melakukan pemanggilan paksa. Kalau dibiarkan, ini bisa dianggap sebagai upaya menghalangi penyidikan,” ujarnya tegas.

Ia juga mencurigai adanya pengaruh kekuasaan dalam proses hukum ini. “Setelah laporan saya masuk ke Polda, Saparuddin malah terlihat berfoto bersama Kapolda. Saat saya mengungkap dugaan korupsinya, dia juga tampil bersama pejabat tinggi Kejaksaan Agung. Saya curiga ini yang membuat penyidik takut menindaklanjuti kasus ini,” ungkapnya.

Ancaman Serius Terhadap Kebebasan Pers

Aliasar menekankan bahwa tindakan pengancaman terhadap wartawan merupakan ancaman serius terhadap kemerdekaan pers. “Profesi wartawan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 disebutkan jelas bahwa wartawan berhak mendapat perlindungan hukum,” tegasnya.

Ia menyayangkan jika aparat penegak hukum gagal menunjukkan komitmen melindungi profesi jurnalis. “Jika kasus ini diabaikan, dampaknya bisa sistemik. Wartawan jadi takut memberitakan hal-hal kritis, masyarakat kehilangan hak atas informasi, dan kebebasan pers bisa mati pelan-pelan,” tambahnya.

Indikasi Impunitas dan Lemahnya Transparansi

Pengabaian penanganan kasus ini berpotensi memperkuat budaya impunitas. Proses hukum yang berlarut-larut, ditambah kurangnya transparansi dari pihak kepolisian, dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

“Jika pelaku pengancaman terhadap wartawan tidak diproses secara adil dan transparan, ini bukan sekadar kegagalan hukum, tapi ancaman nyata bagi demokrasi dan keterbukaan informasi,” pungkas Aliasar.

Perlu langkah tegas dari aparat kepolisian untuk memastikan bahwa setiap bentuk intimidasi terhadap jurnalis ditindak secara profesional dan berkeadilan. Sebab, tanpa perlindungan terhadap pers, suara rakyat bisa dibungkam dalam senyap.(red)

Pos terkait